Mohon tunggu...
Seiri
Seiri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fakultas Ekonomi dan Bisnis Prodi S1 Akuntansi Universitas Mercu Buana

Nama : Seiri NIM : 43222010166 No. Absen : 35 Dosen Pengampu : Prof Dr. Apollo, M.Si.AK

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Kuis Etik - Diskursus Cincin Gyges, dan Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia

15 Desember 2023   06:27 Diperbarui: 15 Desember 2023   15:15 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ihttps://depositphotos.com/photo/hand-with-marker-writing-the-word-84020836.htm

Orang menghargai Keadilan karena keterbatasan mereka dalam melakukan tindakan yang tidak adil. Keadilan dianggap sebagai kewajiban yang dilakukan demi orang lain, sehingga Tidakadilan dianggap lebih berharga daripada Keadilan.

Sokrates diminta untuk membela Keadilan tidak hanya berdasarkan reputasi, melainkan pada esensinya sendiri. Ia mengajukan analogi tentang sebuah kota untuk memahami Keadilan dan melanjutkan untuk menemukan Keadilan secara individual.

Sokrates memulai dengan membahas asal-usul kehidupan bermasyarakat dan konstruksi kota yang adil. Ia menyatakan bahwa manusia membentuk masyarakat karena alam tidak dapat memenuhi semua kebutuhan mereka. Setiap orang memiliki keahlian dan melakukan pekerjaan yang sesuai dengan kecakapannya.

Sokrates memperkenalkan prinsip spesialisasi, di mana setiap individu melakukan peran yang sesuai dengan keahliannya tanpa mencampuri pekerjaan orang lain. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia secara efisien.

Namun, Glaucon menentang gagasan kota sederhana tersebut dan menyebutnya sebagai masyarakat yang tidak memadai. Menurutnya, masyarakat tidak hanya memerlukan kebutuhan dasar, tetapi juga keinginan yang tidak penting seperti makanan mewah, barang berharga, dan benda seni.

Glaucon kemudian menjelaskan evolusi sejarah masyarakat, di mana Keadilan menjadi perlindungan bagi orang lemah. Pada tahap primitif, manusia hidup tanpa hukum dan pemerintahan, memanfaatkan kekuatan untuk menikmati hidup di atas penderitaan orang lemah. Seiring waktu, orang lemah menyadari ketidakadilan ini dan membuat perjanjian untuk melindungi diri mereka sendiri melalui hukum dan pemerintahan. Inilah awal pengajaran Keadilan.

Sejalan dengan perkembangan sejarah, Keadilan kemudian menjadi aturan yang diikuti untuk menjaga ketertiban masyarakat. Glaucon berpendapat bahwa Keadilan lahir dari kebutuhan dan menjadi norma karena orang tidak ingin menghadapi konsekuensi ketidakadilan.

Adeimantus mendukung argumen Glaucon, namun fokusnya lebih pada aspek komunal, pendidikan, dan dampak yang lebih luas. Seperti Glaucon, Adeimantus menyatakan bahwa pujian terhadap Yang Adil sebenarnya merupakan penghargaan terhadap hasil baik yang diakibatkannya, bukan pada keadilan itu sendiri.

Menurut Adeimantus, orang cenderung bersikap adil karena takut akan hukuman setelah kematian. Mereka menganggap Keadilan baik hanya karena mereka percaya bahwa Tuhan akan memberi imbalan atas perilaku adil. Oleh karena itu, Keadilan dipandang sebagai kepentingan diri pribadi, dan orang yang tidak adil dan tidak beriman dianggap sama-sama menderita di dunia bawah.

Adeimantus menyimpulkan bahwa jika Tuhan benar-benar peduli terhadap umat-Nya, mereka akan mencari pengampunan bahkan ketika melakukan perbuatan tidak adil. Namun, jika Tuhan tidak ada, orang tetap akan bersikap tidak adil. Dalam kedua skenario tersebut, Yang tidak Adil tetap menjadi pemenangnya.

Adeimantus kemudian menyimpulkan bahwa Keadilan sebenarnya merupakan bentuk dari Yang tidak Adil. Menurutnya, orang bersikap adil hanya untuk mendapatkan nama baik atau mendapatkan ganjaran dari Tuhan setelah kematian, bukan karena Keadilan itu sendiri. Oleh karena itu, jika seseorang bersikap adil, hal itu tidak memberinya keuntungan, malah membawa masalah dan kerugian. Sebaliknya, orang yang tidak adil malah mendapatkan pujian dari Yang Adil dan bisa memiliki kehidupan yang menakjubkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun