Pernah, didua tahun lalu, tiba-tiba terlintas di benak saya untuk stay di Kendari, ibukota provinsi Sulawesi Tenggara. Itu lantaran sejak  pagi saya tawaf dengan memanfaatkan kendaraan umum, mikrolet. Di Makassar, Pete-pete namanya.
Senin pagi kala itu, ketika begitu banyak orang bergegas ke tempat aktifitasnya, kota Kendari saya nikmati sepuas hati. Seperti tak ada keluh kesah, seperti tak ada irama sumbang dan gerutu-gerutu kejengkelan tentang persimpangan yang dijejeri mobil-mobil yang bergerak bagai siput. Atau stag sama sekali.
Saya mengamati, tak ada titik kemacetan di Kendari. Biarpun  jam sibuk seperti hari saat itu.
Mungkin saya bisa mencoba memulai peruntungan di kota ini. Kira-kira apa yang bisa saya lakukan yah?
Jual Coto Makassar? Saya punya sekarung pengalaman waktu masih remaja. Bekerja bertahun-tahun di warung coto Sunggu dekat rumah. Problemnya, penjual coto harus memulai aktifitasnya dini hari hingga malam. Membuka warung coto di Kendari belum tentu langsung laris manis. Mungkin butuh waktu. Lagi pula saya amati warung-warung makanan sepanjang jalan tak ramai-ramai amat. Sepertinya tak cocok saya buka warung coto di Kendari.
Buka toko baju di mal? Mungkin ini bisa saya garap. Akan tetapi, bukankah Lotus, Matahari dan Ramayana sudah tak berkutik dengan adanya olshop?
Akhirnya, setelah tuntas urusan saya, segera saya membuka aplikasi Traveloka. Untung masih ada seat penerbangan langsung Batik Air ke Jakarta pukul 18.20 nanti malam.
Walau kamar sudah terbayar hingga besok, semalam di Kendari rasanya saya tak bisa berbuat banyak.
Tapi, Alhamdulillah masih bisa berbuat sedikit.