Mohon tunggu...
Zainul Abidin
Zainul Abidin Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Benang Kusut BPIP, Pancasila, dan Pancasilais

15 Juni 2018   14:51 Diperbarui: 15 Juni 2018   15:26 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mandat menjadi seseorang yang Pancasilais sangat berat dan rumit. Seorang yang Pancasilais harus mengaktualisasikan nilai-niliai etis Pancasila dan mengusahakan untuk terpatri dalam dirinya. Kontekstualisasi dari seseorang yang Pancasilais sederhananya yaitu perkataan harus sesuai dengan perbuatan, dan begitupun sebaliknya.

Sesorang yang Pancasilais mengatakan bahwa hal tersebut tidak bineka, maka harus ia tunjukan bahwa dirinya telah berlaku bineka. Sehingga Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menyadari betul pentingnya masyarakat yang berkarakter Pancasilais ini sebagai penopang kelangsungan bangsa Indonesia yang plural dan beragam.

Maka dibentuknya Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) yang memiliki tugas khusus untuk mengusahakan terbentuknya masyarakat yang berkarakter Pancasila. Sehingga pembina dan anggota BPIP sendiri merupakan tokoh yang berpengaruh yang dihimpun oleh presiden. Namun di sisi lain BPIP sendiri juga dibentuk di atas diagnosis bahwa Pancasila dalam aktualisasinya menemui masalah yang mendasar.

Masalah yang mendasar tersebut berkembang dan sejalan dengan suburnya gerakan radikalisme atau paham-paham lainnya yang bertentangan dengan Pancasila. Namun menurut penulis masalah mendasarnya adalah gagalnya proses transparansi dialognya Pancasilais itu sendiri.  

Menurut Socrates dan Plato Transparansi dialog tidak lahir dari pendidikan formal, teratur, dan mahal. Transparansi dialog lahir dari karakter bawaan tiap manusia yang pada hakikatnya mengenal yang baik dan yang benar. Sehingga yakin terhadap kebaikan dan kebenaran tidak akan menghisap darah manusia yang lainnya. Itulah hakikat yang dibangun oleh Socrates dan Plato dalam gagasan transparansi dialog.

Transparansi dialog memiliki hubungan erat dengan orang yang dianggap Pancasilais. Namun dengan tidak ada transparansi dialog berbuntut pada masalah Pancasila, Pancasilais seperti benang kusut. Padahal jika kita dapat meneladani Soekarno, Hatta, Sahril, Ki Bagoes Hadikusumo, Kasman Singodimejo, Agus Salim, Muhammad Yamin, dan Lain-lain, maka bangsa dan negara ini sesungguhnya tidak akan menemui masalah yang rumit.

Terutama sangat buram variabel dan indikator bahwa sesuatu dikatakan seseorang Pancasilais atau tidak Pancasilais. Kita harus jujur mengakui, bahwa bangsa Indonesia saat ini tidak asing dengan kata toleransi, keberagaman, kebinekaan. Namun aktualisasinya lebih parah, sepertinya kita kehilangan rasionale dari istilah-istilah tersebut. 

Tentu jika berdasarkan karakter dan nilai bawaaan dari Pancasila, maka kita dapat meneladani berbagai kebaikan dan kebenaran di bangsa saat ini. Meneladani kebaikan dan kebenaran itulah aktualisasi dari karakter seorang yang Pancasilais. Konkritinya adalah bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang dapat meneladani sejarah bangsanya.

Namun saat ini kita yatim dan piatu dengan keteladanan. Keteladanan merupakan identitas atau kepribadian yang melekat bagi seorang yang Pancasilais. Keteladanan tersebut tergerus secara mendasar. 

Yudi Latif sendiri pun meyakini bahwa Pancasila ini merupakan sari pati nilai yang digali oleh pendiri bangsa dari sejarah masa lalu. Sejarah tersebut membentuk pengalaman kebangsaan, yang berujung pada kesadaran membentuk negara.

Pengalaman keterjajahan, ketertindasan, dan ingin terbebas merupakan perintah dari kesadaran kebangsaan. Jadi indentitas kebangsaan tersebut dapat kita sederhanakan sebagai usaha bangsa untuk memetik dan menintegrasikan sejarah dan perjuangan masa lalu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara berkelanjutan. Dan inilah yang dimaksud dengan keteladanan berbangsa dan bernegara, yang sampai dibentuknya BPIP belum mampu mengaktualisasikannya, malahan membentuk polemik panjang.

Namun bukan unit atau badan (BPIP) yang dibentuk yang bermasalah atau tidak tepat posisinya. Namun kehilangan keteladaan itu sendiri yang menjadi sumber masalahnya. Contohnya yang diperdebatkan oleh publik saat ini adalah gaji yang fantastik dari Ketua Dewan Pengarah BPI sebesar Rp112.548.000 per bulan. Sementara, Kepala BPIP mendapatkan hak keuangan Rp76.500.000, Wakil Kepala BPIP Rp63.750.000, Deputi BPIP Rp51.000.000, Staf Khusus Rp36.500.000.

Menurut penulis masalahnya bukan pada jumlah dan total gajinya yang dipersoalkan juga. Akan tetapi jika merujuk pada para pendiri bangsa, yang telah memeras tenaga dan fikiran menggali nilai-nilai bangsa yang tertimbun, dan kemudian membentuk yang dikenal saat ini sebagai Pancasila. Mereka tidak mendasarkan tujuannya untuk bongkahan nilai material. Dan sepertinya kita melupakan sejarah tersebut ?

Tapi tidak tepat juga masalahnya jika ada yang membandingkan dengan kondisi saat ini. Namun jika berdasarkan dana yang diglontorkan kepada dewan pengarah, Kepala, dan anggota BPIP tersebut di atas keterpurukan ekonomi bangsa, yaitu melemahnya rupiah, hutang yang melambung tinggi, pemangkasan biaya sosial, dan subsidi. 

Apakah kita telah meneladani sejarah dan menerimanya secara rasional ? Jadinya badan ini seperti menghisap darah dan keringat rakyat atau bangsanya sendiri yang sudah kurus kering karena kemiskinan.  

Krisis keteladanan begitu terlihat ketika Dr. Yudi Latif mundur dari Kepala BPIP. Penulis tidak menyesalkan kemunduran tersebut, karena sebagian menganggap ini sebagai langkah yang tepat sebagai seorang cendikiawan untuk terbebas dari jebakan politik yang nista.

Namun ini adalah masalah moralitas sebagai pemimpin. Mungkin kita lupa cerita kepahlawanan Soekarno, seperti yang dipenjarakan, dibuang dan atau diasingkan di Ende dan Bengkulu. Nilai yang bisa kita petik adalah tanggung jawab yaitu buah dari moralitas pejuang bangsa. Spekulasi pun bersiliweran mundurnya Yudi Latif. Karena bangsa Indonesia pun akan berfikir secara sederhana, misalnya Yudi Latif akan tetap berada disinggasana BPIP jika tidak dihujani kritikan oleh bangsa sendiri.

Jadi keteladanan merupakan poin penting dari masalah Pancasila dan bangsa Indonesia. Yatim dan piatunya keteladanan saat ini harus menjadi tanggung jawab kolektif bangsa Indonesia. Dan keteladanan tersebut harus dikontekstualisasikan. Ini sangat penting, karena jika teraktualisasi konkritnya keteladanan tersebut, maka tidak akan ada masalah yang mengancam kebinekaan, dan keutuhan bangsa Indonesia. Terutama pada pemilihan presiden tahun 2019 nanti, bangsa Indonesia tidak akan menemui masalah yang berarti. []

Penulis : Zainul Abidin/Mahasiswa Pasca Ilmu Politik UI/Sekjend Forum Mahasiswa Pascasarjana Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun