What?
Kepemimpinan
Berbicara tentang kepemimpinan, kepemimpinan merupakan salah satu bagian penting dalam proses manajemen dan dibutuhkan pada semua jenis organisasi, baik organisasi formal ataupun nonformal.
Pemimpin didalam suatu organisasi merencanakan dan mengorganisasikan sumber daya yang ada dengan memengaruhi dan mengarahkan orang lain untuk mencapai kinerja bawahan yang optimal. Keberhasilan kepemimpinan dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan yang diterapkan dan kepuasan bawahannya. Menjadi seorang pemimpin yang baik pada generasi masyarakat milenial saat ini dan kedepan menjadi satu tantangan yang kritis. Seiring perkembangan zaman, banyak pemimpin muncul akibat tuntutan dan kondisi lingkungan pada saat itu.
Pada era generasi milenial, pemerintahan yang efektif akan terwujud apabila para pemimpin dapat memenuhi kualifikas standart sebagai pemimpin yang kredibel, mempunyai kemampuan, intelektual, dan visi yang jauh kedepan. Namun pemimpin yang baik juga harus memiliki integritas, kejujuran, dan kesetiaan pada kepentingan rakyat. Kepemimpinan milenial perlu mendukung kemandirian dan jiwa entrepreneurship generasi milenial. Membangun bangsa harus memiliki fondasi utama yakni kemandirian dan entrepreneurship.
Derap perkembangan di semua lini kehidupan terjadi semakin cepat. Kemajuan dalam hitungan sekian detik. Mulai dari proses penggalian informasi, penyebaran berita, tren, teknologi hingga berbagai produk mutakhir terjadi sangat cepat. Seakan mereka yang bergerak lamban akan tergilas dan tertinggal jauh di belakang.
Sebagai bangsa yang besar dan semakin diperhitungkan di kancah internasional, Indonesia memiliki banyak tantangan yang harus diselesaikan. Membangun Indonesia berarti membangun mental rakyatnya sehingga gagasan revolusi mental pun lahir dan dicetuskan pemerintah sebagai gerakan yang masif. Untuk proses perubahan besar itu, kepemimpinan model lama pun tidak akan cocok lagi dan oleh karena itu harus dikoreksi atau dikembangkan. Dengan generasi muda di Indonesia yang tumbuh begitu pesat, maka gaya kepemimpinan yang muncul pun harus menyesuaikan ritme dan polanya.
Generasi milenial yang saat ini memengaruhi banyak hal juga harus dipimpin dengan gaya kepemimpinan milenial. Menjadi seorang pemimpin yang baik pada generasi masyarakat milenial saat ini dan kedepan menjadi satu tantangan yang kritis. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa kepemimpinan merupakan karakter sejak lahir. Pada zaman ketika pemimpin dilahirkan dari para raja-raja bisa dikatakan demikian karena yang mendapatkan ilmu-ilmu dan pengalaman kepemimpinan hanya ada di lingkungan kerajaan. Namun seiring perkembangan zaman, banyak pemimpin muncul akibat tuntutan dan kondisi lingkungan pada saat itu. Pada zaman penjajahan, karakter para pemimpin terbentuk dalam perjuangan melawan penjajah.
Mereka pejuang yang terbentuk oleh intelektual dan memiliki idealisme yang bisa menghasilkan rumusan ideologi bangsa yang menjadi dasardasar dan pedoman perjalanan dan kehidupan bangsa kita. Namun mencari pemimpin yang tepat untuk masa sekarang dan akan datang menjadi tantangan yang harus dipenuhi untuk bangsa ini.
Pemimpin harus bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman. Negaranegara maju memiliki pemimpin yang berhasil memanfaatkan perkembangan teknologi yang mengubah pola kehidupan manusia. Selain itu pemimpin juga harus memiliki empati yang tinggi dan komitmen menolong sesama tanpa membedakan suku, agama maupun ras.
Di tengah-tengah gejolak keresahan masyarakat akan semakin buruknya pelayanan yang diterima dari oknum pemerintahan, beberapa nama Kepala Daerah yang berhasil mewujudkan daerah yang dipimpinnya dengan berbagai kemajuan dan inovasi mulai mencuat ke permukaan.
Hal ini memunculkan sebuah harapan baru dari masyarakat Indonesia dalam wacana keberhasilan reformasi birokrasi. Berbagai berita mengenai kemajuan daerah yang mereka pimpin semakin sering diekspose di berbagai media massa. Sebut saja seperti Ridwan Kamil (Walikota Bandung) dan Tri Rismaharini (Walikota Surabaya) yang sering disebut-sebut namanya menjadi tokoh di balik keberhasilan daerah yang dipimpinnya.
Apasih itu pengertian dari kepemimpinan?
Ada beberapa pendefinisian terkait kepemimpinan yaitu:
- Kepemimpinan adalah interaksi antara pemimpin dan yang dipimpin untuk mengubah dan memberdayakan perilaku yang dipimpin sehingga mereka mampu memimpin dirinya sendiri dalam rangka untuk mencapai tujuan organisasi dan tujuan pribadi.
- Kepemimpinan adalah aktivitas mempengaruhi orang-orang agar mereka berusaha mencapai tujuan-tujuan kelompok.
- Kepemimpinan merupakan kegiatan mempengaruhi orang-orang untuk bekerja sama dalam mencapai tujuan yang mereka inginkan.
- Kepemimpinan adalah bentuk dominasi yang didasari atas kemampuan pribadi yang sanggup mendorong atau mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu, berdasarkan akseptasi atau penerimaan oleh kelompoknya dan memiliki keahlian khusus yang tepat bagi situasi khusus.
Menurut Mulyasa (2004:107), kepemimpinan diartikan sebagai kegiatan untuk memengaruhi orang-orang terhadap tercapainya tujuan organisasi. Sedangkan kepemimpinan menurut Hasibuan (2010:75) adalah cara seorang pemimpin memengaruhi perilaku bawahan, agar mau bekerja sama dan bekerja secara produktif untuk mencapai tujuan organisasi. Pengertian lain menurut Yulk (1997:7) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah proses menghargai orang lain untuk memahami dan menyepakati tentang apa yang perlu untuk dilakukan dan bagaimana hal tersebut dapat dilaksanakan secara efektif, dan proses memfasilitasi usaha individu atau kelompok (kolektif) untuk memenuhi tujuantujuan utama.
Keterkaitan Antara Kepemimpinan Dan Korupsi
Keterkaitan antara kepemimpinan dan korupsi secara umum sulit rasanya untuk dipertemukan, karena dari keduanya tidak menunjukkan dalam satu masalah yang dapat dipersamakan. Namun apabila dicoba dihubungkan dengan pengertian bahwa kepemimpinan dapat saja melahirkan, atau membiarkan terjadinya tindakan-tindakan korupsi. Kiranya relevan dari kedua istilah ini di posisikan sebagai dua persoalan yang dapat saling mendukung dan bahkan saling memenuhi.
Kepemimpinan yang baik dan berhasil sudah barang tentu akan disebut sebagai penyebab terjadinya akibat-akibat baik dalam berbagai hasil sesuai lingkup kepemimpinan. Namun sebaliknya kepemimpinan yang buruk dan gagal akan disebut sebagai penyebab terjadinya akibat-akibat buruk (jahat) dalam berbagai hal pula. Korupsi adalah salah satu bentuk kejahatan atau perbuatan curang (Khasan. Tt. 133), oleh agama atau bangsa manapun tidak dibenarkan dan oleh peraturan hukum di Indonesia jelas diatur sejak tahun 1971 dalam Undang-Undang No. 3 (LN 1971/19.T.L.N.No 2958) tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Mungkinkah meluas dan merajalelanya korupsi bahkan sebagian kalangan menyebut sebagian telah menjadi budaya ditengah kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Indonesia ini merupakan simbiosis mutualisme dengan kepemimpinan yang ada. Pembahasan selanjutnya akan menguraikan masalah tersebut.
Teori Kepemimpinan
Literatur tentang kepemimpinan, tidak ada teori kepemimpinan yang secara khusus membahas masalah korupsi. Namun, hampir semua teori kepemimpinan menekankan pentingnya mengatasi masalah sosial seperti korupsi untuk mencapai keberhasilan, kesejahteraan masyarakat, dan keberhasilan kepemimpinan. Korupsi dianggap sebagai bagian dari kegagalan pemimpin karena merugikan banyak orang, meskipun pelaku korupsi mungkin mendapatkan keuntungan pribadi dari tindakan tersebut. Jika pemimpin tidak mengambil tindakan tegas melalui penegakan hukum dan membersihkan lingkungan dari korupsi, hal ini dianggap sebagai kegagalan kepemimpinan.
Teori Lingkungan (Environmental) menyatakan bahwa kepemimpinan muncul sebagai respons terhadap faktor lingkungan sosial yang memerlukan penyelesaian. Oleh karena itu, kemampuan dan keterampilan kepemimpinan sangat penting dalam mengatasi masalah sosial, terutama dalam situasi tekanan atau perubahan yang memerlukan adaptasi.
Dalam konteks ini, masalah korupsi dianggap sebagai permasalahan sosial yang sangat serius di masyarakat. Meskipun dianggap sebagai kejahatan dan perilaku tercela, korupsi telah menjadi bagian dari budaya dan bahkan dianggap sebagai "prestasi buruk" dalam konteks tertentu. Oleh karena itu, kepemimpinan nasional dihadapkan pada tantangan besar untuk mengatasi masalah korupsi ini. Teori Lingkungan menekankan bahwa keberhasilan dalam memberantas korupsi adalah salah satu indikator kesuksesan kepemimpinan secara keseluruhan.
Teori Humanistik menekankan pentingnya kelompok masyarakat atau organisasi dalam munculnya pemimpin. Fungsi kepemimpinan adalah mengatur kebebasan individu untuk mencapai tujuan bersama dengan memahami dan merealisasikan motivasi rakyat. Organisasi berperan sebagai wadah untuk memenuhi kebutuhan politik, ekonomi, sosial, dan budaya, serta mengontrol kegiatan besar seperti bernegara agar terarah dan bertanggung jawab. Dalam konteks ini, pemimpin bertanggung jawab untuk memastikan bahwa organisasi tidak terkotori oleh tindakan individu seperti penyelewengan atau korupsi. Kepemimpinan memiliki peran kunci dalam mengarahkan individu dan masyarakat, serta lembaga-lembaga mereka, untuk tidak terlibat dalam tindakan korupsi yang membahayakan negara.
