Malam itu, Kota Serang diguyur hujan gerimis. Saya, yang sedang berkendara motor menuju arah pulang setelah seharian lelah bekerja, tiba-tiba merasakan ban motor saya oleng. Benar saja, ban motor saya bocor. Di tengah malam yang sunyi dan hujan yang semakin deras, saya harus mencari tukang tambal ban yang masih buka.
Dengan hati-hati, saya terus mengendarai motor sambil sesekali menarik tuas gas tipis-tipis, menyusuri jalanan yang remang-remang. Tidak lama kemudian, di bawah pohon rindang di tepi jalan, saya melihat sebuah gubuk bambu sederhana. Lampu kecil yang tergantung di gubuk itu menandakan ada kehidupan di sana. Sebuah kios tambal ban 24 jam!
Dengan perasaan lega, saya menghampiri gubuk itu. Seorang bapak separuh baya dengan cekatan menyambut saya. Ia segera memeriksa ban motor saya dan mulai melakukan proses penambalan dengan hati-hati. Di tengah gemericik hujan yang semakin deras, bapak itu, yang kemudian saya ketahui bernama Madiri, menyuguhkan saya secangkir kopi hangat.
"Biar enak, merokok, Kang. Silakan diminum," ujarnya dengan ramah.
"Terima kasih, Pak," sahut saya sambil menerima cangkir kopi yang diulurkan. Karena tidak ada meja, saya meletakkan cangkir kopi di samping saya, di atas bangku panjang yang saya duduki.
Sambil menunggu proses penambalan ban, kami terlibat dalam obrolan santai. Pak Madiri bercerita tentang perjalanan hidupnya. Ternyata, ia baru dua tahun ini menjalani profesi sebagai tukang tambal ban. Sebelumnya, Pak Madiri terbilang sukses berjualan kopi di sebuah kios kecil di emperan toko.
Di sudut Pasar Induk Rau, di antara hiruk pikuk pedagang dan pembeli, berdiri sebuah kios kecil berukuran 150 cm x 200 cm. Di sanalah Pak Madiri, seorang pria paruh baya dengan senyum ramah, meracik kopi untuk para pelanggannya.
Dahulu, Pak Madiri hanyalah seorang pedagang kopi biasa yang berjualan di emperan toko. Namun, ia memiliki mimpi besar untuk mengubah hidupnya dan keluarganya. Dengan tekun dan sabar, ia menjalankan usahanya dari tahun 2010, merasakan pasang surutnya Pasar Rau.
Setiap hari pasar rau selalu ramai, Pak Madiri bisa meraup keuntungan hingga jutaan rupiah per hari. Ia tidak menyia-nyiakan rezeki yang diberikan Tuhan. Sebagian keuntungan ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sebagian lagi ia tabung. Pak Madiri juga tidak lupa untuk menyisihkan sebagian uangnya untuk membayar asuransi bagi seluruh anggota keluarganya. Ia ingin memberikan jaminan perlindungan bagi mereka jika terjadi hal yang tidak diinginkan. Pak Madiri juga berhasil menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang perguruan tinggi.