Mohon tunggu...
zakaria pangestullah
zakaria pangestullah Mohon Tunggu... Editor - mahasiswa yang berpramuka

seorang mahasiswa dan pegiat pramuka dikampus.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Konsep Pembelajaran Berdiferensiasi

22 Desember 2022   11:28 Diperbarui: 22 Desember 2022   11:35 2884
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut Tomlinson (2001) Pembelajaran berdiferensiasi adalah usaha untuk menyesuaikan proses pembelajaran di kelas untuk memenuhi kebutuhan belajar peserta didik sebagai individu. Atau bisa dikatakan juga bahwa pembelajaran berdiferensiasi adalah pembelajaran yang memberi keleluasaan dan mampu mengakomodir kebutuhan peserta didik untuk meningkatkan potensi dirinya sesuai dengan kesiapan belajar, minat, dan profil belajar peserta didik yang berbeda-beda.

Nah, dengan melihat banyak perbedaan antara satu peserta didik dengan peserta didik yang lainya, tentunya perlu adanya pembelajaran berdiferensiasi. Terdapat 4 teori yang melatar belakangi perlunya pembelajaran berdiferensiasi, yaitu

  1. Teori sistem ekologi
  2. Teori Multiple Intelligences
  3. Teori Zone of Proximal Development (ZPD)
  4. Learning modalities

Teori Sistem Ekologi

Urie Bronfenbrenner merupakan ahli yang mengemukakan teori sistem mengenai ekologi yang menjelaskan perkembangan individu dalam interaksinya dengan lingkungan di luar dirinya yang terus-menerus mempengaruhi segala aspek perkembangan (Hayes dkk, 2017).

Teori sistem ekologi merupakan pandangan sosiokultural Bronfenbrenner tentang perkembangan yang terdiri dari lima sistem lingkungan. Mulai dari pengaruh interaksi langsung pada individu hingga pengaruh kebudayaan yang berbasis luas. Kelima sistem ekologi tersebut adalah mikrosistem, mesosistem, ekosistem, makrosistem, dan kronosistem.

Berikut penjelasan mengenai urutan sistem tersebut:

Mikrosistem adalah kondisi yang melatarbelakangi anak hidup dan berinteraksi dengan orang lain dan institusi yang paling dekat dengan kehidupannya, seperti orang tua, teman sebaya, tetangga, dan teman sekolah;

Mesosistem adalah hubungan antara dalam mikrosistem. Sebagai contoh, orang tua dan guru berinteraksi dalam sistem sekolah, anggota keluarga dan kerabat menjadi relasinya di dalam institusi keagamaan, pelayanan kesehatan berinteraksi dengan keluarga anak dan sekolahnya.

Ekosistem adalah sistem yang berisi sejumlah kondisi yang mempengaruhi perkembangan anak di lingkungan rumah namun anak disini tidak terlibat dalam satu peran langsung. sebagai contoh, karena adanya kondisi kemiskinan dalam keluarga, anak terpaksa harus bekerja untuk mencari uang dan tidak melanjutkan sekolah.

Makrosistem adalah sistem yang mengelilingi mikro, meso dan ekosistem dan merepresentasikan nilai-nilai ideologi, hukum masyarakat dan budaya politik. Sebagai contoh anak Indonesia tidak sama-sama dengan anak Amerika

Kronosistem adalah dimensi waktu yang menuntun perjalanan setiap level sistem dari mikro dan makro. Sistem ini juga mencakup berbagai peristiwa hidup yang penting pada individu dan kondisi sosio-kultural.

Contoh kasus:

(Mikrosistem). Budi adalah seorang siswa kelas 2 SMA Negeri. Ia tergolong dari keluarga biasa saja. Ia adalah anak semata wayang. Ayah dan Ibunya keduanya berkebangsaan Indonesia bersuku madura dan jawa. Ada 2 sepupu yang ikut tinggal di rumahnya.

(Mesosistem) Sepulang sekolah Budi membantu Ayah dan Ibunya yang bekerja mengelola sebuah toko sayur di pasar tradisional. Jati banyak bertemu dengan banyak orang, seperti pembeli sayur langganannya, kuli panggul pasar, mitra ayah ibunya di pasar. Ayah dan ibu Budi sibuk sekali dengan jualannya di pasar, apalagi jika menjelang Idul Fitri dan tahun baru, mereka sesekali mengantarkan sayuran untuk bapak dan ibu guru ke sekolah.

(Ekosistem). Sepulang sekolah Budi terbiasa membantu ayah dan ibunya berjualan sayur di pasar. Keberadaannya di rumah hanya ada saat malam hari, yaitu sepulang dari lapak miliknya dan itupun terkadang ayah dan ibunya masih berada di lapak, ayah ibunya pulang ke rumah saat siang hari saja. Kondisi rumah yang kadang berantakan membuat ia lelah untuk meneruskan belajar. Dan baginya berantakan atau tidak sama saja, karena ia terbiasa melihat kehidupan pasar.

(Makrosistem dan Kronosistem). Pada rentang waktu yang cukup lama, kehidupan Jati dan keluarganya, tentunya mempunyai pandangan tersendiri terhadap lingkungan, kehidupan sosial dan budaya dan sekitarnya. Sehingga membentuk pribadi diri Budi.

Teori Multiple Intelligences

Teori tentang multiple intelligences atau dalam Bahasa Indonesia biasa disebut sebagai kecerdasan majemuk. Teori ini dicetuskan dan dikembangkan oleh Howard Gardner (1993), seorang psikolog perkembangan dan profesor pendidikan dari Graduate School of Education, Harvard University, Amerika Serikat. Gardner mendefinisikan intelegensi sebagai kemampuan untuk memecahkan persoalan dan menghasilkan produk dalam suatu setting yang bermacam-macam dan dalam situasi yang nyata. Berdasarkan pengertian ini, dapat dipahami bahwa intelegensi bukanlah kemampuan seseorang untuk menjawab soal-soal tes IQ dalam ruang yang tertutup dan hanya konsentrasi pada soal itu tanpa ada gangguan dari lingkungan luar. Akan tetapi inteligensi memuat kemampuan seseorang untuk memecahkan persoalan yang nyata dan dalam situasi yang bermacam-macam.

Dapat dikatakan juga bahwa setiap orang memiliki delapan jenis kecerdasan dalam tingkat yang berbeda-beda. Pada teori multiple intelligences ini disebutkan ada delapan bentuk kecerdasan. Delapan jenis kecerdasan itu memiliki komponen inti dan ciri-ciri yang berbeda juga. Kehadiran ciri-ciri pada individu menentukan kadar profil kecerdasannya. Dalam kehidupan nyata, kecerdasan-kecerdasan itu hadir dan muncul bersama-sama atau berurutan dalam suatu atau lebih aktivitas.

Contoh kasus:

Dzaki adalah seorang siswa SD kelas 6. Jika ada tugas Bahasa Indonesia diminta untuk membuat karangan, maka ia dengan semangat mengerjakannya. Ia mengikuti kegiatan ekstrakurikuler musik di sekolahnya. Jika ada temannya yang kesulitan ia sering membantu dan juga sering menjadi ketua kelompok jika ada tugas kelompok, maka tak heran jika ia mempunyai banyak teman dan sahabat. Hanya saja dia paling tidak suka dengan pelajaran berhitung, tak heran jika pelajaran matematika memiliki nilainya kurang bagus.

Sementara Lina adalah teman sekelas Dzaki. Ia senang sekali dengan pelajaran matematika, dan sering sekali memenangkan lomba olimpiade matematika tingkat nasional. Setiap olimpiade matematika ia mengikutinya, hampir tak pernah absen. Di rumahnya, ia mempunyai hewan peliharaan dan sangat sayang dengan hewan peliharaannya. Ia merawatnya dengan senang hati dengan membantu ibunya membersihkan kendang piaraannya. Selain itu dia adalah anak baik yang selalu membantu ibunya menyiram tanaman dan ikut membereskan tanaman.

Pada dua cerita di atas, terlihat bahwa antara Dzaki dan Lina, keduanya mempunyai kecerdasan yang berbeda-beda. Sekarang coba Anda ingat-ingat teman Anda di kelas dulu waktu masih bersekolah. Pasti dari masing-masing memiliki kecerdasan yang berbeda-beda dan mempunyai keunggulan masing-masing pula. Pada satu sisi tidak unggul, bisa saja disisi lain ia mempunyai kecerdasan pada bidang lain. Atau bisa jadi satu kecerdasan dengan kecerdasan yang lain saling beriringan.

Teori Zone of Proximal Development (ZPD)

Zone of Proximal Development (ZPD) adalah zona antara tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial. Tingkat perkembangan aktual tampak dari kemampuan anak menyelesaikan tugas-tugas secara mandiri. Sedangkan tingkat perkembangan potensial tampak dari kemampuan anak menyelesaikan tugas atau memecahkan masalah dengan bantuan orang dewasa. Ketika masuk dalam ZPD, maka anak sebenarnya dapat melakukan aktifitas/tugas yang diberikan, akan tetapi lebih optimal jika orang dewasa atau pendamping yang lebih tahu, membantunya untuk mencapai tingkat perkembangan aktual tersebut. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa setiap peserta didik memiliki ZPD yang berbeda-beda, maka dari itu bimbingan dan instruksi dengan kadar yang sesuai sangat dibutuhkan untuk dapat mengembangkan potensi masing-masing siswa (Suprayogi et, al., 2022).

Pada teori ini terdapat dua level untuk ukuran kemampuan dan potensi peserta didik, yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial. Tingkat perkembangan aktual peserta didik adalah ketika dia bekerja untuk menyelesaikan tugas atau soal tanpa bantuan orang lain. Sedangkan tingkat perkembangan potensial adalah tingkat dari kompetensi peserta didik yang dapat tercapai ketika dia dibantu oleh orang lain. Perbedaan diantara kedua tingkat kemampuan tersebut termasuk dalam ZPD. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa ZPD terletak diantara hal-hal yang dapat dilakukan oleh peserta didik dan hal-hal yang tidak dapat dilakukan oleh peserta didik tanpa pendampingan.

Contoh kasus:

Bu Muniroh mengajar di kelas 1 SD. Ia mempunyai 30 murid. Dua diantaranya jika belajar tidak mudah cepat untuk menangkap pelajaran, yaitu Siti dan Bambang. Siti lebih suka menyendiri dan tidak mudah untuk bergaul. Sementara Bambang, senang bergerak dan aktivitas fisik, sehingga terkesan mengganggu. Tibalah saatnya belajar Matematika. Pada saat belajar, Siti merasa minder karena merasa tidak bisa mengerjakan, sementara Bambang keliling kelas sehingga tidak konsentrasi ketika Bu Muniroh menjelaskan, sesekali dipanggil namanya supaya Bambang sadar bahwa ia sedang belajar di kelas, sehingga Bambang susah untuk menangkap pelajaran secara klasikal. Oleh karena itu keduanya memerlukan bimbingan tersendiri dari Bu Muniroh untuk mengerjakan soal.

Pada saat murid-murid yang lain mengerjakan tugas, Bu Muniroh berkeliling kelas untuk memantau. Kemudian Bu Muniroh akan lebih lama di dekat Siti dan Bambang untuk membimbing mereka belajar sesuai dengan kemampuan mereka berdua.

Berdsarakan cerita diatas, bahwa terdapat perbedaan dari dua tingkat perkembangan. Tingkat perkembangan aktual telah tercapai oleh 28 murid Bu Muniroh, sementara dua yang lainnya, yaitu Siti dan Bambang pada tahap tingkat perkembangan potensial. Keduanya memerlukan bimbingan khusus dari Bu Muniroh untuk memaksimalkan potensi yang mereka punya. Nah, jarak antara 28 murid dengan Siti dan Bambang dinamakan ZPD.

Learning Modalities

Perbedaan peserta didik dalam pembelajaran juga dapat dilihat dari segi yang lain, yaitu learning modalities atau modalitas dalam belajar yang kerap salah diinterpretasikan sebagai gaya belajar.

Learning modalities ini biasa dikenal sebagai VAK atau Visual, Auditory, dan Kinestetik. Nah, sampai disini mungkin Anda sudah familiar bukan dengan istilah ini apa itu VAK atau learning modalities. Anda mungkin telah mengikuti tes yang mengkategorikan modalitas belajar Anda atau diberi tahu bahwa Anda adalah tipe pembelajar tertentu.

Visual
Modalitas belajar visual adalah menerima informasi lebih mudah melalui gambar. Otak kita memproses informasi visual dengan sangat efisien. Jauh lebih mudah untuk mengingat gambar yang jelas seperti foto daripada mengingat apa yang dikatakan atau ditulis seseorang.

Auditori
Modalitas belajar auditori adalah menerima informasi lebih mudah melalui mendengar. Siswa dengan mode ini biasanya sering mengajukan pertanyaan, dan menggunakan diskusi untuk mengklarifikasi atau menyerap materi. Ketika Anda berada dalam mode auditori, Anda mungkin berbicara dan membaca lebih lambat untuk menyerap semuanya.

Kinestetik
Modalitas kinestetik melakukan sesuatu dengan fisik, atau paling tepat digambarkan sebagai belajar sambil melakukan (learning by doing), baik sebagai aktivitas langsung atau melalui pengalaman, atau dengan bergerak sambil berpikir atau belajar.

Ketiga modalitas belajar di atas, tidak secara baku bahwa siswa hanya menggunakan satu modalitas belajar saja. Intinya: jangan terjebak dalam stereotip tipe pelajar seperti apa peserta didik tersebut. Bisa saja peserta didik itu termasuk kedalam pembelajar multimodal, artinya peserta didik dapat menggunakan salah satu dari mode ini, tergantung pada situasinya.

Contoh kasus:

Terdapat murid yang berbeda gaya belajarnya di kelas, misalkan Budi lebih menyukai gaya belajar auditori sedangkan Andi lebih menyukai gaya belajar kinestetik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun