Sulitkah kita mengendalikan kekerasan fisik dan psikis dalam kehidupan sehari-hari, terutama di sekolah yang dilakukan oleh sebagian anak kepada anak-anak yang cenderung kurang fleksibel dalam bersosialisasi?
Kekerasan terjadi bukan saja dilakukan oleh antar murid tetapi juga dilakukan oleh pemilik yayasan. Seperti yang pernah kita dengar, baru-baru ini terjadi pelecehan seksual oleh pemilik yayasan kepada 12 anak yatim yang ada di dalam yayasan tersebut. Tindak asusila yang sangat mengerikan ini membuat kita semakin bergidik melihat manusia yang mengutamakan nafsu daripada akhlak.
Peristiwa yang kerap terjadi ini didominasi oleh persoalan mental yang bermasalah. Gangguan mental yang terus menerus diturunkan dan ditularkan kepada generasi muda yang berpotensi membangun bangsa menjadi rusak dan bisa berdampak jangka panjang, meracuni kehidupan sosial menjadi tidak sehat.
Miris sekali melihat kehidupan saat ini mengatasnamakan agama tetapi justru meracuni pengikutnya menjadi sesuatu yang menghancurkan masa depannya dan tidak menutup kemungkinan mengkontaminasi mental yang sehat.
Darimana bermula persoalan dalam kekerasan ini? Apa yang melatarbelakangi seseorang melakukan kekejaman kepada orang lain? Apa yang harus dilakukan agar kita terlindung dari perkembangan zaman yang sulit dihentikan ini? Bagaimana agar tidak menjadi target kekerasan verbal dan non verbal dari lingkungan?, berikut penjelasannya.
Penyebab Kekerasan Terjadi?
Setiap orang yang memiliki orang tua tentu pernah mengalami kekerasan di dalam keluarga. Apakah ibu atau ayah bahkan saudara kita melakukan kekerasan dengan pukulan atau hinaan yang merendahkan dan merusak mental. Membuat yang mendengar jadi berkecil hati, merasa teraniaya, lelah secara fisik dan psikis. Sehari-hari metode yang diterima adalah kekerasan verbal dan non verbal, sementara "makanan batin" tidak terpenuhi.
Menurut sebagian orang bahwa kebutuhan batin hanya dibutuhkan oleh anak-anak saja. Faktanya tubuh psikis seluruh manusia membutuhkan makanan batin ini, tidak peduli berapapun usianya.
Makanan batin yang dibutuhkan sesuai dengan kepribadian masing-masing, saya pernah membahas mengenai makanan batin ini di artikel sebelumnya bahwa manusia memiliki kebutuhan pada psikisnya yaitu kebutuhan psikis seperti pelayanan, pujian atau apresiasi, dukungan, dan sentuhan.
Keenganan kita mengenali diri, tidak peduli pada orang lain dan tidak mau tahu tentang kebutuhan psikis salah satu penyebab kekerasan semakin menjadi.
Layaknya sebuah bejana bila bejana tersebut terbuat dari plastik tentu saja tidak layak diberi air panas, ia akan rusak dan merubah bentuk menjadi tidak semestinya.
Contohnya, orang yang berkepribadian kolerik diberikan dukungan atau terlalu sering diberi sentuhan fisik tentu saja ia merasa seperti dihina, merasa jengah dan tidak terisi karena kebutuhan batinnya adalah diberikan perhatian dengan menyiapkan segala sesuatu atau melayaninya.
Orang sering mengatakan "surgaku adalah rumahku", tetapi di dalam rumah seolah neraka kedua bagi kita setelah dunia luar. Membuat anak atau pasangan kita merasa enggan di dalam rumah bahkan melihatnya saja tidak nyaman. Seolah semua perintah kita yang harus dipatuhi dan didengarkan, padahal setiap persoalan di dalam rumah tangga yang baik selalu diisi dan diselesaikan dengan musyawarah bukan otoriter atau sepihak.
Kekerasan yang sering terjadi di dalam rumah terbawa keluar dan dilampiaskan kepada orang-orang yang tidak bersalah, dengan membully atau menyiksa sesama teman, bahkan kepada gurunya sendiri. Bisa juga terlampiaskan secara langsung atau mudah tersulut emosi, karena emosi di dalam rumah tidak selesai atau tidak terurai dengan benar. Anak yang tidak pernah didengarkan keluhan atau persoalannya, tidak dibantu menyelesaikan emosinya akan mudah tersulut di luar rumah terutama pada saat masa pubertasnya.
Seorang ibu atau ayah yang selalu ribut dan mau menang sendiri, tidak pernah mau bermusyawarah. Hanya ingin dihormati, dituruti dan memperlakukan anak atau pasangan hanya sebagai pengikut, sementara anak, ibu atau ayah adalah seseorang yang berkepribadian kolerik. Secara naluri, kepribadian kolerik cenderung ingin mengatur, bayangkan saja bila kolerik diatur oleh kolerik lainnya tentu akan terjadi perang atau keributan yang tidak ada habisnya.
Bila anak mendapatkan makanan batinnya dari kedua orang tua, lalu bagaimana dengan ibu dan ayah? Tentu saja saling memberikan kebutuhan psikis tersebut dengan terlebih dahulu mengenali kepribadian satu sama lain demi menunjang kesehatan mental sendiri dan mental anak, menjauhkan anak dari perilaku bully kepada orang lain ataupun sebagai objek bully. Anak yang dihujani dengan kasih sayang sesuai dengan porsinya akan terjaga untuk melakukan hal yang tidak baik di luar rumah.
Kesadaran untuk mengenali diri dan orang lain ini sangat penting bagi siapa saja dan usia berapa saja untuk memudahkan kehidupan bersosialisasi dan untuk menghindari konflik.
Lagi-lagi ilmu harus dipelajari berapapun usianya. Ilmu memudahkan kita dalam banyak hal. Sebagian orang merasa gengsi untuk belajar dan merasa sudah cukup tahu tentang banyak hal tetapi tidak benar-benar mengetahui bagaimana menata emosi yang berhubungan dengan kecerdasan emosionalnya.
Secara intelektual mungkin kita sudah selesai dalam bangku sekolah. Untuk kecerdasan spiritual dan emosional belum tentu kita mengerti bagaimana dan apa saja yang harus dipelajari dan hal apa saja yang tidak perlu dilakukan.
Kekerasan berhubungan erat dengan kecerdasan emosional dan spiritual, ketika banyak sekali yang harus diperbaiki dan dipelajari untuk bisa diterapkan dalam kehidupan terutama dalam keluarga.
Kumpulan Emosi Negatif Merusak Kehidupan
Kekejaman bermula dari matinya hati nurani akibat dari merasa diri tidak berharga atau justru merasa diri sangat penting. Orang yang pernah mengalami kekerasan dalam keluarganya cenderung sulit menguasai diri, seolah ia mempunyai hak untuk membalaskan rasa sakitnya pada siapa saja. Mengapa emosi harus diurai?
Agar tidak terjadi ledakan dan meradiasi sekitarnya. Emosi adalah energi, emosi negatif yang cenderung ditekan dan disimpan akan memberikan dampak yang tidak baik bagi dirinya maupun sekitarnya.
Pernahkah kita melihat seorang anak yang sering dipukul, disalahkan, dikurung di dalam ruang gelap dan akhirnya anak tersebut membunuh kedua orang tuanya? Seorang ayah yang memukul bayinya hingga tewas?, dan seorang istri yang selalu dianiaya membakar suaminya? Hal ini disebabkan karena ledakan emosi yang tidak terkendali dan menghilangkan kesadarannya.
Namun ada juga individu yang tidak sanggup melakukan kekejian itu, tetapi mengalami bipolar dan schizophrenia, karena cenderung menekan emosinya ke dalam hatinya. Mendengar bisikan seolah harus menganiaya dan membunuh anggota keluarganya. Letupan dan ledakan emosi ini membuat manusia sulit mengendalikan diri dan menjadi sosok lain yang tidak sama lagi dengan dirinya yang dulu.
Kekerasan di luar terjadi karena adanya kekerasan di dalam keluarga yang menjauhkannya dari kesadaran bahwa ia seolah tidak pantas untuk bahagia. Akhirnya ia menyakiti orang lain tanpa belas kasihan, seolah semua orang harus mendapatkan hal yang sama seperti dirinya. Minimal ia menjadi sosok pendengki, tidak suka dengan kebahagiaan orang lain karena ia sulit memperoleh kebahagiaan itu.
Berdasarkan rasa yang jauh dari kesadaran inilah yang membuat manusia menjadi putus asa dan kejam kepada orang lain. Apakah bisa diobati secara permanen?, tentu saja sulit karena hormon yang mengatur rasa bahagianya telah terubah oleh memori yang buruk dan menyakitkan. Ia akan kesulitan mengobati diri tanpa tenaga profesional.
Lalu apakah bisa dihilangkan kekerasan di dunia ini?, tentu saja tidak semudah itu. Ada kemauan ada jalan, tapi persoalannya adalah apakah yang melakukan kekerasan itu menyadari perbuatannya atau justru santai saja. Berbicara tentang kesadaran adalah bagian dari hidayah atau petunjuk bahwa hal yang ia lakukan itu sebenarnya tidak baik dan merugikan.
Apa yang Harus Dilakukan Agar Terlindung dari Target Kekerasan?
Mengenali orang baik atau buruk tidak terlalu mudah karena banyaknya manipulasi yang dilakukan oleh pelaku. Seorang manipulatif tentu saja akan memutar balik fakta dan cara yang lebih halus agar calon korban masuk ke dalam perangkapnya. Lalu bagaimana supaya mudah mengenalinya? Lagi-lagi tentang energi, seseorang yang berenergi positif tinggi dan banyak pengetahuan tentang ilmu jiwa akan sangat mudah mengenali para manipulatif.
Budaya Indonesia yang kental dengan keramahannya, merasa tidak enakan untuk menolak, mudah percaya ketika seseorang berbicara tentang agama dan cenderung ditelan saja tanpa menganalisis atau mencari informasi lebih dalam. Hal demikian membuka kesempatan bagi manipulatif untuk menguasai dan merajai alam bawah sadar calon korban. Semakin berkembang kekerasan yang didominasi dengan dua strategi yaitu secara verbal dan non verbal.
Kekerasan sulit dihentikan karena tidak adanya kesadaran untuk menciptakan suasana yang aman dan damai. Orang yang sehat akan menciptakan pola yang sehat dan orang yang sakit cenderung bersama dengan pola yang tidak bisa diterima oleh tubuh fisik dan psikisnya. Pola-pola tidak sehat yang dilakukan cenderung merugikan dirinya dan orang lain, ia tidak peduli dengan Kesehatan psikisnya sudah tentu ia akan mengabaikan kesehatan fisiknya.
Dua kebiasaan ini tidak bisa menipu mata dan dua hal ini bisa menjadi acuan untuk mengenali karakter manusia. Setelah mengenali maka keputusan kembali ke tangan masing-masing, apakah akan meneruskan hubungan sosial dengannya atau lari darinya. Bila seseorang merasa mampu untuk mengacuhkan orang-orang yang berkebiasaan negatif, cepat atau lambat akan mengalami kesakitan pada mentalnya dan merubah kebiasaan baik menjadi tidak baik karena level emosi positif menjadi turun drastis.
Namun bagaimana bila kekerasan terjadi dalam rumah tangga yang dilakukan anak pada orang tua, atau suami pada istri dan sebaliknya? anak tidak bisa dibuang atau dilepaskan, beda dengan suami atau istri yang sewaktu-waktu bisa bercerai. Kembali pada pola asuh memberi kasih sayang sesuai dengan porsinya.
Anak yang didengarkan keluhannya, dibela dan diberi nasihat dengan cara bercerita, seluruh data positif disertai dengan wujud perilaku baik yang diperlihatkan padanya akan sampai dan masuk ke dalam amygdalanya melalui visual dan auditorinya dan dilakukan terus menerus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H