Mohon tunggu...
Politik Pilihan

Aksi Persekongkolan Jahat Para “Relawan” Abal-abal

29 Maret 2016   16:08 Diperbarui: 30 Maret 2016   14:06 1939
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia merupakan negara hukum. Semua perilaku warga di negara ini diatur dalam berbagai peraturan dan perundangan yang harus ditaati. Namun meskipun hampir seluruh aspek kehidupan bangsa ini dilandasi, diatur dan dilindungi oleh hukum, kita tidak menutup mata bahwa banyak masalah hukum terjadi di Indonesia.

[caption caption="sumber foto : Tribunnews.com"][/caption]Paling menonjol justru kasus penyelewengan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum sendiri. Seringkali hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Hukum juga kerap dijadikan senjata politik untuk menekan lawan-lawan politik. Lebih gila lagi, hukum dan instrumen negara digunakan sebagai alat untuk kepentingan bisnis kekuatan-kekuatan oligarki memupuk kekayaan.

Di negara kita saat ini, hukum berevolusi bukan lagi sebagai penata dan pembatas perilaku manusia, tapi fungsi hukum bergeser menjadi alat politik untuk “membunuh” karakter atau menyingkirkan lawan politiknya.

Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi dengan tegas menolak kegaduhan politik yang dilakukan aparat pemerintah ataupun aparat lembaga hukum. Presiden menegaskan, dalam sebuah pertemuan jajaran kepolisian dan kejaksaan di Istana Bogor, pada tahap penyelidikan aparat penegak hukum tidak boleh ‘zalim’ dengan membuka atau menggiring opini negatif kepada pihak yang masih berstatus terperiksa.

Ini dinyatakan presiden dalam konteks agar proses penyerapan anggaran dan pembangunan bisa berjalan lancar untuk kepentingan masyarakat. Kegaduhan politik, apalagi tendensi penggunaan instrumen hukum dijadikan sebagai alat tawar-menawar terhadap pelaku ekonomi, dikhawatirkan akan membuat jalannya pembangunan menjadi stagnan dan iklim investasi menjadi tidak kondusif.

Arahan presiden ini ditindaklanjuti oleh pernyataan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti. Ia mewanti-wanti jangan ada penyalahgunaan wewenang hukum dengan mengumumkan orang yang belum menjadi tersangka kepada kepada masyarakat melalui media massa.

Sebagai seorang pengajar hukum di sebuah universitas di Bogor, saya merasa apa yang menjadi arahan Presiden Jokowi adalah tepat karena ia tak ingin ada kegaduhan yang mengganggu jalannya agenda pemerintahannya. Dan sudah seharusnya seluruh jajarannya patuh taat solid menjalankan instruksi politik presiden.

Jika ada pihak pemerintah yang subordinasi berarti pihak tersebut mungkin sedang memainkan agenda politik yang berbeda atau malah berlawanan dengan presiden.

Kejaksaan Agung akhir-akhir ini menjadi sorotan. Institusi hukum yang dikomandoi pensiunan jaksa yang kemudian beralih menjadi politisi NasDem, HM Prasetyo, ini terlihat dalam sejumlah kasus berturutan melakukan manuver kegaduhan yang seolah-olah seperti upaya menegakkan hukum namun sesungguhnya justru sedang ‘bermain’ dan berlawanan dengan perintah presiden di atas.

Dalambeberapa kasus, HM Prasetyo seolah ditunggangi pihak-pihak tertentu, salah satunya dalam kasus Hotel Indonesia Natour (HIN) terkait dengan area Grand Indonesia (GI) dan Hotel Indonesia Kempinsky, terindikasi adanya permainan kolaborasi yang keblinger antara oknum-oknum kejaksaan agung dan oknum-oknum pihak HIN.

Terindikasi pula yang bermain mulai dari mantan direktur PT HIN yang diduga korup ratusan milyar, segelintir oportunis yang mengklaim relawan Presiden Jokowi saat pilpres lalu yang saat ini menjadi komisaris, dan tentunya sejumlah jaksa di Kejaksaan Agung. Jika dilihat lebih teliti, kelompok ini kita sebutlah sebagai ‘Genk M’. Plus, sedang dikaji apakah ada keterkaitan dengan sekelompok ‘relawan’ jadi-jadian yang saat ini ngantor di seputaran istana. Atau malah pihak kementerian negara BUMN sebagai para bos komisaris ikutan bermain?

Dengan kelakukan komplotan ini kuat dugaan saya motifnya adalah hendak mencopet. Ini jelas mereka hanya akan membuat buruk citra pemerintahan Jokowi. Saya jadi sedih karena saya pun adalah relawan asli Jokowi. Tanpa pamrih, saya tidak minta dan tidak ingin jadi menteri apalagi komisaris. Saya hanya ingin melihat Indonesia berubah jadi bener dipimpin Jokowi.

Dalam kasus PT GI, disayangkan kenapa Jaksa Agung Muda bidang Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah ikut-ikutan“bermain” dengan mencoba masuk dalam kasus Build-Operate-Transfer (BOT) wilayah Hotel Indonesia ini. Saya paham koq HM Prasetyo memberikan kebebasan bawahannya untuk melakukan gebrakan dan mengangkat kasus pelanggaran hukum yang merugikan negara. Namun apakah HM Prasetyo dan Arminsyah paham jika ada sekelompok anasir di tubuh kejaksaan yang sedang bermain di belakang mereka? Ini berarti HM Praseto kontrolnya lemah terhadap internal kejaksaan. Atau mungkin, justru HM Prasetyo sendiri yang bermain dan ikut memimpin operasi PT GI ini. Jika Prasetyo bermain, apakah bos nya, Surya Paloh, yang nyuruh?

Menurut saya, sebagai pengajar hukum, melihat kasus ini sangat aneh jika Kejagung sampai turun tangan. Sejak awal, BOT adalah ranah perdata. Mengapa perjanjian sewa-menyewa bisa dibawa dibawa ke dalam ranah pidana?

Saya melakukan riset kecil-kecilan. Hasilnya? Pertama, PT HIN melalui salah satu komisaris barunya Michael Umbas mempermasalahkan pembangunan Apartemen Kempinski dan Menara BCA karena tidak ada dalam perjanjian. Namun jika melihat bocoran kontrak antara PT HIN dan PT GI yang tersebar di media sosial, tertera bahwa sebenarnya PT GI tidak melakukan pelanggaran kontrak BOT karena dalam kontrak tersebut dijelaskan PT GI diperbolehkan membangun sejumlah bangunan ‘dan lain-lain’ di area yang sudah sah mereka sewa tersebut.

Namun yang yang membuat saya tertawa adalah bagaimana mungkin PT HIN sejak awal tidak mengetahui adanya pembangunan dua gedung tersebut. Kalau memang bangunan itu bermasalah maka pada saat proses pembangunan beberapa tahun lalu, pihak PT HIN tentunya sudah mempermasalahkannya, bukan sekarang.

Konon sempat pula saya baca di online bahwa direktur PT HIN sebelum ini, seorang wanita, saya lupa namanya, pernah menerima sejumlah uang yang mestinya digunakan untuk pembangunan grup natour yang lain malah penggunaannya uang diduga diselewengkan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Inilah bahayanya jika BUMN hanya dijadikan sapi perah. Kembali ke Kejakgung, setelah melanjutkan “tongkat estafet” kepemimpinan Basrief Arif, HM Prasetyo dinilai gagal memimpin korps Adhiyaksa tersebut. Saya rasa penilaian KemenPan-RB yang menempatkan Kejagung dalam posisi paling buruk kinerjanya dari 77 lembaga/instansi pemerintahadalah sangat teramat tepat.

Dengan adanya persekongkolan ‘Genk M’ dengan ‘relawanJokowi’ abal-abal yang berposisi komisaris, kemungkinan kaitanya dengan unsur kementerian BUMN dan seputar istana, jelas-jelas tidak mengindahkan instruksi presiden, aparat hukum menggiring opini yang zalim, bertindak gaduh, saya mendukung sudah saatnya Presiden Jokowi melakukan reshuffle kabinet. Siapa yang harus diganti? Presiden sudah tahu jawabannya. #SaveJokowi #SaveIndonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun