Mohon tunggu...
Analisis Pilihan

Tagar #2019GantiPresiden Fenomena Demokrasi Online

30 Mei 2018   10:26 Diperbarui: 30 Mei 2018   11:01 871
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pilpres tahun 2019 dirasakan semakin menegangkan. Ketegangan terjadi dapat dilihat dari berbagai motif politik yang menghiasi berbagai dinding dan ruang publik. Suguhan yang paling dirasakan saat ini adalah berbagai macam Hashtag atau Tagar seperti #2019GantiPresiden, #DiaSibukKerja, dan yang terbaru adalah #2019PresidenBaru. 

Hashtag #2019GantiPresiden mungkin yang sangat fenomenal dan kemudian dikemas dalam bentuk kaos dan lagu-lagu. Sehingga fenomena tersebut menciptakan diskursus dan menggerakan jari aktivis media sosial.

Perkembangan lebih lanjut dari Hashtag #2019GantiPresiden tersebut adalah menimbulkan pertanyaan yang menggelitik. Apakah hashtag tersebut mengancam demokratis ? Pertanyaan tersebut muncul diakibatkan dari ketakutan dampak dari hashtag. 

Alasannya beragam, yang paling utama yaitu kondisi dari Indonesia sendiri yang sampai saat ini hanya melakukan transisi demokrasi. Sehingga rawan dengan aksi-aksi yang mereduksi demokrasi itu sendiri.

Transisi demokrasi tentu tidak membrangus benih - benih atau jiwa otoriterian. Sehingga masifnya hashtag tersebut berpotensi untuk tumbuh dan berkembangnya pada kudeta pemerintahan. 

Namun penulis menilai bahwa kekhawatiran tersebut merupakan bagian dari sikap dan benih Orde Baru itu sendiri. Karena hashtag ini merupakan respon dari terbuka dan berkembangnya sarana demokrasi saat ini, seperti internet, sosial media. Sehingga hashtag yang berkembang merupakan bagian dari fenomena demokrasi secara online.

Lalu pertanyaan juga timbul dari berkembangnya sarana demokrasi tersebut, yaitu apakah demokrasi online demokratis ? Tentu, karena menurut Lipset mengukur drajat demokrasi salah satunya adanya partisipasi politik yang luas. 

Partisipasi yang luas tersebut merupakan ruang yang diberikan demokrasi kepada warga negara dan tidak terlepas juga adalah oposisi untuk mengontrol kekuasaan politik. Sehingga menurut Kaase dan Marsh bentuk partisipasi politik dibagi menjadi dua yaitu. Pertama, partisipasi konvensional (convensional participation). Kedua, partisipasi non konvensional (unconvensional participation).

Konteks dari partisipasi konvensional tersebut yaitu berbentuk aktivitas politik warga negara yang secara konstitusional atau secara prosedural yang dapat mempengaruhi hasil akhir  (outcome) dari proses politik. 

Seperti mencoblos dalam pemilu, turut dalam kampanye, dan menyumbang dana bagi kandidat tertentu. Sedangkan partisipasi non-konvensional merupakan kegiatan yang dilakukan agar bisa mempengaruhi hasil akhir politik, namun partisipasi ini bukan berdasarkan aturan baku yang sudah ditetapkan dan kebiasaan partisipasi tersebut mengatur partisipasi politik di bawah suatu rezim tertentu. Contohnya, melakukan demonstrasi atau mogok kerja sebagai bentuk dari protes terhadap kebijakan pemerintah.

Hashtag #2019GantiPresiden yang berkembang saat ini merupakan bentuk dari partisipasi politik non-konvensional yang berkembang sejalan dengan berkembangnya demokrasi online. Hashtag #2019GantiPresiden, atau yang terbaru #2019PresidenBaru merupakan gerakan yang lumrah dan secara konsisten harus diniali sebagai dinamika demokrasi yang membuka ruang seluas-luasnya bagi publik dan atau oposisi untuk mengkritik kebijakan. 

Seperti di Korea Selatan sendiri pada tahun 2008, mengkritik kebijakan Presiden Lee Myung Bak dengan membuat hashtag. Tepatnya April 2008 mengkritik kebijakan presiden yang melarang impor daging sapi dari Amerika Serikat. Partisipasi politik secara online tersebut dikenal dengan Ujuk Rasa Web 2.0.

Di Indonesia sendiri, sebenarnya hashtag sudah berkembang sejak 2009 lalu. Hashtag tersebut merupakan merespon berbagai dinamika sosial dan politik. Hashtag yang fenomenal dan pertama yang kita kenal yaitu #DukungKPK. 

Hashtag tersebut merupakan partisipasi untuk menggalang dukungan pada Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah yang bermula terjadi konfik antara KPK dengan Kopolisian tahun 2009.

Dan berbagai Hashtag lain yang yang kemudian digalakan untuk mengkritisi dan merubah kebijakan seperti; #KoinUntukAustralia, #KoinGajiUntukSBY, #KoinUntukSatinah, #KoinUntukDarsen, #KoinUntukBilqis, #KoinSastra, dan #KoinPembentukanPengadilanHAMAdHoc. Jadi sebelum ada Hashtag #GantiPresiden sudah berkembang biak berbagai hashtag, namun hashtag tersebut digerakan oleh solidaritas dari masyarakat sipil.

Sedangkan hashtag #2019GantiPresiden dimobilisasi oleh oposisi pemerintah atau Presiden Joko Widodo hari ini. Dan konteks itu, maka berkembangnya hashtag tersebut dapat dinilai sebagai reaksi oposisi terhadap berbagai kebijakan pemerintah saat ini. Dan ini menandakan di Indonesia demokrasinya hidup. Karena reaksi tersebut merupakan puncak dari kritikan oposisi terhadap pemerintah. 

Tentu tujuannya adalah untuk merebut kekuasaan pada dinamika politik kedepan. Sehingga dinamika Hashtag tersebut harus direspon secara demokratis tidak reaksioner oleh pemerintah sendiri pada demokrasi online. Dan Hashtag #DiaSibukKerja atau #Jokowi2Periode sangat tepat untuk mengimbangi oposisi tersebut.

Tentu harapannya hashtag dapat digunakan dalam membangun konsolidasi demokrasi. Karena sudah 20 tahun hidup pada negara demokrasi, tentu harapan terselenggaraanya demokrasi yang terkonsolidasi yang menjurus pada reformasi kelembagaan dan pembahasan atau hashtag kebijakan yang mensejahterakan rakyat.  

Artinya oposisi dalam mengkritisi pemerintah kedepan tidak hanya mengkritisi dengan hashtag #2019GantiPresiden akan tetapi menawarkan kebijakan, rekomendasi dengan hashtag atau tagar juga. Jadi oposisi tidak hanya mengkritisi akan tetapi juga membangun pemerintah yang bertujuan untuk mensejahterakan dan memakmurkan rakyat. []

 Penulis : Zainul Abidin/ Mahasiswa Pasca Ilmu Politik UI /Sekjend Formapsi

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun