Pilpres tahun 2019 dirasakan semakin menegangkan. Ketegangan terjadi dapat dilihat dari berbagai motif politik yang menghiasi berbagai dinding dan ruang publik. Suguhan yang paling dirasakan saat ini adalah berbagai macam Hashtag atau Tagar seperti #2019GantiPresiden, #DiaSibukKerja, dan yang terbaru adalah #2019PresidenBaru.Â
Hashtag #2019GantiPresiden mungkin yang sangat fenomenal dan kemudian dikemas dalam bentuk kaos dan lagu-lagu. Sehingga fenomena tersebut menciptakan diskursus dan menggerakan jari aktivis media sosial.
Perkembangan lebih lanjut dari Hashtag #2019GantiPresiden tersebut adalah menimbulkan pertanyaan yang menggelitik. Apakah hashtag tersebut mengancam demokratis ? Pertanyaan tersebut muncul diakibatkan dari ketakutan dampak dari hashtag.Â
Alasannya beragam, yang paling utama yaitu kondisi dari Indonesia sendiri yang sampai saat ini hanya melakukan transisi demokrasi. Sehingga rawan dengan aksi-aksi yang mereduksi demokrasi itu sendiri.
Transisi demokrasi tentu tidak membrangus benih - benih atau jiwa otoriterian. Sehingga masifnya hashtag tersebut berpotensi untuk tumbuh dan berkembangnya pada kudeta pemerintahan.Â
Namun penulis menilai bahwa kekhawatiran tersebut merupakan bagian dari sikap dan benih Orde Baru itu sendiri. Karena hashtag ini merupakan respon dari terbuka dan berkembangnya sarana demokrasi saat ini, seperti internet, sosial media. Sehingga hashtag yang berkembang merupakan bagian dari fenomena demokrasi secara online.
Lalu pertanyaan juga timbul dari berkembangnya sarana demokrasi tersebut, yaitu apakah demokrasi online demokratis ? Tentu, karena menurut Lipset mengukur drajat demokrasi salah satunya adanya partisipasi politik yang luas.Â
Partisipasi yang luas tersebut merupakan ruang yang diberikan demokrasi kepada warga negara dan tidak terlepas juga adalah oposisi untuk mengontrol kekuasaan politik. Sehingga menurut Kaase dan Marsh bentuk partisipasi politik dibagi menjadi dua yaitu. Pertama, partisipasi konvensional (convensional participation). Kedua, partisipasi non konvensional (unconvensional participation).
Konteks dari partisipasi konvensional tersebut yaitu berbentuk aktivitas politik warga negara yang secara konstitusional atau secara prosedural yang dapat mempengaruhi hasil akhir  (outcome) dari proses politik.Â
Seperti mencoblos dalam pemilu, turut dalam kampanye, dan menyumbang dana bagi kandidat tertentu. Sedangkan partisipasi non-konvensional merupakan kegiatan yang dilakukan agar bisa mempengaruhi hasil akhir politik, namun partisipasi ini bukan berdasarkan aturan baku yang sudah ditetapkan dan kebiasaan partisipasi tersebut mengatur partisipasi politik di bawah suatu rezim tertentu. Contohnya, melakukan demonstrasi atau mogok kerja sebagai bentuk dari protes terhadap kebijakan pemerintah.
Hashtag #2019GantiPresiden yang berkembang saat ini merupakan bentuk dari partisipasi politik non-konvensional yang berkembang sejalan dengan berkembangnya demokrasi online. Hashtag #2019GantiPresiden, atau yang terbaru #2019PresidenBaru merupakan gerakan yang lumrah dan secara konsisten harus diniali sebagai dinamika demokrasi yang membuka ruang seluas-luasnya bagi publik dan atau oposisi untuk mengkritik kebijakan.Â