Sementara itu, teori kekuasaan, kewibawaan, dan kemampuan menyatakan bahwa ketiga elemen tersebut harus ada dalam seorang pemimpin. Kekuasaan merujuk pada otoritas dan legalitas yang memberi wewenang kepada pemimpin untuk mempengaruhi bawahan. Kewibawaan adalah kelebihan dan keunggulan yang memungkinkan pemimpin mengatur orang lain, sehingga mereka patuh dan melaksanakan tugas tertentu. Kemampuan mencakup daya, kesanggupan, kekuatan, dan keterampilan teknis maupun sosial yang melebihi dari kemampuan anggota biasa.
Namun, meskipun pemimpin memiliki kekuasaan, kewibawaan, dan kewenangan untuk mempengaruhi orang-orang yang dipimpinnya agar tidak terlibat dalam korupsi, hal tersebut tidak akan efektif jika pemimpin tidak melengkapi dirinya dengan kemampuan yang memadai. Kemampuan ini mencakup berbagai aspek, seperti daya upaya, kesanggupan, kecakapan, dan keterampilan dalam memberantas korupsi. Dengan kata lain, pemimpin perlu memiliki kecakapan dan keterampilan yang diperlukan untuk memastikan bahwa orang-orang di bawah kepemimpinannya patuh dan tidak terlibat dalam tindakan korupsi.
Keberhasilan seorang pemimpin dapat diukur dari kemampuannya untuk mengubah budaya korupsi menjadi budaya bersih dan jujur. Ini mencakup upaya untuk menghilangkan praktik korupsi dalam berbagai lapisan masyarakat dan institusi. Selain itu, keberhasilan juga dapat dilihat dari efektivitas penegakan hukum yang adil dan berkeadilan. Penegakan hukum yang adil berarti bahwa hukum ditegakkan tanpa pandang bulu dan setiap orang, termasuk pejabat pemerintah, diperlakukan sama di mata hukum.
Namun, penting untuk diingat bahwa penegakan supremasi hukum tidak selalu menjamin keadilan. Supremasi hukum hanya berarti bahwa hukum adalah yang tertinggi dalam hierarki keputusan dan semua individu, termasuk pemerintah, harus tunduk pada hukum. Namun, keadilan melibatkan aspek-aspek seperti kesetaraan, kemanfaatan, dan perlakuan yang adil terhadap semua orang, terlepas dari status sosial atau kekayaan mereka.
Jadi, keberhasilan seorang pemimpin tidak hanya terletak pada penegakan supremasi hukum, tetapi juga pada penegakan keadilan yang merata dan inklusif. Seorang pemimpin yang mampu menciptakan budaya bersih dan menjalankan penegakan hukum yang adil merupakan pemimpin yang efektif dan memperjuangkan kepentingan masyarakatnya secara menyeluruh.
Gaya Kepemimpinan
Tidak semua orang memiliki bakat untuk menjadi pemimpin, namun hal ini tidak berarti bahwa kemampuan kepemimpinan tidak dapat dipelajari. Kepemimpinan bukanlah tentang memiliki otoritas mutlak dan memutuskan segala hal dengan tanpa pertimbangan. Sebaliknya, seorang pemimpin yang efektif adalah orang yang dapat bekerja sama dengan orang lain, terbuka terhadap masukan dari berbagai pihak, dan mampu mengarahkan anggota tim menuju tujuan bersama.
Sayangnya, masih ada anggapan di masyarakat bahwa seorang pemimpin haruslah memiliki jawaban untuk segala hal dan keputusannya tidak boleh dipertanyakan. Namun, pandangan ini keliru. Seorang pemimpin yang baik seharusnya mampu menerima masukan dari orang lain dan mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan yang matang.
Ada beberapa gaya kepemimpinan yang perlu dipahami, di antaranya adalah:
- Gaya Kepemimpinan Otoriter: Kepemimpinan otoriter menempatkan pemimpin sebagai otoritas mutlak yang mendominasi dan memaksakan pendapat pribadi kepada anggota tim. Meskipun pendekatan ini dapat menghasilkan keputusan cepat dan tegas, namun seringkali menyebabkan ketidaknyamanan di tim. Salah satu kelebihannya adalah pemimpin otoriter cenderung tegas dalam menanggapi kesalahan anggota timnya. Namun, pendekatan ini juga dapat menimbulkan tekanan pada karyawan, bahkan mungkin menyebabkan mereka memutuskan untuk berhenti bekerja.
- Gaya Kepemimpinan Demokratis: Berbeda dengan pendekatan otoriter, kepemimpinan demokratis memberikan kesempatan pada anggota tim untuk berpartisipasi dengan menyampaikan pendapat mereka. Meskipun suasana kerja menjadi lebih nyaman karena anggota tim merasa didengarkan, namun pemimpin mungkin mengalami kesulitan dalam mengambil keputusan karena banyaknya pendapat yang harus dipertimbangkan. Pendekatan ini juga berpotensi menimbulkan konflik antar karyawan yang mempertahankan pendapat masing-masing.
- Gaya Kepemimpinan Delegatif: Dalam kepemimpinan delegatif, pemimpin memberikan tanggung jawab dan keputusan kepada anggota tim. Meskipun terkesan memberi kepercayaan dan meningkatkan motivasi serta rasa percaya diri anggota tim, pendekatan ini dapat menyebabkan masalah jika ada anggota tim yang tidak bertanggung jawab.
- Gaya Kepemimpinan Transformasional: Pemimpin transformasional sangat antusias dalam menciptakan perubahan di timnya. Mereka memiliki energi, kecerdasan, dan konsistensi dalam memberikan semangat kepada anggota tim. Namun, pendekatan ini memerlukan umpan balik yang konsisten dan komunikasi terus-menerus agar perubahan yang diinginkan dapat diwujudkan oleh seluruh anggota tim.
- Gaya Kepemimpinan Transaksional: Pemimpin transaksional menerapkan sistem reward bagi anggota tim atas pencapaian tertentu, sekaligus memberlakukan konsekuensi atau hukuman jika anggota tim tidak mencapai target. Pendekatan ini melibatkan anggota tim dalam skema penghargaan dan hukuman, memberikan insentif bagi mereka untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Korupsi
Korupsi adalah sebuah cela atau aib yang sangat akrab ditelinga orang Indonesia. Hampir setiap hari media massa baik cetak maupun elektronik mengungkapkan permasalahan yang satu ini dalam berbagai ragam dan tingkatannya. Kendatipun semua orang tidak dapat menerima praktik-praktik korupsi, tetapi korupsi hampir melibatkan semua orang (Mufid, 1997, 13). Korupsi tidak hanya dilakukan oleh pejabat, pengusaha dan pegawai negeri / swasta, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang yang berhubungan dengan lembaga-lembaga sosial dan bahkan lembaga keagamaan. Dimanapun, manakala ada kesempatan, orang akan melakukan korupsi.
Mulai dari lingkungan rumah tangga, perilaku tidak jujur dan tidak bertanggung jawab dari anggota keluarga seperti anak, suami, atau istri dapat menjadi akar dari praktik korupsi. Contohnya, jika seorang anak diminta untuk melakukan belanja dan mengembalikan sisa uang, tetapi uangnya tidak dikembalikan, hal itu bisa menjadi awal dari perilaku koruptif. Orang tua yang mengabaikan atau membiarkan hal-hal kecil seperti ini terjadi di dalam rumah tangga sebenarnya memberikan pendidikan korupsi kepada keluarganya.
Tidak jujur juga bisa terjadi dalam hubungan sosial di tingkat masyarakat yang lebih luas, seperti tingkat RT, RW, Dusun, dan Desa. Ada kasus-kasus di mana pengelolaan uang iuran dari warga tidak dipertanggungjawabkan dengan baik. Selain itu, dalam kegiatan kepanitiaan yang melibatkan warga, terkadang ada anggota panitia yang curang. Bahkan, dalam pembangunan tempat ibadah yang seharusnya dihormati, masih ditemui kasus ketidakjujuran.
Tidak hanya itu, dalam hal penegakan hukum di jalan raya, polisi sebagai penegak hukum seringkali melakukan tindakan sewenang-wenang. Mereka meminta denda langsung kepada masyarakat dengan alasan pelanggaran lalu lintas, padahal uang dari denda tersebut hanya masuk ke kantong mereka sendiri. Kadang-kadang, surat tilang hanya digunakan sebagai kedok, dan proses hukum yang seharusnya berlaku dalam kasus pelanggaran lalu lintas tidak dilaksanakan dengan benar.
Korupsi sebagai tingkah laku pejabat yang menyimpang dari norma yang telah di terima oleh masyarakat, dengan maksud memperkaya pribadi. Bentuk lain adalah balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang pejabat, dari ilustrasi ini, ciri yang sangat menonjol dalam masalah korupsi adalah tingkah laku pejabat yang melanggar asas pemisahan keuangan pribadi dengan keuangan politik (Noeh,1996).
Korupsi juga melibatkan tindakan di luar batas hukum untuk memengaruhi tindakan dan kebijakan birokrasi. Dalam konteks ini, korupsi digunakan untuk mendapatkan persetujuan dari pejabat yang bertanggung jawab dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan tertentu. Sebagai contoh, memberi suap kepada pejabat untuk mendapatkan surat izin atau mendapatkan berbagai kemudahan, serta menghindari pembayaran pajak atau denda. Dalam praktik suap ini, uang yang diberikan masuk ke kantong pribadi pejabat, bukan ke kas negara. Oleh karena itu, korupsi sangat bertentangan dengan prinsip hukum dan keadilan.
Why?
Penyebab Terjadinya Korupsi
Faktor penyebab korupsi dapat timbul dari aspek internal individu maupun dari lingkungan yang memungkinkan terjadinya praktik korupsi. Menurut psikolog Sarlito W. Sarwono dari Universitas Indonesia, terdapat dua dorongan utama yang mendorong tindakan korupsi. Menurut Sarlito, dorongan pertama berasal dari dalam diri individu itu sendiri, sementara dorongan kedua berasal dari faktor-faktor eksternal. Faktor eksternal ini meliputi pengaruh dari teman, peluang korupsi, kurangnya pengendalian atau pengawasan, dan sebagainya, seperti yang diambil dari buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang ditulis oleh Ani Sri Rahayu. Dengan kata lain, korupsi bisa dipicu oleh dorongan internal individu dan juga dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya, termasuk pengaruh dari teman, peluang, serta kurangnya pengawasan.
Faktor Penyebab Korupsi dari Aspek Internal
- Sifat selalu merasa kurang
Tindak pidana korupsi dapat terjadi karena adanya wewenang. Wewenang umumnya disertai dengan hak pemegang wewenang. Namun bila seseorang memiliki sifat selalu merasa kurang, maka dapat muncul rasa rakus atau serakah, seperti dikutip dari Suara Generasi tentang Budaya Antikorupsi oleh Umi Fitriani, dkk.
Rasa ingin lebih inilah yang dituruti pelaku korupsi sehingga menuntaskannya dengan cara korupsi, merugikan hak banyak pihak demi kepentingan pribadi. Sifat selalu merasa kurang merupakan faktor internal penyebab korupsi.
- Moral lemah
Seseorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk melakukan korupsi. Godaan dan tekanan ini dapat muncul dari atasan, teman setingkat, bawahan, atau pihak lain yang memberikan celah korupsi, seperti dikutip dari Etika Administrasi Publik oleh Rudiyansyah, S.Sos, M.AP. dan Dahlan, S.Pd., M.Pd., M.Si.
- Penghasilan kurang mencukupi
Penghasilan seorang pegawai dari sebuah pekerjaan seharusnya memenuhi atau sejalan dengan kebutuhan hidup yang wajar. Jika tidak, maka seseorang cenderung berusaha memenuhinya dengan berbagai cara. Ketika tidak ada peluang, maka seseorang bisa jadi memanfaatkan celah korupsi, baik korupsi waktu, tenaga, maupun pikiran untuk hal-hal di luar pekerjaan yang seharusnya.
- Kebutuhan hidup yang mendesak
Pada situasi terdesak terkait ekonomi, dapat terbuka ruang bagi seseorang untuk menempuh jalan pintas baik maupun buruk. Salah satu jalan pintas yang buruk yaitu korupsi.
- Gaya hidup konsumtif
Kehidupan di kota besar kerap mendorong gaya hidup seseorang berperilaku konsumtif. Perilaku konsumtif berisiko membuka celah korupsi demi memenuhi kebutuhan hidup jika tidak diimbangi dengan pendapatan memadai.
- Mals atau tidak mau bekerja
Sejumlah orang ingin mendapat hasil dari suatu pekerjaan tanpa berusaha. Sifat malas ini berisiko memicu seseorang melakukan cara yang mudah dan cepat demi mencapai tujuan. Salah satu cara tersebut adalah korupsi.
Factor Penyebab Korupsi dari Aspek Organisasi
- Kurangnya sikap keteladanan pimpinan
Posisi pimpinan dalam lembaga formal maupun informal berpengaruh penting bagi anggotanya. Jika pemimpin melakukan korupsi, terbuka kemungkinnan bagi anggotanya untuk mengambil risiko yang sama.
- Tidak ada kultur organisasi yang benar
Kultur organisasi berpengaruh pada anggotanya. Jika tidak dikelola dengan baik, maka sebuah kultur organisasi dapat memicu situasi yang tidak kondusif dan perbuatan negatif di lingkungan kehidupan organisasi. Salah satu perbuatan negatif tersebut di antaranya korupsi.
- Kurangnya sistem akuntabilitas yang benar
Sistem akuntabilitas yang tidak memadai, visi-misi serta tujuan dan sasaran yang berlu ditetapkan dengan jelas, serta kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki berisiko memicu situasi organisasi kondusif untuk praktif korupsi.
- Kelemahan sistem pengendalian manajemen
Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgar atau lemah pengendalian manajemen di sebuah organisasi, maka semakin terbuka peluang perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawainya.
- Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasi
Umumnya, jajaran manajemen menutupi tindakan korupsi yang dilakukan segelintir oknum dalam organisasinya. Akibat sifat tidak transparan tersebut, pelanggaran korupsi justru terus berjalan dengan berbagai bentuk.
Faktor Penyebab Korupsi dari Aspek Tempat
- Nilai di masyarakat memungkinkan korupsi
Nilai di masyarakat berisiko memicu langgengnya korupsi. Korupsi dapat timbul dari budaya masyarakat seperti menghargai seseorang berdasarkan kekayaan. Kondisi ini dapat memicu seseorang tidak kritis, seperti dari mana kekayaan tersebut didapat.
- Masyarakat kurang sadar dirinya korban korupsi
Anggapan umum di masyarakat adalah yang rugi karena korupsi adalah negara. Padahal jika negara rugi, yang rugi adalah masyarakat karena proses anggaran pembangunan dipangkas para pelaku korupsi.
- Masyarakat kurang sadar dirinya terlibat korupsi
Terbiasa pada kegiatan korupsi sehari-hari dengan cara terbuka berisiko membuat masyarakat tidak kritis pada aktivitas korupsi yang dilakukannya. Contoh, di sebuah daerah kerap terlihat pegawai pulang atau ke pusat perbelanjaan jauh sebelum waktu kerja usai sehingga jamak ditiru pekerja yang lebih muda.
- Masyarakat kurang sadar korupsi bisa dicegah dan diberantas
Pandangan umum yang kerap berlaku di tengah masyarakat yaitu mencegah dan menindak korupsi merupakan tanggung jawab pemerintah. Padahal, pencegahan dan pemberantasan korupsi di lingkungan pribadi dan profesional merupakan tanggung jawab semua masyarakat.
- Aspek peraturan perundang-undangan
Korupsi juga berisiko timbuh karena adanya kelemahan dalam peraturan perundang-undangan. Peraturan tersebut dapat berisi poin yang hanya menguntungkan penguasa, tidak berkualitas, kurang disosialisasikan, sanksi terlalu ringan, penerapan sanksi yang tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemah di bidang evaluasi dan revisi.
Sedangkan menurut Donald R Cressey, ada tiga faktor yang membuat seseorang melakukan korupsi, yaitu:
- Pressure (tekanan)
Memiliki motivasi untuk melakukan tindakan korupsi karena adanya tekanan, salah satunya karena motif ekonomi. Namun, tekanan ini kadang tidak benar-benar ada, hanya pelaku saja yang berpikir kalau mereka merasa tertekan dan tergoda pada bayangan insentif.
- Opportunity (kesempatan)
Adanya kesempatan membuat seseorang tergiur untuk korupsi. Ini terjadi akibat dari lemahnya sistem pengawasan yang pada akhirnya menjerumuskan pelaku melakukan korupsi.
- Rationalization (rasionalisasi)
Para pelaku selalu memiliki rasionalisasi atau pembenaran untuk melakukan korupsi. Rasionalisasi ini ternyata dapat menipiskan rasa bersalah yang dimiliki pelaku dan merasa dirinya tidak mendapatkan keadilan. Sebagai contoh "saya korupsi karena tidak digaji dengan layak". Sebagaimana yang diutarakan Cressey, korupsi terjadi kalau ada kesempatan melakukannya. Tak heran, jika banyak yang melakukan tindakan culas tersebut.
How? Upaya Pencegahan Korupsi Di Indonesia Dalam Cerita Dewa Ruci Werkudara
Dewa Ruci, dalam cerita pewayangan, adalah nama seorang dewa kerdil yang dijumpai oleh Bima atau Werkudara dalam sebuah perjalanan mencari air kehidupan. Nama Dewa Ruci juga merupakan lakon atau judul pertunjukan wayang tentang dewa tersebut, yang berisi ajaran moral dan filsafat hidup orang Jawa.
Lakon wayang tersebut merupakan interpolasi bagi Mahabarata, sehingga tidak ditemukan dalam naskah asli Mahabharata dari India. Lakon Dewa Ruci berkisah tentang kepatuhan murid kepada guru, kemandirian bertindak, dan perjuangan menemukan jati diri. Menurut filsafat Jawa, pengenalan jati diri akan membawa seseorang mengenal asal-usul diri sebagai ciptaan dari Tuhan. Pengenalan akan Tuhan itu menimbulkan hasrat untuk bertindak selaras dengan kehendak Tuhan, bahkan menyatu dengan Tuhan, yang disebut sebagai Manunggaling Kawula Gusti (bersatunya hamba-Gusti).
Walaupun bukan bagian asli dari kitab Mahabharata karya Kresna Dwaipayana Byasa, cerita ini mengambil tokoh utama dari Mahabharata, yaitu Bima, salah satu kesatria Pandawa yang bertenaga paling kuat. Kisah sisipan ini populer dalam masyarakat Jawa dan dipentaskan oleh kebanyakan dalang di Jawa. Kisah Dewa Ruci yang menjadi rujukan para dalang dan para pencerita masa kini merujuk pada tulisan Yasadipura I (ditengarai sebagai guru dari pujangga Ranggawarsita) dari Surakarta, yang hidup pada masa Pakubuwono III (1749–1788) dan Pakubuwono IV (1788–1820). Yasadipura I sendiri dijuluki sebagai pujangga “penutup” Keraton Surakarta.
Makna Ajaran Dewa Ruci
Guru Durna memerintahkan Sena menemukan air suci Prawitasari. Kata prawita berasal dari kata pawita yang artinya bersih, suci, sementara kata sari artinya inti. Jadi, prawitasari adalah inti atau sari daripada ilmu suci.
Air suci itu disebut ada di hutan Tikbrasara, di lereng Gunung Reksamuka. Kata tikbra artinya prihatin dan sara berarti tajamnya pisau; makna ini melambangkan pelajaran untuk mencapai lendeping cipta (tajamnya cipta). Kata reksa itu berarti memelihara atau mengurusi dan muka adalah wajah; jadi, reksamuka itu adalah mencapai sari ilmu sejati melalui samadi.
Sebelum melakukan samadi, orang harus membersihkan atau menyucikan badan dan jiwanya dengan air. Pada saat samadi dia harus memusatkan ciptanya dengan fokus pandangan pada pucuk hidung.
Pandangan atau paningal sangatlah penting pada waktu samadi. Seseorang yang mendapatkan restu zat yang suci mampu melihat kenyataan, antara lain melalui cahaya atau sinar yang datang kepadanya pada saat samadi. Dalam cerita wayang, digambarkan bahwasanya Resi Manukmanasa dan Bengawan Sakutrem bisa pergi ke tempat suci melalui cahaya suci.
Di hutan, Sena diserang dua raksasa, Rukmuka dan Rukmala. Dalam pertempuran yang hebat Sena dapat membunuh keduanya, berarti Sena berhasil menyingkirkan halangan agar samadinya berhasil. Rukmuka: ruk = rusak serta melambangkan hambatan yang berasal dari makanan yang enak (kemukten). Rukmakala: rukma berarti emas dan kala adalah bahaya, menggambarkan rintangan yang datang dari kemewahan kekayaan material, seperti pakaian, perhiasan, emas permata dan lain-lain (kamulyan).
Sena tidak dapat melaksanakan samadinya dengan sempurna apabila pikirannya masih dipenuhi kamukten dan kamulyan dalam kehidupan, karena kamukten dan kamulyan akan menutupi ciptanya yang jernih; terbunuhnya dua raksasa tersebut dengan gamblang menjelaskan bahwa Sena bisa menghapus halangan-halangan tersebut.
Sena akhirnya tahu bahwa air suci itu tidak ada di hutan, tetapi sebenarnya ada di dasar samudra. Tanpa ragu-ragu ia menuju ke samudra. Ingatlah kepada perkataan Samudra Pangaksama yang berarti orang baik semestinya punya hati bak luasnya samudra, yang dengan mudah memaafkan kesalahan orang lain.
Ular adalah simbol kejahatan. Sena membunuh ular itu dalam satu pertarungan seru. Di sini digambarkan bahwa dalam pencarian mendapatkan kenyataan sejati, tidaklah cukup jika mengesampingkan kamukten dan kamulyan, namun juga harus menghilangkan kejahatan di dalam hatinya. Untuk itu dia harus mempunyai sifat-sifat berikut:
- Rila: tidak susah hati jika kekayaannya berkurang, tidak iri kepada orang lain.
- Legawa: harus selalu bersikap baik dan benar.
- Nrima: bersyukur menerima jalan hidup dengan sadar.
- Anoraga: rendah hati, jika ada orang yang berbuat jahat kepadanya ia tak akan membalas dan berusaha tetap sabar.
- Eling: tahu mana yang benar dan salah, senantiasa berpihak kepada kebaikan dan kebenaran.
- Santosa: selalu di jalan yang benar, tidak pernah berhenti berbuat benar, selalu waspada dan menghindari perbuatan jahat.
- Gembira: bukan berarti senang karena bisa melaksanakan kehendak/nafsunya, namun merasa tenteram, melupakan kekecewaan dari kesalahan-kesalahan dan kerugian yang terjadi di masa lalu.
- Rahayu: kehendak untuk senantiasa berbuat baik demi kepentingan bersama.
- Wilujengan: menjaga kesehatan, kalau sakit diobati.
- Marsudi kawruh: selalu mencari dan mempelajari ilmu yang benar.
- Samadi.
- Ngurang-ngurangi: makan hanya ketika telah lapar, makan tidak perlu banyak dan tidak harus memilih makanan yang enak-enak: minum secukupnya pada waktu sudah haus dan tak perlu harus memilih minuman yang lezat; tidur pada waktu sudah mengantuk dan tidak harus tidur di kasur yang tebal dan nyaman; tidak boleh terlalu sering bercinta dan itu pun hanya boleh dilakukan dengan pasangannya yang sah.
Upaya Pencegahan Korupsi di Indonesia
Upaya pencegahan korupsi di Indonesia dapat diilhami dan diperkuat oleh ajaran moral dan filsafat hidup yang terkandung dalam kisah Dewa Ruci Werkudara. Meskipun kisah ini berasal dari cerita pewayangan Jawa, prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya dapat diaplikasikan dalam konteks pencegahan korupsi di masyarakat modern. Berikut adalah beberapa aspek upaya pencegahan korupsi yang dapat diambil sebagai pembelajaran dari kisah Dewa Ruci:
- Kepatuhan Murid kepada Guru:
Dewa Ruci menunjukkan kepatuhan yang tinggi terhadap ajaran guru Durna dalam mencari air suci Prawitasari. Dalam konteks pencegahan korupsi, kepatuhan terhadap hukum, aturan, dan nilai-nilai moral yang diwariskan oleh pemimpin atau lembaga pembinaan moral sangat penting. Mendorong budaya kepatuhan dan integritas dapat mengurangi potensi tindakan korupsi.
- Kemandirian Bertindak:
Werkudara atau Bima dalam kisah Dewa Ruci menunjukkan kemandirian dalam menghadapi rintangan. Dalam pencegahan korupsi, individu perlu memiliki kemandirian untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai etika, bahkan dalam situasi yang sulit. Pendidikan moral dan karakter dapat membantu mengembangkan kemandirian ini.
- Perjuangan Menemukan Jati Diri:
Kisah Dewa Ruci mengajarkan pentingnya perjuangan untuk menemukan jati diri. Dalam konteks pencegahan korupsi, individu perlu memiliki pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai diri mereka dan tidak tergoda oleh godaan kekayaan atau kekuasaan yang dapat membawa pada perilaku koruptif.
- Bersatunya Hamba dengan Tuhan:
Konsep Manunggaling Kawula Gusti, yaitu bersatunya hamba dengan Tuhan, dapat diartikan sebagai kesadaran moral yang tinggi. Masyarakat yang memiliki kesadaran moral yang kuat cenderung lebih mengutamakan kebaikan bersama daripada kepentingan pribadi. Ini dapat membantu mencegah tindakan korupsi yang merugikan banyak orang.
- Pembersihan Diri dari Hambatan:
Sena dalam kisah Dewa Ruci harus menghadapi dan mengalahkan raksasa Rukmuka dan Rukmala, yang mewakili hambatan dari kemewahan dan kekayaan material. Dalam konteks pencegahan korupsi, individu perlu membersihkan diri dari godaan materi dan melawan hambatan-hambatan moral yang dapat mengarah pada perilaku koruptif.
- Sifat-sifat Positif untuk Samadi:
Sifat-sifat seperti rila, legawa, nrima, anoraga, eling, santosa, gembira, rahayu, wilujengan, marsudi kawruh, dan samadi yang dijelaskan dalam kisah Dewa Ruci dapat dijadikan panduan untuk membentuk karakter yang kuat dan menghindari perilaku koruptif.
- Pentingnya Kesadaran dan Pengetahuan:
Sena akhirnya menemukan air suci bukan di hutan, tetapi di dasar samudra. Hal ini menunjukkan pentingnya kesadaran dan pengetahuan yang mendalam dalam mencari kebenaran. Dalam konteks pencegahan korupsi, pendidikan dan peningkatan kesadaran masyarakat tentang dampak negatif korupsi dapat membantu mencegah terjadinya tindakan koruptif.
Kesimpulan
Kisah Dewa Ruci Werkudara, meskipun berasal dari cerita pewayangan Jawa, memberikan pandangan yang berharga dalam konteks pencegahan korupsi yang dapat diaplikasikan pada kepemimpinan di Indonesia. Kepemimpinan yang kokoh dan bermoral dapat menjadi fondasi kuat untuk menciptakan masyarakat yang bersih dan berintegritas.
Kepemimpinan yang membangun budaya kepatuhan, kemandirian bertindak, dan perjuangan menuju jati diri menjadi landasan penting dalam upaya mencegah korupsi. Ajaran moral dan filsafat hidup yang terkandung dalam kisah ini memberikan inspirasi untuk membentuk pemimpin yang tidak hanya unggul secara profesional, tetapi juga memiliki karakter yang kuat.
Pentingnya bersatunya hamba dengan Tuhan, seperti yang diajarkan dalam konsep Manunggaling Kawula Gusti, mengingatkan bahwa pemimpin yang memiliki kesadaran moral yang tinggi akan lebih mungkin memimpin dengan tujuan yang benar dan tidak tergoda oleh nafsu pribadi. Kesadaran ini juga menciptakan kepekaan terhadap nilai-nilai yang bersifat universal, yang pada gilirannya dapat mengurangi potensi tindakan koruptif.
Pembersihan diri dari hambatan-hambatan moral, seperti yang dilakukan oleh Sena dalam pertarungan melawan raksasa Rukmuka dan Rukmala, menggarisbawahi pentingnya pemimpin untuk tidak terjerumus dalam godaan kekayaan dan kemewahan. Sifat-sifat positif yang dijelaskan dalam kisah Dewa Ruci, seperti rila, legawa, nrima, dan lainnya, dapat membentuk dasar karakter yang dapat menahan godaan korupsi.
Pentingnya kesadaran dan pengetahuan, yang tercermin dari perjalanan Sena dalam menemukan air suci, menunjukkan bahwa pemimpin yang berpengetahuan luas dan sadar akan dampak negatif korupsi dapat memimpin dengan bijaksana dan mengambil keputusan yang bermoral.
Dengan merujuk pada kisah Dewa Ruci Werkudara, dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan yang berfokus pada pembentukan karakter, pemahaman nilai-nilai moral, dan kesadaran akan konsekuensi dari tindakan koruptif dapat menjadi kunci dalam mewujudkan masyarakat yang bersih dan berintegritas di Indonesia. Dengan mengambil hikmah dari kisah ini, pemimpin dapat membawa perubahan positif yang mendalam dalam upaya mencegah korupsi dan menciptakan lingkungan yang adil dan berkeadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Hasibuan, N. 2010. Kepemimpinan Dalam Organisasi. Jakarta: Prenhallindo.
Kartono, Kartini. 2006. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Koeswadji, Hermin H. 1994. Korupsi di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.
https://id.wikipedia.org/wiki/Dewa_Ruci. diakses 10 November 2023.
http://www.pustakaindigo.com/2016/04/kisah-dewa-ruci.html. diakses 10 November 2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H