Sebagai pelopor rujak es cream di Jogja, rujak es krim Pak Nardi sudah berdiri sejak 1978 dengan warung pusat di area Pakualaman Yogyakarta. Ismirah (istri almarhum Pak Nardi) menceritakan bahwa sejak 2010 pak nardi mengalami stroke dan meninggal pada tahun 2020. Menjadikan usaha rujak es cream Pak Nardi di kelola olehnya.
Pasangan suami istri ini berasal dari Klaten, sebelum sukses dengan usaha rujak escreamnya, dahulu mereka merantau di Jogja sekitar tahun 1973. Mereka merintis usaha dengan menjual es podeng yang isiannya berupa es kondimen (es puter atau es krim), roti, dan jenang mutiara. Yang di jual berkeliling di sekitar kecamatan pakualaman. Namun ternyata jualan ini tidak begitu laris.
Pada tahun 1978, berawal dari musim mangga hingga tercipta inisiatif dari Pak Nardi dan Bu Ismirah. "Awalnya dulu itu musim mangga, tapi saat itu ibarat (mangga) nggak ada harganya. Jadi kami buat rujak buah terus atasnya dikasih es krim" ujar Ismirah. Dari inisiatif tersebut ternyata banyak masyarakat yang menyukai rujak yang ditambah es krim pada bagian atasnya.
Sebelum mangkal di bawah pohon tanjung dulunya Pak Nardi berkeliling untuk menawarkan jualan es krimnya. Hingga mereka memutuskan untuk mangkal di bawah pohon tanjung disekitar Pakualaman sampai bertahun-tahun mereka menetap berjualan disitu.
Seiring berjalannya waktu makin banyak orang yang tahu tentang rujak es krim. Apalagi lokasi jualan mereka yang strategis yaitu dekat dengan kampus STIE Kerjasama dan Akper Notokusumo. Banyak mahasiswa dari kedua kampus tersebut yang menjadi pelanggan tetap. Selain itu para turis yang sedang berwisata ke Pura Pakualaman tidak sedikit yang kemudian mampir ke gerobak  Rujak Es Krim Pak Nardi. "Artis-artis banyak yang datang ke tempat ini," kata Ismirah sambil menunjukkan deretan beberapa foto yang terpajang di dalam warung.
Gempa bumi 2006 membuat hartanya ludes. Ismirah menceritakan, saat pengunjung  Rujak Es Krim Pak Nardi sedang ramai-ramai nya, musibah menimpa mereka. Gempa bumi tersebut  meluluhlantakkan tempat tinggal mereka di Klaten. "Yang tersisa cuma lantainya saja, benar-benar kami nggak punya apa-apa," kata Ismirah. Setelah kejadian gempa tersebut pak nardi dan bu ismirah mengumpulkan puing-puing rumah yang tersisa. Harta yang tersisa beruapa perhiasan anak-anaknya yang kemudian dijual untuk merenovasi rumah mereka. Bahkan Bu Ismira masih ingat sekali, ketika menikahkan anak pertama nya hanya di kebon dengan pagar dari kain atau di sebut rumah los.
Pak Nardi beserta istri kemudian kembali membangun semangat untuk lebih tekun dalam menjual rujak es krim di bawah pohon tanjung. Namun musibah kembali menimpa mereka. Pada tahun 2010 Pak Nardi mengalami stroke yang mengharuskan untuk beristirahat total dan tidak dapat melakukan aktivitas seperti biasa. "Sejak 2010, saya membagi waktu antara jualan rujak es krim di  Jogja dan merawat Pak Nardi di Klaten. Hari Jumat, Sabtu, dan Minggu, ada di  Jogja, sorenya ke Klaten," ungkap Bu Ismirah.
Bu Ismirah menceritakan, ia dan suaminya sudah lama ingin memiliki tempat yang layak untuk berjualan di Jogja. Namun, dari segi keuangan mereka belum mencukupi keinginan tersebut. Atas kebaikan ndoro dari Pura Pakualaman, akhirnya mereka dapat menempati petak kecil di dekat tempat mereka berjualan biasanya yaitu di bawah pohon tanjung. Namun, ketika Satpol PP melarang  pedagang yang berjualan menempel di tembok Pura Pakualaman. kemudian bu Ismirah meminta izin kepada ndoro di Pura Pakualaman untuk menyewa  bangunan lain.