Mandat menjadi seseorang yang Pancasilais sangat berat dan rumit. Seorang yang Pancasilais harus mengaktualisasikan nilai-niliai etis Pancasila dan mengusahakan untuk terpatri dalam dirinya. Kontekstualisasi dari seseorang yang Pancasilais sederhananya yaitu perkataan harus sesuai dengan perbuatan, dan begitupun sebaliknya.
Sesorang yang Pancasilais mengatakan bahwa hal tersebut tidak bineka, maka harus ia tunjukan bahwa dirinya telah berlaku bineka. Sehingga Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menyadari betul pentingnya masyarakat yang berkarakter Pancasilais ini sebagai penopang kelangsungan bangsa Indonesia yang plural dan beragam.
Maka dibentuknya Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) yang memiliki tugas khusus untuk mengusahakan terbentuknya masyarakat yang berkarakter Pancasila. Sehingga pembina dan anggota BPIP sendiri merupakan tokoh yang berpengaruh yang dihimpun oleh presiden. Namun di sisi lain BPIP sendiri juga dibentuk di atas diagnosis bahwa Pancasila dalam aktualisasinya menemui masalah yang mendasar.
Masalah yang mendasar tersebut berkembang dan sejalan dengan suburnya gerakan radikalisme atau paham-paham lainnya yang bertentangan dengan Pancasila. Namun menurut penulis masalah mendasarnya adalah gagalnya proses transparansi dialognya Pancasilais itu sendiri. Â
Menurut Socrates dan Plato Transparansi dialog tidak lahir dari pendidikan formal, teratur, dan mahal. Transparansi dialog lahir dari karakter bawaan tiap manusia yang pada hakikatnya mengenal yang baik dan yang benar. Sehingga yakin terhadap kebaikan dan kebenaran tidak akan menghisap darah manusia yang lainnya. Itulah hakikat yang dibangun oleh Socrates dan Plato dalam gagasan transparansi dialog.
Transparansi dialog memiliki hubungan erat dengan orang yang dianggap Pancasilais. Namun dengan tidak ada transparansi dialog berbuntut pada masalah Pancasila, Pancasilais seperti benang kusut. Padahal jika kita dapat meneladani Soekarno, Hatta, Sahril, Ki Bagoes Hadikusumo, Kasman Singodimejo, Agus Salim, Muhammad Yamin, dan Lain-lain, maka bangsa dan negara ini sesungguhnya tidak akan menemui masalah yang rumit.
Terutama sangat buram variabel dan indikator bahwa sesuatu dikatakan seseorang Pancasilais atau tidak Pancasilais. Kita harus jujur mengakui, bahwa bangsa Indonesia saat ini tidak asing dengan kata toleransi, keberagaman, kebinekaan. Namun aktualisasinya lebih parah, sepertinya kita kehilangan rasionale dari istilah-istilah tersebut.Â
Tentu jika berdasarkan karakter dan nilai bawaaan dari Pancasila, maka kita dapat meneladani berbagai kebaikan dan kebenaran di bangsa saat ini. Meneladani kebaikan dan kebenaran itulah aktualisasi dari karakter seorang yang Pancasilais. Konkritinya adalah bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang dapat meneladani sejarah bangsanya.
Namun saat ini kita yatim dan piatu dengan keteladanan. Keteladanan merupakan identitas atau kepribadian yang melekat bagi seorang yang Pancasilais. Keteladanan tersebut tergerus secara mendasar.Â
Yudi Latif sendiri pun meyakini bahwa Pancasila ini merupakan sari pati nilai yang digali oleh pendiri bangsa dari sejarah masa lalu. Sejarah tersebut membentuk pengalaman kebangsaan, yang berujung pada kesadaran membentuk negara.
Pengalaman keterjajahan, ketertindasan, dan ingin terbebas merupakan perintah dari kesadaran kebangsaan. Jadi indentitas kebangsaan tersebut dapat kita sederhanakan sebagai usaha bangsa untuk memetik dan menintegrasikan sejarah dan perjuangan masa lalu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara berkelanjutan. Dan inilah yang dimaksud dengan keteladanan berbangsa dan bernegara, yang sampai dibentuknya BPIP belum mampu mengaktualisasikannya, malahan membentuk polemik panjang.