Dalam situasi yang seperti ini akademik harus bisa membaca gejala-gejala yang muncul dan menghadirkan solusi yang benar-benar solutif, sehingga baik mahasiswa dan pihak akademik tidak ada yang saling memojokkan dan merasa dirugikan.
Meminjam istilah dalam dunia sepak bola baik pihak akademik selaku pembuatan kebijakan maupun mahasiswa haruslah saling fairplay atau legowo (sama-sama sadar) akan porsi hak dan kewajibanya. Kurikulum yang sudah terbentuk sekaligus terapanya harus bisa saling dimengerti oleh kedua-duanya.
Penting dari pihak akademik untuk menggunakan prinsip dalam kaidah fiqih “jika keadaan suatu hal menjadi terhimpit maka harus dilonggarkan” pun mahasiswanya juga harus mengimplementasikan prinsip “ suatu hal yang tidak bisa didapatkan seluruhnya maka setidaknya sebagiannya ia didapatkan”.
Dua prinsip diatas, jika betul-betul bisa diaplikasikan oleh kedua pelaku pendidikan maka akan tercipta hubungan yang harmonis, karena pihak akademik tidak terlalu memberatkan akan beban/kewajiban yang harus ditanggung oleh mahasiswanya, sedang mahasiswanya akan berimbal balik memenuhi kewajibanya terhadap kampus sebagai pihak pengelola pendidikan.
Kalau simbiosis yang demikian bisa terlaksana, maka hubungan harmonis akan terbentuk dan menjadikan kegiatan pendidikan akan berjalan sesuai dengan harapan meski harus dilakukan dalam ruang jarak jauh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H