Pagi itu di Kota Baringtonia. Sekawanan burung terbang bagai lukisan di awan cerah dan matahari baru setinggi atap kandang ayam. Orang-orang mulai beraktivitas seperti biasanya. Mobil-mobil dengan muatan besar mulai berurut dijalanan membuat macet perlahan. Kesibukan khas sebuah kota industri.
Baringtonia adalah kota industri di ujung utara Asiatica. Dulu hanya terkenal sebagai kota industri pengalengan ikan. Sampai-sampai di tengah kota ada tugu ikan. Namun sekarang telah berkembang beberapa perusahan yang bergerak di bidang pengolahan bahan semen dan minyak kelapa.
Di sepanjang jalan utama, aroma minyak kelapa selalu mengisi udara, dan kadang-kadang seperti oksigen. Sebagian besar orang membencinya, sebagian lagi menyukainya dan hanya beberapa yang benar-benar menikmatinya, salah satunya Langit.
Saat berkendara dengan sepeda motor, seringkali dia sengaja membuka masker untuk sekadar menikmati bau minyak kelapa. Padahal di musim pagebluk seperti sekarang, poster wajib pakai masker terpampang di mana-mana. Artinya udara bisa membunuhmu jika tidak berhati-hati.
***
Berawal dari Langit, lelaki kutu-buku dengan lingkaran mata panda yang berlari memasuki kelas paling ujung di Kampus 45. Dia tau, kali ini dia benar-benar terlambat dan pasti di hukum berat. Dikepalanya sudah terbayang wajah seram dosen teknik arsitek yang terkenal killer.
"Cepat keluar dan bawa alasanmu, atau saya yang keluar dari kelas ini. Kau bisa seribu kali terlambat di kelas lain, tapi jangan di kelas ini". Tegas Pak Doktorandus.
Langit mengumpat dalam hati, jika bukan karena menyelesaikan tugas sampai pagi buta, kejadian ini tidak akan pernah terjadi. Tapi sudahlah, yang sudah jadi bubur mustahil jadi nasi lagi. Apalagi nasi goreng. Ahhh, buang jauh-jauh harapan itu.
Dengan wajah kesal, Langit segera pergi meninggalkan kelas menuju halaman depan kampus, mengeluarkan sebatang rokok dari saku celana, dan memutar lagu Mis Melly yang berjudul 'tak tahan lagi'. Sambil menatap ke jalan raya, dia berpikir setelah ini mau kemana lagi.
"Sudah kita ngopi saja". Langit membalik badannya dan mencari asal suara. Itu ternyata Bintang, teman sekampusnya namun beda fakultas. Saran temannya ini ada benarnya juga. Mungkin caffein bisa mendatangkan ketenangan walau sementara.
Langit dan Bintang adalah sahabat sejak  kecil. Dua-dua suka kopi hanya beda cara penyeduhan. Yang satu menyukai manual brew sedang yang satunya lagi menyukai model penyeduhan ala tekongan.
Tanpa pikir panjang Langit segera menyepakati saran Bintang. Keduanya berangkat secepat mungkin, seolah kopi sudah di seduh depan mata. Padahal jangankan memesannya, tiba di cafe yang di tuju saja belum.
"Ada cafe dekat-dekat sini, namanya Horinzontal Cafe". kata Langit. Lokasinya tepat pinggir jalan. Kopi di situ harganya murah, sekitar 10 ribu hingga 15 ribuan. Yang jelas masih terjangkau bagi jelata seperti kita. Menunya macam-macam. Kopi susu, Espresso, Capuccino dan masih banyak lagi. Nanti kau pilih sendiri.
Setibanya di cafe, Langit dan Bintang menghadap pelayan dan langsung memesan menu yang sama: kopi susu plus tidak pakai lama. Kemudian melihat-lihat sekitar, mencari tempat duduk, mungkin saja ada yang kosong. Ada dua kursi di teras cafe yang menghadap jalan. Langit segera ambil posisi, melempar tas dan berkas tugasnya yang membawa sial.
Sambil menunggu pesanan datang, Langit melanjutkan penuturannya soal kedai kopi yang mereka datangi tanpa menunggu persetujuan Bintang.
"Cafe ini sudah dua tahun berdiri. Selain minuman. Ada juga makanan. Menu andalannya nasi ayam geprek, kau bisa mencobanya nanti. Tapi saya saran, saat mencobanya, jangan lupa sediakan air mineral lebih dulu untuk berjaga-jaga. Bila mulutmu mengeluarkan api, kau bisa memadamkannya segera".
Sudah lewat 10 menit, kopi tak kunjung tiba. Bintang sudah mulai kesal. Raut wajahnya berubah, dahinya berkerut dan alis di kedua matanya mulai bertemu. Langit sadar temannya mulai kehilangan kesabaran. Untuk itu sebelum kesabarannya benar-benar habis, Langit melanjutkan ceritanya.
"Penyeduhan kopi dengan manual brew memang agak lama, beda dengan cara tekongan yang biasanya cepat. Aku lupa memberitahumu kalau di cafe ini pake manual brew. Jadi tolong bersabar, karena kopi tak selalu tepat waktu, seperti aku tadi pagi".
"Dua tahun terakhr di Kota Baringtonia mulai muncul beberapa warung kopi. Ada yang masih bertahan dengan konsep tekongan selain manual brew. Konon warung kopi itu adalah yang pertama di kota Pasir. Di kota tetangga malah banyak yang masih senang dengan kopi seduhan ala tekongan. Yang seperti ini bagus jika di teliti".
"Tapi kau tidak berencana mengambilnya sebagai judul skripsi kan?", sela Bintang.
Sebelum Langit menjawab, kopi susu pesanan mereka sudah datang. Entah kenapa kali itu, barista langsung yang membawanya. Bintang kaget, tapi bukan karena hal itu. Di cafe-cafe kecil, barista rangkap sebagai pelayan itu biasa. Ada hal lain yang membuat matanya tak bisa lepas dari si barista sejak tadi.
Setelah meletakan kopi pesanan, si barista sejenak menegur Langit, meminta maaf jika pesananya lama, kemudian berlalu tanpa lupa mengucapkan "selamat menikmati" dan meletakan senyuman tepat di wajah Langit dan Bintang.
Dalam interaksi antara pelayan dan costumer, minta maaf, selamat menikmati dan terima kasih sudah mengunjungi cafe kami ibarat satu kewajiban yang tertulis di dahi tiap pelayan cafe sehingga menjadi kebiasaan - bahasa akademiknya - etika pelayanan.
Langit yang sedari tadi memperhatikan gelagat Bintang, langsung bicara tanpa di minta. Barangkali bisa menjawab rasa penasaran yang terpancar dari sorot mata sahabatnya.
"Ohh, dia sekampus dengan kita, anak teknik informatika semester akhir. Hanya memang kadang muncul di Kampus, maklum dia terlalu sibuk".
"Sejak kedua orang tuanya meninggal dunia, dia banting tulang membiayai hidupnya sendiri. Kerja serabutan kiri-kanan, terakhir menjadi barista kedai kopi. Sepertinya dia bukan tercipta dari tulang rusuk melainkan tulang punggung laki-laki".
"Sepertinya kau tau segalanya tentang cafe dan isinya, pantas kau di beri nama langit: dari atas sana, kau mudah melihat segala yang ada di bumi. Apalah aku - bintang - hanya benda kecil yang menempel pada badanmu yang begitu luas".
"Langit tetaplah langit sekalipun tanpa bintang, sedang bintang tanpa langit sulit dibayangkan".
"Kau berlebihan, hanya sedikit yang aku tau, belum semua". Ungkap Langit.
Belum selesai menyelesaikan pembicaraan, tiba-tiba bintang menyela. Memang dari zaman homo sapiens hingga homo deus, rasa penasaran seperti rasa lapar, naluri purba manusia yang satu ini harus lekas-lekas di beri makan.Â
"Sejak kapan kau mengenalnya, sela Bintang".
Langit sudah curiga, pasti ini soal si barista yang membawa pesanan. Wajar, memang rata-rata orang yang baru pertama kali melihatnya akan diam seperti di sihir. Apalagi Bintang sempat melihat dengan jelas bagaimana si barista menegurnya tadi.Â
Dia pun mengikuti keinginan sahabatnya, dengan harapan setelah ini tidak ada lagi pertanyaan. Langit menjawab pertanyaan dengan singkat.
"Aku mengenalnya kemarin malam. Namanya Laut, bola matanya berwarna biru. Dia datang dari kedalaman samudera. Sedikit yang aku tau, Kau bisa tenggelam jika lama-lama menatapnya".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H