Mohon tunggu...
Zainul Arifin
Zainul Arifin Mohon Tunggu... Guru - Zainul

Nama: Zainul Arifin

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dilema Pendidikan Agama Islam di Dunia Akademik pada Era Pandemi Covid-19

22 Juni 2020   13:13 Diperbarui: 22 Juni 2020   13:19 1211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

DILEMA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI ERA PANDEMIK COVID-19

Oleh: Zainul Arifin, mahasiswa pasca IAIN JEMBER

Pendidikan Agama Islam merupakan suatu hal yang  menarik untuk dibahas. Kenapa demikian?Karena Kajian pendidikan Agama Islam selalu dinamis, setiap hari permasalahan yang berlatar belakang agama selalu muncul dan disinilah peran PAI harus ditampilkan. PAI harus bisa menjadi solusi atas pelbagai permasalahan yang menuntut untuk diselesaikan.

Tidak hanya dari sisi sosial kemasyarakatan saja permasalahan itu muncul, bahkan atau mungkin dilembaga pendidikanlah permasalahan itu paling sering dan banyak muncul. Para pelaku pendidikan sering terlibat dan hidup dalam ruang yang selalu dinamis. 

Karena para praktisi-praktisi pendidikan tidak saja bergumul dengan dunia edukasi saja, setelah selesai mengajar mereka masih begumul dengan para pelaku sosial(seperti petani, pedagang dan yang lain)

Dari masing-masing lembaga pendidikan yang ada, mulai dari lembaga PAUD, taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas/aliyah sampai perguruan tinggi sekalipun tidak akan lepas dari problematika pendidikan. Kita sadar betul, semakin seseorang itu hidup dalam norma yang lebih tinggi pastilah ia akan menemui problem yang lebih “mewah” dari pada ia hidup dalam norma bawah. 

Satu contoh kecil; jika di Taman Kanak-kanak(TK), mungkin seorang guru menghadapi kenakalan peserta didik karena enggan bernyayi dan itu sangat mudah mengatasinya, maka lain bagi seorang guru yang memiliki peserta didik di lingkungan perkuliahan. Problematika yang ia hadapi lebih kompleks dari pada peserta didik yang ada dibawahnya.

Belum lagi ditambah dengan permasalahan baru yang dampaknya tidak hanya berpengaruh pada wilayah lokal saja namun seluruh wilayah secara global yakni penyakit corona virus diseas atau yang sering kita kenal dengan COVID-19. 

Virus yang diklaim berasal dari negara China ini,  kemunculanya telah  membuat gelisah dan risau tidak hanya pada sector sosial, ekonomi atau pariwisata, dunia pendidikan juga tidak luput dari dampak yang ia timbulkan.

Pendidikan yang merupakan ruh dari segala kegiatan keteraturan hidup harus juga dipaksakan meliburkan diri sebagai upaya agar zona pendidikan tidak menjadi cluster baru penyebaran virus ini. 

Virus ini setidaknya telah melumpuhkan seluruh kegiatan pendidikan baik dari jenjang kanak-kanak sampai jenjang perkuliahan. Disini, saya sebagai mahasiswa membaca bagaimana dampak yang ditimbulkan oleh virus tersebut bagi dunia akademik dan mahasiswanya.

Tela’ah kami, adanya COVID 19 setidaknya telah mengubah struktur bangunan pendidikan yang semestinya dilaksanakan oleh akademik dengan para mahasiswanya. Meski banyak yang merespon positif, namun tidak sedikit juga yang merespon negative akan perubahan tersebut . Diantara perubahan struktur pendidikan yang dirasakan saat pandemic yang menyebabkan banyak pelaku pendidikan menjadi resah dan gelisah adalah:

Kegiatan pendidikan yang berbasis tatapmuka harus dihentikan dan dipaksa diganti dengan pembelajaran berbais dalam jaringan(daring), baik itu via WA, Google Class room atau zoom. 

Jujur saja kegiatan pendidikan seperti ini tidak menarik, karena respons dari para pengajar atau teman kelas(satu contoh saat diskusi) dirasa kurang dan transfer ilmu dari para pengajar juga sedikit yang bisa diterima.

Kegiatan sidang skripsi, tesisi ataupun diisertasi juga harus dilakukan secara daring dengan menggunakan perangkat zoom, edmunt atau yang lain.

Keterbatasan dan sulitnya mahasiswa untuk mendapatkan referensi dalam penulisan;baik skripsi, tesis maupun disertasi dan lain-lain.

Belum cakapnya dalam menggunakan aplikasi yang tersedia untuk menunjang kegiatan pendidikan seperti zoom, GCR dan yang lain. Ketidak cakapan ini tidak hanya dialami oleh para pengajar(baca: dosen) namun juga dialami oleh mahasiswanya yang notabenya lebih banyak bergelut dengan dumay  

Keterbatasan komunikasi yang intens antar dosen dengan mahasiswanya, karena bagaimanapun pengaruh dari direct interaction didalam kelas jauh lebih mengena daripada interaksi yang dilakukan diruang media.

anggaran data yang overlimited bagi mahasisiwa, sementara jam perkuliahan harus dilakukan sepenuhnya melalui aplikasi dan itu berimbas pada bengkaknya anggaran data.

Hambatan komunikasi dalam belajar disebabkan gangguan koneksi karena jangkauan wilayah(baca;signal) yang tidak bagus.

Problem-problem diatas sudah semestinya harus direspons secara cepat oleh pihak akademik, agar tercipta satu model pembelajaran yang efektif dari dua arah yakni dari akademik dan para mahasiswanya. Langkah nyata yang harus dilakukan salah satunya adalah dengan mengupayakan pembuatan kurikulum pandemic. 

Pihak akademik yang notabenya rumah produksi dari pengembangan kurikulum sudah semestinya  harus move dan bekerja ekstra keras untuk membuat satu kerangka kurikulum yang relevan untuk digunakan disaat pandemic seperti ini. Pembuatan kurikulum haruslah bijak dengan  mempertimbangkan kemaslahatan bersama. 

Dalam situasi yang seperti ini akademik harus bisa membaca gejala-gejala yang muncul dan menghadirkan solusi yang benar-benar solutif, sehingga baik mahasiswa dan pihak akademik tidak ada yang saling memojokkan dan merasa dirugikan.

Meminjam istilah dalam dunia sepak bola baik pihak akademik selaku pembuatan kebijakan maupun mahasiswa haruslah saling  fairplay atau legowo (sama-sama sadar) akan porsi hak dan kewajibanya. Kurikulum yang sudah terbentuk sekaligus terapanya harus bisa saling dimengerti oleh kedua-duanya.

Penting dari pihak akademik untuk menggunakan  prinsip dalam kaidah fiqih “jika keadaan suatu hal  menjadi terhimpit maka harus dilonggarkan” pun mahasiswanya juga harus mengimplementasikan prinsip “ suatu hal yang tidak bisa didapatkan seluruhnya maka setidaknya sebagiannya ia didapatkan”.

Dua prinsip diatas, jika betul-betul bisa diaplikasikan oleh kedua pelaku pendidikan  maka akan tercipta hubungan yang harmonis, karena pihak akademik tidak terlalu memberatkan akan beban/kewajiban yang harus ditanggung oleh mahasiswanya, sedang mahasiswanya akan berimbal balik memenuhi kewajibanya terhadap kampus sebagai pihak pengelola pendidikan. 

Kalau simbiosis yang demikian bisa terlaksana, maka hubungan harmonis akan terbentuk dan menjadikan kegiatan pendidikan akan berjalan sesuai dengan harapan meski harus dilakukan dalam ruang jarak jauh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun