Mohon tunggu...
Zainal Mustofa Misri
Zainal Mustofa Misri Mohon Tunggu... Freelancer - Konten Kreator, Aktivis Sosial

Saya hanyalah orang biasa yang ingin menulis, saya sadar kok seberapa jeleknya tulisan saya ini, tapi saya ingin menulis walaupun tulisan saya gak jelas, kayak nulis dikolom bio ini, suruh deskripsikan diri malah nulis kayak gini, kan gak nyambung. Yaudah, karena saya hanya ingin menulis, yaudah nulis aja. Terimakasih kompasiana.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sisi Lain Pasar Induk Rau : Dari Cerita Warung Kopi Emperan Toko

3 Februari 2025   20:27 Diperbarui: 6 Februari 2025   01:21 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kios tambal ban di tengah kota (gambar dok.pribadi)

Malam itu, Kota Serang diguyur hujan gerimis. Saya, yang sedang berkendara motor menuju arah pulang setelah seharian lelah bekerja, tiba-tiba merasakan ban motor saya oleng. Benar saja, ban motor saya bocor. Di tengah malam yang sunyi dan hujan yang semakin deras, saya harus mencari tukang tambal ban yang masih buka.

Dengan hati-hati, saya terus mengendarai motor sambil sesekali menarik tuas gas tipis-tipis, menyusuri jalanan yang remang-remang. Tidak lama kemudian, di bawah pohon rindang di tepi jalan, saya melihat sebuah gubuk bambu sederhana. Lampu kecil yang tergantung di gubuk itu menandakan ada kehidupan di sana. Sebuah kios tambal ban 24 jam!

Ilustrasi kios tambal ban di tengah kota (gambar dok.pribadi)
Ilustrasi kios tambal ban di tengah kota (gambar dok.pribadi)

Dengan perasaan lega, saya menghampiri gubuk itu. Seorang bapak separuh baya dengan cekatan menyambut saya. Ia segera memeriksa ban motor saya dan mulai melakukan proses penambalan dengan hati-hati. Di tengah gemericik hujan yang semakin deras, bapak itu, yang kemudian saya ketahui bernama Madiri, menyuguhkan saya secangkir kopi hangat.

"Biar enak, merokok, Kang. Silakan diminum," ujarnya dengan ramah.

"Terima kasih, Pak," sahut saya sambil menerima cangkir kopi yang diulurkan. Karena tidak ada meja, saya meletakkan cangkir kopi di samping saya, di atas bangku panjang yang saya duduki.

Sambil menunggu proses penambalan ban, kami terlibat dalam obrolan santai. Pak Madiri bercerita tentang perjalanan hidupnya. Ternyata, ia baru dua tahun ini menjalani profesi sebagai tukang tambal ban. Sebelumnya, Pak Madiri terbilang sukses berjualan kopi di sebuah kios kecil di emperan toko.

Di sudut Pasar Induk Rau, di antara hiruk pikuk pedagang dan pembeli, berdiri sebuah kios kecil berukuran 150 cm x 200 cm. Di sanalah Pak Madiri, seorang pria paruh baya dengan senyum ramah, meracik kopi untuk para pelanggannya.

Dahulu, Pak Madiri hanyalah seorang pedagang kopi biasa yang berjualan di emperan toko. Namun, ia memiliki mimpi besar untuk mengubah hidupnya dan keluarganya. Dengan tekun dan sabar, ia menjalankan usahanya dari tahun 2010, merasakan pasang surutnya Pasar Rau.

Pasar Induk Rau: Bangkit atau Tenggelam?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun