Mohon tunggu...
Zainul Abidin
Zainul Abidin Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi Tergusur 2019?

3 Juli 2018   14:54 Diperbarui: 3 Juli 2018   15:13 628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hasil pemilukada serentak yang digelar pada tanggal 27 Juni sepertinya candu bagi Joko Widodo. Pasalnya hasil pemilukada serentak selalu dilinearkan dengan pilpres 2019. Yang paling dikhawatirkan adalah analisis dan pemetaan hasil pemilukada serentak berkembangbiak dengan isue-isue yang cenderung tidak signifikan. Seperti hasil pemilukada serentak sebanyak 171 daerah tersebut ialah siyal bahwa Jokowi akan tumbang atau tidak di tahun 2019. Ini jelas seperti candu.

Apalagi ditambah dengan hasil pengamatan di berbagai media, terutama media internasional sepertinya hanya melempar bola panas. Media-media Amerika misalnya merespon dengan kalahnya berbagai partai Islam menandakan Jokowi di pilpres tahun 2019 akan tetap berkuasa. Sedangkan media Jepang sendiri beranggapan bahwa hasil dari pemilukada serentak ini seperti alram ke dua untuk Jokowi dan kekuasaannya di tahun 2019.

 Analisis yang menyebutkan bahwa Jokowi tidak akan tumbang pada pilpres tahun 2019 tidak seutuhnya salah dan begitu pun sebaliknya. Akan tetapi seharusnya dikaji secara kritis, dan menyeluruh dengan variabel yang menjadi poin utama dari hasil pemilukada serentak tersebut.

Hasil pemilukada serentak saat ini menunjukan semakin matangnya rakyat berdemokrasi. Kematangan berdemokrasi ditunjukan dengan terkonsolidasi budaya politik yang rasional. Budaya politik yang rasional ini lah yang menentukan partisipasi politik di pilpres 2019. Dan partisipasi politik akan menentukan, apakah Jokowi akan tumbang atau tidak nantinya.     

Menurut Hutington dan Joan M. Nelson (1976) partisipasi politik dibagi menjadi dua yaitu. Pertama, partisipasi politik secara otonom. Kedua, partisipasi dimobilisasi. Partisipasi politik dalam pemilihan dapat dijelaskan, bahwa partisipasi otonom yaitu kegiatan untuk mepengaruhi proses hasil pemilihan berdasarkan kesadaran diri sendiri. Sedangkan partisipasi mobilisasi adalah bertujuan untuk mempengaruhi proses hasil pemilihan, namun berdasarkan hubungan dan kehendak orang lain (patron).

Jika budaya politik masyarakat menunjukan pada budaya rasional, maka kecenderungan masyarakat akan berpartisipasi politik secara otonom. Namun tidak menutup kemungkinan juga partisipasi politik yang dimobililisasikan dengan isue identitas politik atau populisme politik akan masif pada pilpres nanti.

Namun yang menjadi, analisis kritisnya adalah dengan tingkat budaya politik masyarakat yang mulai matang, dengan tidak termakannya dengan isue-isue politik indentitas atau mengarah pada budaya politik rasional. Maka kemungkinan besar Joko Widodo harus mulai khawatir dengan kekuasaannya pada pilpres 2019.

Kekhwatiran tersebut, berdasarkan pada budaya politik yang akan menentukan partisipasi politik untuk Joko Widodo pada pilpres 2019. Dalam hal ini, Almoud dan Verba telah mengukur masyarakat yang berbudaya politik rasionalyang kecenderungan menentukan status politiknya dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi politik, program kerja, visi dan misi, dan hal-hal yang penting lainnya yang patut direfleksikannya saat ini.

Sederhananya untuk melihat partisipasi politik nanti, yaitu dengan respon dan merefleksikan proses pembangunan di era Joko Widodo saat ini. Icon pembangunan Joko Widodo adalah membangun infrastruktur. Dan infrastruktur pun akan menjadi titik tolak dari segala masalah tidak terpilihnya Joko Widodo dari partisipasi politik yang berbudaya politik rasional.

Bukan rahasia publik lagi dengan ketidak sesuaian antara harapan dan kenyataan dari pembangunan infrastruktur saat ini. Pada awalnya pembangunan infrastruktur bertujuan untuk kesejateraan sosial, akan tetapi menemui jalan buntu, dengan dihadapkan berbagai masalah seperti. Pertama, proyek yang mangkrak. Kedua, masalah anggaran proyek.

Maka isue yang berkembang saat ini menyebutkan bahwa 33 proyek infrastruktur mangkrak. Sehingga masalah ini memantik partisipasi politik untuk tidak mengarahkan pada Joko Widodo. alasan utamanya adalah Joko Widodo dinilai gagal dalam menahkodai pembangunan di republik Indonesia.

Selian itu, yang menjadi catatan kritisnya juga ialah cost atau anggaran yang digunakan dalam proyek infrastruktur tersebut memangkas anggaran vital, yaitu anggaran untuk biaya sosial dan subsidi. Inilah yang paling serius yang cenderung mengarahkan langsung pemilih rasional untuk tidak memilih Joko Widodo. Maka pertanyaan kenapa ? Karena anggaran belanja sosial dan subsidi diperuntukan untuk hajat hidup orang banyak, demi tercapainya keadilan sosial dan negara kesejahteraan (welfare state) di Indonesia.

Data Menteri Keuangan dan Word Bank sendiri menyebutkan bahwa Anggran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari tahun 2014 sampai 2017 biaya yang dikucurkan untuk infrastruktur di Indonesia meningkat secara signifikan, yaitu dari 14.7 Persen menjadi 22.5 Persen.  Peningkatan biaya infrastruktur tersebut terintegral dengan pemangkasan anggaran belanja sosial dari 8.1 persen menjadi 4.4 persen. Dan pencabutan anggaran subsidi secara signifikan dari 28.2 persen menjadi 7.9 persen.

Konsekuensi dari pemangkasan dan pencabutan ini adalah rakyat Indonesia, terutama pada kelas sosial yang berekonomi lemah atau miskin tak berdaya dengan kondisi saat ini, dan negara soalah-olah sudah lepas tangan untuk mengurus rakyat. Dan ketak berdayaan ini pun rakyat harus mengantungkan masalah sosial dan ekonominya pada pasar. Maka jangan kaget jika kenaikan harga BBM, TDL, dan lain-lain sewaktu-waktu mencekik, itu konsekuensi dari pemangkasan anggaran subsidi.

Maka Joko Widodo dan kekuasaannya pada pilpres 2019 nanti berpotensi digusur. Tergusurnya Joko Widodo dampak dari budaya politik rasional masyarakat yang menimbang kondisi sosial, ekonomi, dan masalah pembangunan infrastruktur saat ini. Pembangunan infrastruktur saat ini memangkas biaya-biaya yang menjadi kebutuhan dasar rakyat bayak. Sehingga Joko Widodo harus bisa merefleksiiakn masalah ini, demi mengembalikan partisipasi politik untuk keterpilihannya kembali 2019. []

 Penulis : Zainul Abidin/Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia dan Sekjend Forum Mahasiswa Pascasarjana Indonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun