Mohon tunggu...
Zainal Tahir
Zainal Tahir Mohon Tunggu... Freelancer - Politisi

Dulu penulis cerita, kini penulis status yang suka jalan-jalan sambil dagang-dagang. https://www.youtube.com/channel/UCnMLELzSfbk1T7bzX2LHnqA https://www.facebook.com/zainaltahir22 https://zainaltahir.blogspot.co.id/ https://www.instagram.com/zainaltahir/ https://twitter.com/zainaltahir22 https://plus.google.com/u/1/100507531411930192452

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Status Perjalanan (10), Paris

31 Maret 2018   10:50 Diperbarui: 1 April 2018   13:20 1051
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di atas kereta cepat Thalys menuju Brussels, saya menorehkan catatan tentang kesan selama tiga hari berada di kota Paris. Sebuah kota yang telah menjadi magnet dunia. Kota metropolis yang selalu dimasukkan ke dalam daftar wajib kunjungan jika kita berencana melakukan trip keliling benua biru. 

Paris selalu penuh daya tarik dengan setumpuk pesona. Apalagi buat orang-orang muda, sejak dulu Paris di kalangan mereka adalah kota teromantis di dunia. Entah benar atau tidak, yang pasti jika sekelompok remaja ditanya, siapa yang mau ke Paris? Saya yakin tak ada yang menyembunyikan tangan. 

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
louvre-paris-1-5ac07760ab12ae7352621033.jpg
louvre-paris-1-5ac07760ab12ae7352621033.jpg
Bagi yang belum berkunjung ke Paris, hasrat untuk mendatangi kota mode ini begitu menggebu. Padahal ia hanya terpesona dengan penampakan Eiffel yang begitu anggun penampilannnya di poscard dan majalah. Itu betul, di Eiffel Tower dan sekitarnya, nyaris semua sudut menjadi spot-spot terbaik untuk motret-motret. Foto-foto yang berlatar Eiffel tentu saja akan menjadi pilihan utama untuk menghiasi akun-akun media sosial kita. 

Padahal Paris bukan hanya Eiffel, tapi Eiffel adalah icon kota Paris. Sama saja Jakarta bukan hanya Monas, tetapi Monas telah lama menjadi icon kota Jakarta. Begitulah kira-kira.

Yah, dari pada penasaran, ada baiknya memang sempatkan diri singgah di Paris. Walau hanya sekadar selfie berlatar menara Eiffel.

***

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Musim dingin di Paris tak begitu ramai. Tapi di setiap stasiun Metro, orang-orang tetap berdesak-desakan, terutama hari Minggu, tepat di puncak tahun 2017.

Stasiun kereta yang kebanyakan terletak dibawah tanah di Paris ini, kesannya begitu kumal, tua dan nampak agak jorok. Hanya sebagian kecil yang dilengkapi eskalator, selebihnya di banyak stasiun harus naik turun tangga secara manual. Pesannya buat yang mau ke Paris, janganlah membawa koper yang gede-gede dan berat-berat.

Di stasiun kereta Metro, selalu muncul kesan waspada dan was-was terhadap pencopet. Jangan coba- coba lengah, sebab uang kita akan berpindah tangan. Terkadang pencopetnya santun, mengembalikan dompet kita setelah uangnya dicomot.

***

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Saya teringat di akhir musim semi tahun 2006 silam, ketika saya menjadi salah satu peserta Pelatihan HAM Internasional selama sebulan di Strasbourg, Prancis. Setiap week end, kami selalu mendapat kesempatan keluar dari kota Strasbourg untuk jalan-jalan. Rombongan terbagi dua. Rombongan pertama memilih kunjungan ke kebun anggur dan rombongan kedua termasuk saya,  Aidir Amin Daud dan dan teman-teman lainnya,  memilih kunjungan ke Paris. Saat itu, saya baru pertama kali ke Paris. Teman Aidir Amin Daud saat itu untuk kesekian kalinya ke ibukota Prancis itu.

Dari Eiffel Tower, kami ramai-ramai jalan kaki ke Stasiun Dupleix, sebuah stasiun Metro yang bukan di bawah tanah tapi  dilengkapi dengan eskalator. Sekitar setengah jam kami berjalan, padahal jaraknya hanya satu kilometer, paling jauh 1,5 kilo. Namun sebagian besar teman-teman singgah di toko-toko yang berjejer di tepi jalan, walau hanya melihat-lihat dari luar berbagai produk brand terkenal yang terpajang di etalase.

Tujuan sebagian besar kawan-kawan pada waktu itu adalah ke Notre Dome. Butuh waktu sekitar 30 menit naik Metro dari stasiun Dupleix ke  Stasiun  Saint-Michel - Notre Dame. Saya bersama Aidir memilih ke Muse De Louvre ketimbang ikut suara terbanyak ke Notre Dame, biarpun Aidir saat itu untuk yang kedua kalinya ke museum seni terbesar di dunia itu.

Suatu sore bersama Aidir Amin Daud di atas kapal yang mengitari Sungai Seine, Paris. (Dokpri)
Suatu sore bersama Aidir Amin Daud di atas kapal yang mengitari Sungai Seine, Paris. (Dokpri)
Di stasiun Dupleix, ketika kami berada di ujung atas eskalator, tiba-tiba terjadi kepanikan. Seorang pemuda yang berada paling depan terjatuh, membuat rombongan kami di belakangnya terdorong ke depan dan tertahan pada pemuda yang jatuh barusan. Kepala  saya membentur di punggung Aidir,  dan Aidir menambrak orang yang berada di depannya. Saya merasakan benturan agak keras dari belakang, disertai terikan kepanikan. Yang menabrak saya adalah teman juga. Begitu seterusnya ke belakang. Dan kami semua tersungkur karena tangga tetap berjalan. Bahkan ada teman yang terbentur kepalanya di dinding tangga jalan itu. 

Untunglah pemuda yang terjatuh tadi cepat bangkit, sambil berucap memperlihatkan sebungkus rokok di tangannya, "Sori, sori... thankyou!" 

Awwahh! Ternyata pemuda itu tidak terjatuh, tapi  jongkok untuk mengambil rokoknya yang sengaja ia jatuhkan di ujung eskalator yang sedang bergerak naik.

Tak sampai semenit, kepanikan lain muncul dari seorang teman asal Provinsi Papua. "Saya kecopetan! Dompet saya hilang," ungkapnya lesu. Wajahnya seperti tak dialiri darah. Ia bukan hanya panik, tapi sudah sampai ke level pucat.

Kami saling berpandangan. 

"Ada Euronya di dalam dompet, Bapak?" tanya saya.

Teman itu mengangguk. "Ada, Pak."sahutnya lemas.

"Berapa?" kejar saya.

"Banyak deh, Pak," jawabnya sudah tak bersemangat.

Disaat kami sibuk menenangkan teman yang barusan kecopetan itu, ada seorang anak muda tinggi berwajah Afrika, mendatangi teman yang lagi bersedih itu. Ia menyodorkan sebuah dompet berwarna cokelat, dompet teman yang barusan kecopetan itu. Ia tersenyum seraya kerkata, "C'est a toi?Merci..."

Kami saling berpandangan. Belum sempat salah satu di antara kami mengatakan 'merci', anak muda itu telah bergegas pergi, bersama teman-temannya. 

Astaga! Saya memergoki salah seorang teman anak muda yang barusan mengembalikan domper teman saya yang kecopetan itu, ternyata pemuda yang tadi telah menjatuhkan  rokoknya, yang bikin inseden sejenak disini,  di ujung eskalator itu.

"Gimana isi dompetnya, Pak?" tanya saya segera. 

"Yah, nggak ada yang hilang, kecuali uangnya,'' sahut teman itu.

"Berapa isinya?"

"Lumayan banyak, 900 Euro lebih. Tapi syukurlah kartu-kartunya tidak ada yang diambil."

Saya menghela napas panjang. "Diikhlaskan saja, Pak. Yang penting Paspor dan ATM aman," kata saya.

Teman saya itu pasrah saja.

Sopan juga pencopet di Paris ini, geram hati saya.  Kalau di kampung saya pasti pencopet itu dibakar hidup-hidup, minimal digebuki ramai-ramai, sebelum diserahkan ke pihak berwajib.

Di paris ini, orang-orang yang menyaksikan kejadian barusan nampak santai-santai saja. Mereka cuek-cuek saja. Paling ada di antara mereka yang sejenak menoleh, lalu berlalu.

***

Hmmm... Paris yang kotor! Ini kesan yang lain lagi. Kesan ini sangat mencolok. Mungkin kota dunia ini terlalu luas dan kompleks permasalahannya, sehingga sampah yang berserakan di jalan, dibiarkan saja. Terlalu banyak pendatang dan kaum imigram yang tinggal menetap di kota Paris. Mereka menggeluti pekerjaaan-pekerjauan kelas bawah. Petugasnya pun tak peduli. Padahal jalan yang saya susuri itu berada kawasan elit, di sepanjang jalan adalah tempat shopping di depan Muse De Louvre.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Sisi-sisi kota Paris pun banyak yang kumuh. Seperti di sepanjang kawasan yang saya lalui, setelah pulang dari Eiffel, bertahun baru. Deretan rumah dan toko, bagian depannya dipenuhi graffiti. Begitu pula sisi-sisi yang lain kota Paris, terlalu banyak warga Paris yang kreatif, sehingga apa saja yang mereka temui, dijadikannya media untuk corat-coret dan gambar-gambar.

Nah, di sini kekaguman saya terhadap kota mode ini, turun beberapa level. Mungkin ini hanya pengamatan sekilas dari saya tentang Paris. Sebab waktu tiga hari di Paris tidaklah cukup mencermati sudut-sudut kota ini, hingga ke tempat-tempat yang menakjubkan yang sering saya buka di mesin pencari seperti Paman Google. 

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Atau mungkin pikiran saya masih terpengaruh oleh pesta penyambutan tahun baru kemarin yang hanya menampilkan kerlap-kelip lampu di Menara Eiffel berkejar-kejaran, dari bawah hingga ke puncaknya. Yah, Tahun baru tampa kembang api, apalagi mercon. Sampai-sampai isteri saya mengatakan, "Tahun depan kalau kita berlibur lagi ke Eropa, tak usah kita ke Paris! jauh lebih bagus Swiss."

"Yah, Insha Allah," sahut saya.

Padahal saya paling suka legenda Paris yang mahsyur itu.

***

Konon, dua dewa utama, Zeus dan Poseidon, bernafsu pada Thetis, dewi laut. Mereka berusaha sebisa mungkin untuk memperkosanya. Namun tiba-tiba Themis (atau Prometheus) meramalkan bahwa putra yang dilahirkan Thetis akan menjadi lebih kuat dari ayahnya. Setelah mengetahui ramalan itu, Zeus dan Poseidon tak lagi berminat pada Thetis. 

Zeus lalu menikahkan Thetis dengan Peleus. Semua dewa-dewi diundang, kecuali Eris, dewi perselisihan. Marah, Eris akhirnya melempar sebuah apel emas bertuliskan "Untuk yang Tercantik" ke tengah-tengah para hadirin. Tiba-tiba Hera, Athena dan Afrodit mengklaim diri masing-masing sebagai pemilik apel tersebut. Mereka  meminta Zeus untuk memutuskan siapa yang berhak atas apel tersebut. Namun Zeus tidak mau dan menyuruh mereka meminta keputusan pada Paris, pangeran Troya putra Priamos dan Hekabe.

Ketiganya mendatangi Paris dan menawarkan berbagai hadiah sebagai imbalan jika Paris memilih mereka. Athena berjanji akan menjadikannya pemimpin perang yang berjaya, Hera menawarkan untuk menjadikannya raja yang sangat kaya, sedangkan Afrodit menawarkan wanita tercantik di dunia, Helene dari Sparta. Paris akhirnya memihak Afrodit dan memberikan apel emas itu pada sang dewi, dengan demikian menyatakan bahwa Afrodit adalah dewi tercantik. Keputusan ini membuat Hera dan Athena murka, dan akibatnya akan terlihat pada perang Troya.

Sebenarnya Paris saat itu sudah mempunyai istri, yaitu seorang nimfa gunung bernama Oinone. Namun demi Helene, Paris pun meninggalkan istrinya. Oinone berkata pada Paris bahwa jika nanti Paris terluka, Oinone selalu bersedia untuk menyembuhkannya. Oinone berharap suaminya suatu saat akan kembali. Sementara Helene di Sparta juga sudah mempunyai suami, yaitu Menelaos, raja Sparta.

Saudara-saudara Paris, Helenos dan Kassandra, bisa melihat masa depan dan mereka melihat bahwa perjalanan Paris ke Sparta akan membawa kehancuran bagi Troya. Mereka pun memperingatkan Paris. Namun Paris tidak peduli dan tetap nekat untuk berlayar ke Sparta bersama sepupunya Aineias.

Di Sparta, Paris disambut oleh Menelaos dan Helene. Afrodit lalu membuat Helene jatuh cinta pada Paris. Ketika Menelaos pergi ke Kreta untuk menghadiri upacara pemakaman kakeknya, Paris mengajak Helene kabur ke Troya. Helene bersedia dan dia pun mengikuti Paris dengan membawa serta banyak harta dari Sparta. Helene juga meninggalkan putrinya yang bernama Hermione di Sparta.

https://www.facebook.com/anthymu/videos/1792509520759241/?t=10

ZT - Thalys 9321, 2 Januari 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun