Mohon tunggu...
Zainur Ridho
Zainur Ridho Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Mempertanyakan Objektivitas Ilmu Pengetahuan

15 Januari 2024   17:54 Diperbarui: 15 Januari 2024   18:00 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Ilmu pengetahuan identik dengan objektivitas. Para ilmuwan dianggap mengejar kebenaran sejati alam semesta melalui metode-metode sistematis dan terbebas dari bias individu. Namun, benarkah ilmu pengetahuan 100% objektif? Bisakah manusia yang tak luput dari subjektivitas menghasilkan pengetahuan yang murni objektif? Pertanyaan-pertanyaan itu penting diajukan guna meningkatkan kualitas dan integritas ilmu pengetahuan itu sendiri.

Sejatinya, kebenaran objektif mutlak memang tidak pernah ada. Setiap orang memiliki pandangan dunia (worldview) masing-masing yang memengaruhi caranya memandang dan memaknai realitas. Lebih jauh, faktor politik, ideologi, agama, kultur, bahkan emosi juga turut membentuk cara berpikir seorang ilmuwan. Maka sudah semestinya klaim objektivitas mutlak ditinjau ulang, sebagaimana ditegaskan filsuf dan pisikawan Thomas Kuhn.

Menurut Kuhn, perkembangan ilmu pengetahuan tidak linier seperti yang diajarkan di buku teks. Ilmuwan justru bekerja dalam suatu paradigma dominan pada zamannya. Paradigma itu membentuk asumsi dasar cara pandang mereka terhadap persoalan ilmiah tertentu. Ketika penemuan-penemuan baru (anomaly) yang tak terjelaskan paradigma lama muncul, barulah terjadi pergeseran paradigma ilmiah melalui proses yang disebut 'revolusi ilmiah'. Analoginya, ilmu pengetahuan bagaikan puzzle raksasa. Para ilmuwan bekerja menyusun kepingan demi kepingan puzzle berdasarkan gambar acuan paradigma yang ada. Ketika puzzle sudah hampir lengkap, barulah disadari bahwa gambar acuannya ternyata salah. Paradigma pun bergeser dan ilmuwan mulai menyusun puzzle yang sama dengan gambar acuan baru. 

Jadi menurut Kuhn, perkembangan ilmu lebih evolusioner ketimbang linier seperti yang selama ini diasumsikan. Paradigma dan objektivitas ilmu selalu dipengaruhi oleh berbagai faktor sosio-kultural zamannya. Hal ini dibuktikan sejarah kontroversi sengit antara pakar astronomi geosentris (bumi sebagai pusat tata surya) melawan heliosentris (matahari sebagai pusat tata surya) pada abad 16 dan 17 yang dimenangkan kubu heliosentris.

Namun meski tak lepas dari pengaruh subjektivitas manusia, bukan berarti ilmu pengetahuan sama sekali kehilangan nilai objektivitasnya. Medote ilmiah tetap menjadi standar emas bagi ilmuwan dalam upaya mendekati kebenaran objektif. Metode ilmiah mendorong ilmuwan selalu bersikap skeptis, melakukan verifikasi, memastikan konsistensi logika, hingga mau mengakui dan memperbaiki kesalahan. Peer review oleh komunitas ilmiah juga menjaga ilmu pengetahuan dari bias individual ilmuwan.

Oleh karena itu, sangatlah keliru jika ada pihak-pihak anti ilmu yang seenaknya menolak temuan ilmu dengan alasan mutlak subjektif dan tidak objektif. Kritik demi penyempurnaan ilmu pengetahuan tentu diperlukan, namun penolakan total justru kontraproduktif. Sebab bagaimanapun, ilmu pengetahuanlah yang membuat kita menikmati berbagai kemudahan teknologi modern sekarang ini.

Perdebatan Objektivitas dalam Ranah Logika dan Matematika

Dalam ranah logika dan matematika, isu objektivitas juga menjadi perdebatan menarik di kalangan para filsuf. Sejatinya, logika dan matematika dikenal sebagai ilmu pasti dengan kebenaran definitif hitam putih. Namun pandangan ini mulai dipertanyakan dengan munculnya cabang-cabang logika dan matematika baru yang saling bertentangan satu sama lain.

Misalnya, dalam logika muncul paradoks-paradoks seperti paradoks pembohong, paradoks tukang cukur, hingga teorema ketidaklengkapan Gdel yang memicu perdebatan. Demikian pula dalam matematika, terdapat perbedaan tajam antara aliran logisme melawan intuisionisme. Logisme mengklaim kebenaran matematis itu objektif berdasarkan aturan main aksiomatik logika tertentu. Sebaliknya, intuisionisme menolak nilai kebenaran mutlak dan bersikeras bahwa objektivitas bergantung pada intuisi subjek.

Perpecahan dalam logika dan matematika ini mengindikasikan bahwa kedua disiplin ilmu itu tidak semurni dan seobjektif yang selama ini diasumsikan. Bahkan seorang filsuf terkemuka Ludwig Wittgenstein secara ekstrim pernah berkomentar bahwa matematika itu tidak lebih dari sekumpulan teka-teki logika belaka. Pendapat senada datang dari Immanuel Kant yang menggolongkan matematika sebagai ilmu sintetis a priori, bukan ilmu empiris murni. Yakni matematika merupakan konstruksi pemikiran subjek manusia, meski berdasar atas intuisi ruang dan waktu universal dalam diri manusia.

Argumen-argumen di atas bukan berarti merendahkan peran penting logika-matematika yang menjadi landasan hampir semua disiplin keilmuan modern. Namun setidaknya kita perlu berefleksi dan rendah hati. Klaim sepihak terhadap objektivitas mutlak bisa bermuara pada dogmatisme buta yang ironisnya justru kontraproduktif dengan semangat ilmiah itu sendiri.

Mencari Jalan Tengah Antara Objektivitas dan Subjektivitas

Lantas bagaimana sikap bijak menyikapi hubungan ilmu pengetahuan dengan objektivitas dan subjektivitas? Jalan tengah mungkin pilihan terbaik, dengan tetap mengakui adanya faktor-faktor subjektif dalam ilmu pengetahuan, tapi berupaya meminimalkannya.

Beberapa prinsip jalan tengah yang bisa diterapkan antara lain:

Pertama, mengakui bahwa objektivitas mutlak tidak ada, tapi itu bukan berarti subjektivitas boleh merajalela. Skeptisisme moderat tetap diperlukan untuk mendekatkan diri pada kebenaran, meski mungkin tak akan pernah sampai 100%.

Kedua, metode ilmiah tetap menjadi standar baku yang penting dipegang teguh ilmuwan, yakni sikap terbuka, jujur, teliti, kritis, hingga bersedia mengakui kesalahan demi kemajuan ilmu itu sendiri.

Ketiga, ilmu pengetahuan memerlukan kerendahan hati. Ilmuwan perlu sadar keterbatasan paradigmanya dan terbuka terhadap kemungkinan adanya temuan anomali di luar dugaan yang bisa memicu pergeseran cara pandang.

Keempat, walau pengaruh eksternal seperti politik dan ideologi sulit dihindari, paling tidak harus ada pemisahan domain antara ilmu murni dengan penerapan ilmu untuk keperluan tertentu.

Kelima, kolaborasi lintas disiplin dan peer review tetap diperlukan agar diskursus ilmu pengetahuan tidak didominasi kelompok kecil saja. Dengan begitu, bias individu bisa diminimalisasi.

Keenam, berpikir kritis perlu terus diasahkan pada masyarakat, terutama generasi muda. Dengan demikian, masyarakat tidak mudah terseret ke dalam pusaran informasi keliru atau teori konspirasi yang kadang mengatasnamakan ilmu pengetahuan.

Ketujuh, sisi spiritual dan etika tetap perlu diperhatikan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Tanpa kompas moral, ilmu bisa dimanfaatkan keliru untuk tujuan jahat yang merugikan manusia. Tentu saja garis batas antara etika dan ilmu sendiri seringkali samar, maka diperlukan kebijaksanaan kolektif di situ.

Kedelapan, menerima adanya misteri di alam semesta yang mungkin tak terpecahkan ilmu pengetahuan. Sikap rendah hati dengan yang gaib ada baiknya tetap dipertahankan. Berlebihan dalam mengagungkan ilmu dan merendahkan metafisika atau spiritualitas, bisajadi talian ilmuwan modern terpeleset ke jurang overconfidence tanpa sadar. 

Prinsip-prinsip di atas semoga bisa menjadi panduan bagi para ilmuwan dan filsuf kontemporer dalam memaknai objektivitas ilmu pengetahuan di tengah arus globalisasi informasi digital zaman now. Dengan demikian, kemajuan ilmu tetap berjalan teguh sembari tetap waspada terhadap pengaruh subjektivitas yang membelokkan ilmu dari relnya.

Sumbangan Pemikir Timur terhadap Wacana Objektivitas Ilmu Pengetahuan

Selama ini wacana ilmu pengetahuan Barat cenderung didominasi paradigma objektivitas dan dualisme subjek-objek yang ketat. Namun sebenarnya pemikiran Timur kuno sejak ribuan tahun lalu sudah menyinggung persoalan ini.

Misalnya dalam tradisi Taoisme dan Zen, ditegaskan bahaya klaim kebenaran mutlak tanpa kerendahan hati. Nabi Lao Tze bahkan berkata "Dao yang terucapkan bukanlah Dao yang sejati".  Ungkapan senada ditemukan dalam Buddhism dan Hinduism yang mengajarkan bahaya keterikatan ego terhadap konsep diri dan dunia. Konsep tersebut pada dasarnya terbatas dan dualistik, padahal realitas non-dual lebih luas dari itu.

Selaras dengan tema di atas, sangat menarik apa yang disampaikan fisikawan teoretis terkemuka, Fritjof Capra dalam bukunya berjudul "The Tao of Physics". Ia menjelaskan mengapa para fisikawan kuantum justru makin tertarik pada filsafat Timur, kendati mereka awalnya sangat positivistik. Rupanya paradigma non-dualitas Timur sangat koheren dengan temuan fisika kuantum modern seputar paradoks gelombang-partikel, superposisi kuantum, hingga interpretasi offline. Semua fenomena unik tersebut sulit dipahami logika dualistik konvensional. maka wajar bila Capra menyebut fisika Timur sebagai "misteri ilmu pengetahuan masa depan". 

Jadi sudah saatnya memasukkan elemen-elemen filosofi Timur ini ke dalam wacana Barat terkait ilmu pengetahuan dan objektivitas. Dengan menggabungkan keunggulan cara berpikir Timur dan Barat, diharapkan peradaban manusia bisa naik level pemahamannya tentang relaitas dan eksistensi alam semesta ini. Mungkin suatu hari kita akan temukan formulasi ilmu pengetahuan post-modern yang benar-benar holistik, integral, dan transendental.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun