Sekitar pertengahan Juni 2005, saya lupa hari apa dan tanggal berapa tepatnya. Yang saya ingat saat itu saya merasa orang hebat di kampung halaman saya; Ketua KPU Kabupaten Gowa.Â
Keren kan jabatan saya? Ketua KPU pertama di Gowa. Penyelenggara pemilihan bupati secara langsung pertama di negeri ini. Tanda tangan saya yang menentukan untuk menjadi seorang Bupati Gowa pada waktu itu. Hahaha..., tul nggak?!Â
Dan, saya ingat sekali waktu itu menjelang senja, saya sedang asyik ngopi di Phoenam Boulevard Makassar bersama ketua KPU Sulsel, Aidir Amin Daud, dan beberapa teman.
Sedang asyik ngobrol sambil menyeruput kopi, Pak Bahar datang membawa handphone saya yang tertinggal di mobil dan sering dipegangnya karena urusan KPU lalu lalang di situ. Pak Bahar pun saya beri kewenangan untuk sesekali menjawab telepon, apalagi itu berasal dari kolega saya di KPU Gowa, terutama sesama anggota.
"Ada telpon dari Pak Iccang. Katanya gawat kantor, Pak Ketua!" ujar Pak Bahar, dia begitu tergopoh-gopoh, kelihatan susah mengatur napas.
"Bilang sama Iccang, saya sekarang di Phoenam sedang ngopi sama Pak Aidir!" tanggap saya tegas.
"Pak Ketua sedang ngopi, jangan diganggu!" lanjut Pak Bahar. Bicara sama Iccang.
Hehehe... Pak Bahar ini berimproviasasi lagi. Di Sungguminasa sana, Pasti Iccang  --sapaan akrab Hirsan Bactiar, anak muda aktifis---mungkin galau juga teleponnya ke saya hanya ditanggapi oleh Pak Bahar.
Jadi saya raih juga flexi saya itu dari Pak Bahar, staf sekretariat KPU Gowa yang selalu menemani saya kemanapun saya pergi. Spesialis keahliannya memang bawa mobil, namun tak elok saya sebut sebagai supir di KPU karena dia senior dan  pangkatnya sudah IIIB, memenuhi syarat jadi Lurah. Â
"Kenapa, Iccang?" Saya langsung bertanya walaupun saya tetap duduk tak beringsut dari obrolan pilkada langsung di sepuluh kabupaten di Sulawesi Selatan yang baru saja lewat, di meja bundar itu.
"Pulangki duluee ke Sungguminasa, Kak!" sahut Iccang penuh tekanan.