Indonesia merupakan negara hukum. Semua perilaku warga di negara ini diatur dalam berbagai peraturan dan perundangan yang harus ditaati. Namun meskipun hampir seluruh aspek kehidupan bangsa ini dilandasi, diatur dan dilindungi oleh hukum, kita tidak menutup mata bahwa banyak masalah hukum terjadi di Indonesia.
[caption caption="sumber foto : Tribunnews.com"][/caption]Paling menonjol justru kasus penyelewengan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum sendiri. Seringkali hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Hukum juga kerap dijadikan senjata politik untuk menekan lawan-lawan politik. Lebih gila lagi, hukum dan instrumen negara digunakan sebagai alat untuk kepentingan bisnis kekuatan-kekuatan oligarki memupuk kekayaan.
Di negara kita saat ini, hukum berevolusi bukan lagi sebagai penata dan pembatas perilaku manusia, tapi fungsi hukum bergeser menjadi alat politik untuk “membunuh” karakter atau menyingkirkan lawan politiknya.
Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi dengan tegas menolak kegaduhan politik yang dilakukan aparat pemerintah ataupun aparat lembaga hukum. Presiden menegaskan, dalam sebuah pertemuan jajaran kepolisian dan kejaksaan di Istana Bogor, pada tahap penyelidikan aparat penegak hukum tidak boleh ‘zalim’ dengan membuka atau menggiring opini negatif kepada pihak yang masih berstatus terperiksa.
Ini dinyatakan presiden dalam konteks agar proses penyerapan anggaran dan pembangunan bisa berjalan lancar untuk kepentingan masyarakat. Kegaduhan politik, apalagi tendensi penggunaan instrumen hukum dijadikan sebagai alat tawar-menawar terhadap pelaku ekonomi, dikhawatirkan akan membuat jalannya pembangunan menjadi stagnan dan iklim investasi menjadi tidak kondusif.
Arahan presiden ini ditindaklanjuti oleh pernyataan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti. Ia mewanti-wanti jangan ada penyalahgunaan wewenang hukum dengan mengumumkan orang yang belum menjadi tersangka kepada kepada masyarakat melalui media massa.
Sebagai seorang pengajar hukum di sebuah universitas di Bogor, saya merasa apa yang menjadi arahan Presiden Jokowi adalah tepat karena ia tak ingin ada kegaduhan yang mengganggu jalannya agenda pemerintahannya. Dan sudah seharusnya seluruh jajarannya patuh taat solid menjalankan instruksi politik presiden.
Jika ada pihak pemerintah yang subordinasi berarti pihak tersebut mungkin sedang memainkan agenda politik yang berbeda atau malah berlawanan dengan presiden.
Kejaksaan Agung akhir-akhir ini menjadi sorotan. Institusi hukum yang dikomandoi pensiunan jaksa yang kemudian beralih menjadi politisi NasDem, HM Prasetyo, ini terlihat dalam sejumlah kasus berturutan melakukan manuver kegaduhan yang seolah-olah seperti upaya menegakkan hukum namun sesungguhnya justru sedang ‘bermain’ dan berlawanan dengan perintah presiden di atas.
Dalambeberapa kasus, HM Prasetyo seolah ditunggangi pihak-pihak tertentu, salah satunya dalam kasus Hotel Indonesia Natour (HIN) terkait dengan area Grand Indonesia (GI) dan Hotel Indonesia Kempinsky, terindikasi adanya permainan kolaborasi yang keblinger antara oknum-oknum kejaksaan agung dan oknum-oknum pihak HIN.
Terindikasi pula yang bermain mulai dari mantan direktur PT HIN yang diduga korup ratusan milyar, segelintir oportunis yang mengklaim relawan Presiden Jokowi saat pilpres lalu yang saat ini menjadi komisaris, dan tentunya sejumlah jaksa di Kejaksaan Agung. Jika dilihat lebih teliti, kelompok ini kita sebutlah sebagai ‘Genk M’. Plus, sedang dikaji apakah ada keterkaitan dengan sekelompok ‘relawan’ jadi-jadian yang saat ini ngantor di seputaran istana. Atau malah pihak kementerian negara BUMN sebagai para bos komisaris ikutan bermain?