Mereka pada akhirnya dapat memasuki Kota Baghdad setelah dibukakan pintu oleh Al-Mustakfa yang saat itu menjabat sebagai Khalifah Abbasiyah pada tahun 334 H. Pada saat itu, Baghdad sebenarnya sedang dilanda  kekisruhan politik akibat adanya perebutan antara wazir dan pemimpin militer. Maka daripada itu untuk mendapatkan kekuasaan, para pemimpin meminta bantuan kepada Bani Buwaih. Pada mulanya pihak Buwaih yang bermazhab Syi'ah-Zaidiyah hendak mengangkat khalifah dari keluargan Ali, namun beberapa tokoh Syi'ah-Zaidiyah berpendapat bahwa jika khalifah berasal dari keluarga Ali, maka akan menyulitkan kendali Buwaihi atas kebijakan khalifah nantinya.
Sebagaimana saat Turki mendominasi, kehadiran Bani Buwaih tak ayal membuat kekuasaan sang khalifah tinggal namanya saja. Pelaksanaan pemerintahan sepenuhnya dari kehendak Bani Buwaih. Kekacauan juga makin bertambah disebabkan pemberontakan dari kalangan Sunni atas berkuasanya Syi-ah-Zaidiyah yang dibawa Bani Buwaih.
Walaupun khalifah hanya dijadikan boneka, akan tetapi di sisi lain Bani Buwaih mampu mengangkat kembali kejayaan Abbasiyah seperti halnya pada periode pertama. Mereka berhasil menarik kembali wilayah-wilayah yang sebelumnya sempat menyatakan keluar dari kekhalifahan Abbasiyah. Pada bidang infrastruktur, Bani Buwaih banyak membangun kanal, masjid, rumah sakit, dan bangunan umum lainnya. Pada bidang keilmuan, mereka juga berhasil mengangkat kembali ilmu pengetahuan dan kesusastraan sehingga memunculkan ilmuan-ilmuan Muslim yang terkenal. Mereka di antaranya seperti al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Miskawaih, Al-Farghani, dan lain sebagainya. Kemajuan yang dicapai tidak lepas dari perkembangan pada bidang ekonomi seperti pertanian dan industri.
Kekuasaan Bani Buwaih pada pemerintahan Abbasiyah tidak bertahan lama, sepeninggalan tiga bersaudara tersebut, anak-anak mereka memperebutkan kekuasaan sebagai amir-umara. Hal ini menjadikan Buwaihi lemah dan lepas kontrol terhadap pemerintahan Abbasiyah. Persoalan bertambah ketika konflik muncul dalam tubuh militer yang berasal dari kubu Dailam dan keturunan Trurki.
Faktor eksternal yaitu gencarnya penyerangan yang dilakukan oleh Pasukan Byzantium. Selain itu, banyaknya dinasti-dinasti yang memisahkan diri  seperti halnya Dinasti Fatimiyah semakin melemahkan pengaruh Buwaihi pada tubuh Abbasiyah. Pada akhirnya kekuasaan direbut kembali oleh kalangan Sunni yang dipelopori oleh orang-orang Seljuk.
Dinasti Seljuk berasal dari beberapa kabilah kecil dari suku Ghuz yang berasal dari wilayah Turkistan. Mereka kemudian dipersatukan oleh Seljuk bin Tuqaq sehingga disebut dengan orang-orang Seljuk. Orang-Orang Ghuz bersama Seljuk bin Tuqaq bermigrasi ke daerah Transoxiana dan berada di bawah otoritas Samaniyah. Mereka masuk Islam dengan bermazhab Sunni. Mereka akhirnya berkuasa penuh saat Samaniyah akhirnya dikalahkan oleh Ghaznawiyah. Pada masa pemerintahan Thugrul Bek, Seljuk berhasil menguasai wilayah Khurasan setelah sebelumnya dapat mengalahkan Dinasti Ghaznawiyah. Sejak saat itu, Thugruk Bek memproklamirkan berdirinya Dinasti Saljuk pada tahun 432 H/1040 M.
Pada waktu yang bersamaan, Al-Bashasiri yang berorientasi Syi'ah ingin menghapus kekhalifahan dari Abbasiyah, ia kemudian memaksa Khalifah Al-Mustansir di Mesir untuk menyetujui permintaannya. Mengetahui niat tersebut, Khalifah Abbasiyah yang saat itu dipimpin oleh Al-Qaim kemudian mengirim surat kepada Thugrul Bek untuk meminta bantuan dan dukungan darinya. Permintaan ini disambut baik oleh Thugrul, kemudian ia menyurati sekutunya di Dainur dan Qarmisin untuk berangkat ke wilayah Abbasiyah. Akhirnya pada tahun 448 H, Thugrul Bek bersama orang-orang Seljuk memasuki Baghdad dan menangkap sultan terakhir Buwaihi, Malik Ar-Rahim.
Dibandingkan dengan periode Buwaihi, pada masa Seljuk khalifah kembali diberikan kekuasaan dalam memerintah, terutama dalam hal keagamaan. Meskipun memegang kuasa atas Baghdad, akan tetapi Thugrul Bek tetap memusatkan kuasanya di kota tempat orang-orang Seljuk memimpin, yaitu wilayah Ray. Sepeninggalan Thugrul Bek, pemerintahan kemudian dilanjutkan secara bergilir oleh 7 orang khalifah. Selain menguasai daerah Baghdad, Seljuk juga membangun dinasti di daerah Kerman, Khurasan, Suriah, dan Rum.
Pada masa pemerintahan Alp Arselan, terjadi peristiwa besar yang bernama Manzikart. Peristiwa ini merupakan perang yang dilakukan pihak muslim yang kala itu berjumlah 15.000 melawan Pasukan Romwi yang berjumlah 200.000. Tentara Alp Arselan akhirnya mengalahkan pasukan Romawi dan menguasai wilayah Manzikart di wilayah Asia Kecil. Alp Arselan juga berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan dan mengalami kemajuan pada masa Sultan Malik Syah.
Dengan dibantu oleh perdana mentri Nizamul Mulk, Sultan Malik Syah berhasil membangun Universitas Nizhamiyah yang kelak akan menjadi model bagi seluruh Universitas yang ada di dunia. Pengembangan bidang Ilmu Pengetahuan ini juga melahirkan ilmuan-ilmuan seperti Al-Zamakhsyari, Abu Hamid Al-Ghazali, Farid Al-Din Al-'Aththar, dan sebagainya. Pemerintahan Malik Syah juga mendirikan banyak Masjid, sistem irigasi, jalan raya, dan jembatan.
Setelah pemerintahan Malik Syah, Saljuk mulai menunjukkan masa kemundurannya. Konflik internal untuk merebutkan kekuasaan mulai muncul. Hal ini mengakibatkan banyaknya wilayah yang melepaskan diri seperti Khawarizm, Ghuz, dan Al-Ghuriyah. Kekuasaan Seljuk di Baghdad akhirnya berakhir pada masa Khawarizm Syah pada tahun 590 H/ 1199 M.