Ketika marak peredaran narkoba di penjara, dan terkadang banyak petugas penjara yang tutup mata, malah tak jarang ada sipir penjara yang terlibat, ia memilih menghindar sejauh-jauhnya dari persoalan yang dulu -mungkin hingga kini, begitu heboh dan jadi isu nasional.
Ia memilih usaha sampingan dengan menjual gorengan di tepi jalan. "Ada singkong goreng, pisang goreng, bakwan dan ubi jalar goreng. Enak saus lomboknya. Cobalah, Kak!" jelasnya sambil menyodorkan sepiring gorengan di hadapan saya, ketika saya singgah di tempat jualannya di pertigaan Jalan Syech Yusuf - Jalan Minasa Upa Raya, Makassar, Sabtu 12 Oktober 2019.
Kehadiran saya yang mendadak tak menghetikan aktifitasnya melayani pembeli yang lumayan ramai itu sembari tetap menggoreng pisang.
Di dekatnya, nampak Asmah, istrinya, yang begitu sibuk mengupas pisang kepok, sambil melayani saya ngobrol dengan santai. Malah Asmah menyuguhkan kopi hitam panas kepada saya.
"Tanpa gula ya kopinya," pesan saya sambil menikmati sepiring pisang goreng yang masih panas lantaran baru diangkat dari penggorengan.
Asmah dan Suardi S adalah pasangan suami istri yang berstatus Aparat Sipil Negara (ASN) di Kementerian Hukum dan Ham Republik Indonesia.
Sebelum memutuskan jual gorengan, berbagai usaha sambilan telah mereka coba. Pernah buka warung kelontong, jual pakaian dan beberapa usaha kecil-kecilan lainnya. Semuanya mereka coba.
"Yang penting halal dan berkah, Kak," ujar Suardi, seraya tetap melayani pembeli yang mampir sejenak. Dari atas mobilnya, pembeli itu menyodorkan selembar sepuluhribuan.
![Foto: Aditya](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/10/14/gorengan-2-5da3fc0c097f365b0368f582.jpeg?t=o&v=770)
"Seribu satu biji, kak," jawabnya.
Hati saya terperangah, setelah membayangkan harga sepiring kecil pisang goreng yang mungkin hanya dua biji dipotong-potong kecil, di Yakun Kaya Toast yang sering saya tempati nongkrong sambil ngopi di Plaza Indonesia itu, tak kurang dari Rp. 30.000.-
"Jadi berapa kau dapat pembeli dalam sehari dengan jualan gorengan seperti ini?" tanya saya lagi.
"Sejuta sehari, kadang-kadang lebih," kali ini Asmah yang menyahut.
"Wah lumayan juga, berarti bisa kau untung tiga ratus ribu sehari," ucap saya.
"Lebih lagi, Kak. Di atas lima ratusan. Keuntungan jual makanan begini di atas seratus persen," ungkap Suardi.
Saya termangu-mangu. Bangga juga saya melihat usaha pasangan suami istri ini. Salut juga saya melihat kerja keras meraka di tengah tabiat begitu banyak ASN yang tidak kreatif dan banyak yang mengambil jalan pintas dengan melakukan cara-cara tak halal dan melanggar hukum.
Lantas, bagaimana cara mereka mengatur waktu antara jualan gorengan dengan kewajiban sebagai sipir penjara?
"Bisalah, Kak. Jadwal kerja sipir penjara itu ada yang masuk pagi, siang dan jaga malam. Setelah jaga malam, libur sehari. Saya dan Asmah tak pernah bersamaan jaganya. Jadi bisa diatur waktunya," jelas Suardi.
Wow, luar biasa. Hebat!
"Jangan kau makan uang haram dari penjara. Jangan kau coba-coba sentuh barang laknat seperti narkoba, apalagi membantu para pengedar menjalankan aksinya dalam penjara. Engkau bisa celaka nanti kalau kau terlibat di situ. Jangan kau coba-coba, Dek!" Begitu ultimatum saya saat pertama mereka jadi sipir penjara sekitar tahun 2005 lalu.
Suardi sipir di Lapas Narkoba Sungguminasa. Asmah sipir di Rutan Kelas 1 Makassar. Dan, Asmah adik bungsu saya.
ZT -Sungguminasa, 14 Oktober 2019
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI