Mohon tunggu...
Zainal Tahir
Zainal Tahir Mohon Tunggu... Freelancer - Politisi

Dulu penulis cerita, kini penulis status yang suka jalan-jalan sambil dagang-dagang. https://www.youtube.com/channel/UCnMLELzSfbk1T7bzX2LHnqA https://www.facebook.com/zainaltahir22 https://zainaltahir.blogspot.co.id/ https://www.instagram.com/zainaltahir/ https://twitter.com/zainaltahir22 https://plus.google.com/u/1/100507531411930192452

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Naik Haji Dahulukan Orang Tua

12 September 2019   05:57 Diperbarui: 1 Oktober 2019   04:25 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Haji Eppe (alm) dan Hj Nginga| dokpri

Rencananya cuma saya, isteri saya dan ibu saya yang akan mendaftar jamaah haji pada tahun 1999, untuk pemberangkatan tahun berikutnya. Ada tabungan saya sekitar tujuh belas juta rupiah, saya pikir cukuplah untuk pembayaran pertama ONH untuk tiga orang. 

Dulu itu belumlah separah daftar tunggu kayak sekarang. Kuota haji masih melimpah-limpah. Tidak kayak sekarang, ONH Plus saja yang ratusan juta itu bertahun-tahun setelah mendaftar, belum tentu kita bisa berangkat. Apalagi ONH biasa yang dimenej pemerintah, bisa sepuluh tahun baru bisa berangkat ke tanah suci.

Mendaftarnya di Haji Sanre, pembimbing jamaah haji di Sungguminasa yang sangat terpercaya. Beliau Imam besar Masjid Agung Syech Yusuf. Beliau pejabat di Pemkab Gowa. 

Dan, beliau keluarga kami. Setiap tahun nyaris separuh calon haji asal kabupaten Gowa yang jadi jamaahnya. Syaratnya cuma bawa KTP dan uang lima juta rupiah, Insha Allah berangkat. 

Selanjutnya Haji Sanre yang urus semuanya, termasuk menyetor biaya pendaftaran tersebut ke bank yang ditunjuk pemerintah. Jamaahnya tinggal terima beres. Gampang, enak dan bikin tenang. Hingga sekarang begitu. 

Tentu dengan nilai yang berbeda. Pada waktu itu ONH Rp. 22.500.000. Oh ya, ada tambahan lima ratus ribu sebagai sedakah supaya digampangkan, diberi rasa enak dengan perasaan tenang, sekaligus untuk ikut bimbingan setiap hari Ahad yang dibimbing langsung sama Haji Sanre.

Maka, saya ditemani isteri dan ibu saya menemui Haji Sanre, membawa fotocopy KTP serta uang lima belas juta rupiah sebagai setoran pertama untuk tiga orang calon jemaah haji. Untuk saya, untuk isteri saya Murnianti Binti Abdul Muis dan untuk Hetty Daeng Nginga Binti Colli, ibu saya. 

Di rumah Haji Sanre yang terletak tepat di belakang Masjid Agung Syech Yusuf Sungguminasa, telah menunggu mertua saya. Bapak mertua saya juga rencananya mau berangkat, sementara ibu mertua saya telah berhaji dua tahun sebelumnya.

Bapak Eppe --sapaan akrab terhadap bapak saya ini---juga tak mau ketinggalan ikut mengantar kami pergi mendaftar di Haji Sanre.

"Haji Sanre itu teman sepermainan saya. Teman sekolah sekaligus teman nakal di pasar waktu kami masih anak muda," ungkap Bapak Eppe.

Tentu saja saya sangat senang mendengarnya.

Di ruang tengah rumah besar itu, Haji Sugi, isteri Haji Sanre, yang menerima pendaftaran kami, sekaligus mencatatnya. Sementara Haji Sanre nampak begitu akrab dan santai ngonrol bersama Bapak Eppe dan mertua saya, Haji Mangung di ruang tamu. Eh, belumpi haji mertuaku waktu itu jadi masih dipanggil Daeng Mangung.

Sementara kami ngobrol dengan Haji Sugi, Haji Sanre muncul bergabung lalu menyerahkan KTP Bapak Eppe. "Daftarkan tommi ini, Haji Eppe," ujarnya.

Saya dan isteri saling bertatapan. Oho... Haji Sanre sudah menyebut nama Bapak Eppe dengan sebutan; Haji Eppe!

"Janganki main-main, Hajji!" Ibu saya yang menimpali. "Dimanai mau ambil uang mau naik di Makkah?" tanyanya terheran-terheran.

"Daftarkanmi saja! Tahun depanpi toh?" jawab Haji Sanre tenang diiringi senyum khasnya yang menyejukkan itu.

"Ini cuma lima belas juta saya bawa, Haji!" Kali ini isteri saya yang menyela. "Harusnya dua puluh juta kalau Bapak Eppe juga mendaftar," lanjutnya.

"Ndak apa-apaji. Itumo dulu. Lain kalipi sedeng ditambah kalau dapatko rezeki," tandas Haji Sanre.

"Hajimu yang daftarkan saya juga," sela Bapak Eppe yang ikut juga bergabung di ruang tengah, menunjuk Haji  Sanre.

Kami hanya termamgu-mangu saja mendengar itu. Terus terang saja saya khawatir juga tak sangggup melunasi ONH untuk kami berempat jika tiba waktu ya nanti. Ini saja kami bertiga baru pembayaran pertamanya yang tersedia. Sisanya untuk pelunasan sekitar lima puluh juta rupiah lagi  tahun depan belum jelas dimana saya mau ambilkan dananya. Rencana naik haji ini betul-betul modal semangat dan keberanian, dan agak nekat hehehe...

Nampak Bapak Eppe begitu bersamangat dan serius. Semangat dan keseriusan itu terlihat dari perubahan sikap maupun perilaku Bapak Eppe. Beliau sudah total menjauhi rutinitas yang namanya minum tuak, atau Ballo bahasa Makassarnya. Padahal di kampung saya dan sekitarnya, tak ada yang tak kenal Daeng Ngeppe, bapak saya yang setiap malam mabuk dan sering bikin onar. Selalu apparicu kalau sedang teler. Tiang listrikpun diajak berkelahi kalau sedang mabuk! Para preman di kampung pun sangat segan dan hormat padanya.  Beliau juga sudah meninggalkan kegemarannya main Joker. Kegiatan main judi ini sering dilakoninya tanpa kenal waktu. Tiga hari tiga malam sering dihabiskan waktunya  main judi, dan itu sering dilakukan pada bulan puasa.. Ini betul-betul masa suram dengan kehidupan kelam dalam perjalanan hidup keluarga kami. Saya ingat betul, perilaku bapak saya ini sudah berlangsung sejak lama --katanya masih sejak anak muda, dan masih terus terjadi sampai saya sarjana di Fisipol Universitas Hasanuddin, Makassar. Walau kadarnya sudah mulai menurun ketika menyadari kami anak-anaknya sudah mulai beranjak dewasa. Suatu kesyukuran karena Bapak Eppe sangat peduli pada pendidikan saya. Apapun beliau lakukan yang penting saya tetap sekolah.

Dan semua kegiatan-kegiatan yang berakibat dosa dan dimurkai Allah, telah berusaha dijauhi Bapak Eppe. Beliau telah serius meninggalkannya. Bapak Eppe telah bertobat. Benar-benar bertobat! Syukur Alhamdulillah...

Hari berikutnya, dan berikutnya lagi, Bapak Eppe nampak semakin berubah. semakin taat beribadah. Selama ini Bapak Eppe tak pernah sholat di masjid, sekarang beliau selalu menyempatkan waktu sholat berjamaah di masjid. Bahkan sholat subuh beliau jarang lewatkan di Masjid Raya. Intensitas ibadah semakin kencang dan berkualitas. Oh yah, latar belakang pendidikan Bapak Eppe di Muallimin Muhammadiyah. Jadi memang ada dasar-dasar agamanya, termasuk lancar baca Qur'an.

Pertengahan tahun 2000 kalau tak salah ingat, saya merasakan keresahan yang begitu sangat. Pasalnya, ada info bahwa pelunasan ONH harus segera dilakukan. Haji Sanre menghubungi saya ketika saya belumlah siap terutama mempersiapkan dana pelunasan ONH tersebut. Yang saya harus setor sebesar tujuh puluh juta rupiah ditambah biaya bimbingan haji pada Haji Sanre.

Tak berpikir panjang, saya langsung melego mobil saya satu-satunya, yang baru setahun lebih saya pakai. Sebuah Honda Grand Civic warna putih produk tahun 1990 yang saya beli dari salah satu keluarga saya, Jufri Rahman, seharga Rp. 46.000.000. Puji syukur kehadirat Ilahi Rabbi, karena mobil tersebut begitu cepat dibeli orang, dan harganya woow... begitu fantastis, Rp. 62.000.000.

Hati saya berdendang senang, seperti menari-nari di antara para bidadari! Saatnya saya melunasi ONH tersebut! Secepatnya! Jika perlu, sebelum waktu yang ditentukan saya harus setor duluan ke bank. Menggebu-gebu saya.
Pemberangkatan jamaah calon haji kloter kabupaten Gowa terhitung beberapa bulan lagi.

Ada masalah karena uang saya tidak mencukupi pelunasan ONH untuk empat orang sekaligus. Bisanya cuma tiga orang. Tunggu! Bapak Eppe kan belum menyelesaikan pembayaran pertamanya. Jadi tambah lagi lima juta rupiah dong! Duhhh....! Bingung juga saya ini. Dimana saya dapatkan tambahan dana?

Mungkin perlu pinjam?

Ah, tidak!

Apakah minta sumbangan kepada para keluarga yang peduli?

Jangan, ah!

Atau bikin saja manasik! Undang semua orang. Kan ada tuh amplopnya?

Hehehe.... Tidak ngehhh saya dengan pola pikir yang penuh harap seperti itu!

Jadi...?!

Saya yang mundur! Hati saya begitu mantap dan ikhlas. Saya menganggap inilah takdir Sang Pencipta. Bahwa saya harus mendahulukan kedua orang tua saya untuk berkunjung ke Baitullah.  Memenuhi panggilan-Nya. Inilah salah satu bentuk bakti saya kepada orang tua sekaligus kecintaan saya kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, batin saya.

Maka sekitar Februari 2001 Bapak Eppe, ibu saya, isteri saya dan bapaknya, berangkat ke Tanah Suci.

Sebelumnya, pada Desember 2000, Alhamdulillah saya telah memiliki pengganti mobil yang telah saya jual. Sebuah mobil baru Daihatsu Taruna Blitz berwarna hitam.

Enam tahun kemudian, saya pun mendapat panggilan Allah SWT untuk berhaji melalui ONH Plus.

Pada tanggal 26 Oktober 2014, HM Tahir Daeng Ngeppe berpulang ke Rahmatullah dengan tenang setelah sempat berumrah tahun 2010 bersama keluarga besar kami. Alfatihah buat bapak kami tercinta, semoga khusnul khotimah. Aminnn...

ZT --Kemayoran, 12 September 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun