"Seperti yang saya bilang terlalu berat."
"Kenapa tidak langsung diserahkan ke Mas Rapiyanto?" Saya tidak Nampak tertarik. Biasanya Mas Rapiyanto langsung menangani setiap ada naskah. Ia yang membubuhi perangko lalu dikirim kembali ke alamat si pengarang.
"Siapa tahu penilaian kamu beda. Saya memang sudah baca."
"Kenapa saya harus berbeda?"
"Begini, Gam," Kata Mas Isman. "Saya memang menilai cerpen Bob Brandong ini tidak cocok lagi dengan misi majalah kita. Tapi saya harap kamu memperbaikinya. Minimal mengubah bahasanya supaya agak ringan. Yang penting kamu jangan ubah temannya."
Saya mengambil naskah cerpen di hadapan saya. Memperhatikannya kembali. Judulnya Ungkapan Jiwa. Sebuah judul yang sangat puitis. Tapi untuk mengubah bahasanya? Mendingan saya membuat cerpen baru dari pada merombak seperti itu.
"Usahakanlah Supaya Cerpen ini layak muat. Dan kita akan muat secepatnya."
Bagaimana bisa? Pikir saya. Kalau cerpen ini memang jelek, ya jelek. Kalau tidak layak muat, kenapa harus dipaksakan. "Saya tidak mau gara-gara cerpen ini jadi gila!"
Saya menatap Mas Isman ragu. Ada apa sebenarnya dengan Cerpen Bob Brandong ini? Saya merasakan sesuatu yang tidak beres yang membuat pikiran Mas Isman berubah seperti itu.
"Saya baru bisa tenang kalau cerpen ini dimuat."
"Kenapa bukan Mas Isman saja yang merevisi?"