Mohon tunggu...
Zainab canu
Zainab canu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Penyuka olahraga HIIT _ baca buku_fashion

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kita Semua Berpotensi Mengalami Kekerasan Seksual

25 Januari 2022   05:39 Diperbarui: 25 Januari 2022   05:42 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kita tidak pernah tau kapan dan dimana serta bagaimana pelaku kekerasan seksual ini akan menyerang korbannya tapi kita semua berpeluang menjadi korban kekerasan seksual, bahkan mungkin hampir setiap saat kita semua mendapatkan kekerasan seksual dengan cara yang berbeda baik itu laki-laki maupun perempuan meskipun secara persentasi perempuan jauh lebih banyak menjadi korban kekerasan seksual. 

Studi dari WHO menyebutkan 1 dari 3 perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan seksual. Ada berbagai bentuk terkait kekerasan seksual seperti bersiul, cat calls, kedipan mata, memandang, pemaksaan dan pemerkosaan serta apapun perilaku yang membuat kita tidak nyaman sebagai atensi objektifikasi seksual.

 Kasus dan tindakan kekerasan seksual bukan hanya terjadi dalam dunia nyata tapi juga sudah bertransisi melalui platform digital. kasus kekerasan berbasis gender online  atau yang biasanya disingkat KBGO menduduki 5 peringkat teratas di tahun 2020 saat pandemic covid 19. berdasarkan laporan data komnas perempuan ada 940 aduan kekerasan seksual yang diwadahi oleh teknologi di sepanjang tahun 2021 mulai dari pelecehan dengan komentar bernuansa seksual, ancaman penyebaran dan pemerasan video intim hingga peretasan. Hal-hal seperti inilah yang menjadikan ruang aman dan nyaman bagi kita semua sudah semakin sempit untuk bebas beraktivitas.

Beberapa kampus bonafide di indonesia baik negeri maupun swasta terkena kasus kekerasan seksual. institusi pendidikan tertinggi yang menjadi rujukan keilmuwan notabenenya mampu mencetak dan menciptakan generasi yang adib dan arif justru menjadi tercemar karena ulah beberapa oknum dosen yang berperilaku immoral. Tahun 2020 Survey kemendikbud 77 persen dosen membeberkan pernah terjadi kekerasan seksual dan 63 persen tidak dilaporkan kepada pihak yang memiliki otoritas. 

Kemudian kasus kejahatan seksual yang begitu menggemparkan dan memilukan dilakukan oleh seorang tokoh agama di salah satu pesantren yang terletak di kota bandung terhadap 13 orang santri sampai menyebabkan para korban hamil. Menyeruaknya kasus kejahatan seksual terhadap perempuan adalah asumsi fenomena gunung es bahwa yang terlaporkan dan terdata lebih sedikit ketimbang yang tidak terekspos dan tersentuh media massa.

Menyinggung dari sisi psikologi mereka yang menjadi korban kekerasan seksual mengalami perasaan traumatis yang begitu menyakitkan, putus asa, malu serta tidak berdaya. dan hanya sedikit dari mereka yang berani berbicara, sebagian besar dari korban kekerasan seksual dalam hal ini pemerkosaan, pencabulan, sodomi memilih untuk diam, bungkam. 

Alasan kenapa para penyintas kejahatan seksual enggan untuk bersuara dan menyimpan sendiri ketidak berdayaannya sebab di masyarakat adanya victim blaming yaitu memberikan stigma negatif terhadap korban alih-alih memberikan dukungan empati dan simpati justru mala menyalahkan dan melabeli korban dengan berbagai tuduhan dan komentar bernada seksis  "kamu pakai baju apa saat itu" atau "mungkin kamu teralu centil dan menggoda" pertanyaan dan pernyataan menyudutkan kredibilitas korban seperti inilah secara signifikan menyebabkan kerusakan psikologis yang kronis dan bisa menunda pemulihan korban.

Kebanyakan orang tentu berpikir dan mempertanyakan kenapa korban tidak melawan, berlari atau berteriak minta tolong ? Padahal yang sebenarnya terjadi ketika insiden itu berlangsung adanya fenomena tonic immobilty suatu sensasi kelumpuhan sementara, tanpa sadar dan di luar kendali yang menyebabkan korban tidak bisa bergerak, bahkan dalam banyak kasus mereka tidak bisa berbicara. 

Berdasarkan hasil studi para ahli,tonic immobility ini dialami 70 persen korban pemerkosaan dan orang yang mengalami fenomena tonic immobility 2 kali lebih beresiko mengidap gangguan mental Post Traumatic Stres Disorder/PTSD yaitu gangguan pasca trauma yang membuat pengidapnya memiliki perasaan terisolasi, kecemasan, ketakutan dan sulit percaya terhadap orang lain sehingga kualitas hidupnya terganggu. Dan 3 kali lebih beresiko mengalami gangguan depresi berat.

Masyarakat marginal yang minim pengetahuan justru menormalisasi dan menganggap remeh kekerasan seksual ketika itu terjadi di ruang publik seperti cat calling, mengedipkan mata/pelecehan verbal, gaslighting/pelecehan mental. Kejadian ini sangat sering terjadi disekeliling kita dan anehnya masyarakat memaklumi dan menganggap itu adalah bercandaan atau ekpresi pujian terhadap perempuan. Sikap yang mewajarkan seperti inilah membuat sang pelaku merasa aman dan tidak menutup kemungkinan akan nekat melakukan pelecehan yang lebih fatal.

Sementara dari konteks psikologis dan sosial pelaku kejahatan seksual yang mayoritas pelakunya adalah laki-laki dimana sang pelaku kejahatan seksual merasa memiliki kuasa atas tubuh perempuan, ini terkait polah asuh toxic maskulinity yaitu sebuah konstruksi sosial dan stereotip yang diciptakan untuk dijadikan standar bagaimana seharusnya laki-laki berperilaku agar mendapatkan stigma laki-laki "jantan" atau " pria sejati" misalnya laki-laki tidak boleh cengeng, nangis, untuk mengekspresikan kemarahan dan rasa sakitnya dampak yang ditimbulkan ketika seorang anak laki-laki yang terjebak dengan pola asuh seperti ini menimbulkan rasa tertekan dalam jiwanya, tekanan dalam melampiaskan emosi sejak kecil hingga dewasa membuatnya bingung bagaimana meregulasi emosi dengan baik, kecendrungan emosi-emosi tersebut justru bisa termanifestasikan dalam bentuk yang keliru seperti kekerasan seksual. 

Salah satu racun maskulinitas juga anak laki-laki tidak boleh melakukan pekerjaan domestik " cuci piring, belanja ke pasar, beres-beres rumah dsb" sebab menjaga maskulinitas dan powernya. atau anak laki-laki tidak boleh bermain permainan anak perempuan seperti boneka, padahal perilaku bermain seperti ini bisa melatih dan mendidiknya menjadi ayah dan suami yang baik ketika dewasa kelak.

Ketika maskulinitas seorang laki-laki diragukan maka akan mendorong perilaku agresi sebagai akibat untuk menunjukan kekuasaan agar tetap dilihat sebagai pihak yang dominan, pada akhirnya kondisi ini mentriger berbagai bentuk kekerasan dalam relasi kuasa dimana situasi yang ideal terjadinya kekerasan seksual di ruang dimensi relasi kuasa yang timpang. Saat ada superioritas berarti ada inferior, ada pihak dominan berarti ada pihak submisif artinya ada pihak yang mengatur dan diatur misal dosen kepada mahasiswanya, guru kepada muridnya atau ustadz terhadap santrinya. Perempuan apalagi anak-anak menjadi korban yang sempurna kelemahannya di mata pelaku kekerasan seksual. 

Dari segi fisik mereka dianggap rapuh, secara psikis gampang dimanipulasi, diiming-imingi sementara secara sosial masyarakat menggampangkan bahkan menormalisasi penyintas kasus kekerasan seksual bahkan seringkali mengatakan "lupakan dan maafkanlah life must go on" padahal penderitaan yang mereka rasakan begitu multidimensional dan menyiksa. Komentar-komentar yang tidak disadari seperti ini membuat penderitaan korban menjadi 2 kali lipat, ibarat sudah kepedesan dengan cabe makin dicekokin cabe.

Berdasarkan riset terkadang motif sang pelaku bukanlah motif seksual meskipun perilakunya seksual tetapi motif superioritas kontrol, kekuasaan yang ingin ditunjukan kepada korban bahwa dia berkuasa, dominan, superior, beberapa riset mengungkap bahwa motif ini bisa jadi didasari pelaku pernah mengalami kejahatan seksual di masa lampau, ketika dia berada di usia yang tidak berdaya, rasa dendam, amarah, frustasi yang terepresi sekian lama mengendap di alam bawa sadar sampai suatu ketika terjadilah bom waktu yaitu pelampiasan dengan cara menyalurkan ke pihak lain. 

Dengan kata lain ketika pelaku melakukan kejahatan seksual ada 2 kemungkinan yang bisa diterjemahkan sebagai manifestasi kebingungan bahwa sebenarnya pelaku belum bisa menerima dan memahami apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya, lalu kemudian dia akan mengulangi tindak kejahatan seksualnya untuk menemukan jawaban atas kebingungannya. Perilaku kejahatan manusia adalah hasil dari proses belajar semakin fasis semakin asyik dan memunculkan perasaan senang sehingga dia akan mengulangi perbuatannya, kondisi ini dalam psikologi disebut satisfying state of affairs yakni perilaku itu akan terus berulang jika diikuti dengan perasaan yang lebih memuaskan, 

alih- alih meredahkan amarah, alih-alih memberikan jawaban atas kebingungannya justru amarahnya menjadi semakin buas sehingga perilaku kekejiannya menjadi impulsif (sulit ditekan) dan kompulsif (sulit untuk dihentikan). Terkadang modus yang digunakan pelaku begitu halus, bukan dengan cara memaksa tapi melalui pendekatan persuasif, pertemanan, persahabatan untuk mengidentifikasi titik kelemahan korban, dengan begitu korban mudah diperdaya, dimanipulasi dan dijebak. 

Dan kemungkinan kedua adalah bentuk kemarahan yang diekspresikan kepada orang yang tidak berdaya sebagai kompensasi ketidakberdayaannya di masa lampau. Dalam psikologi perilaku ini disebut displacement atau pengalihan sebagai bentuk mekanisme pertahanan diri dimana sang pelaku mencoba menyalurkan secara terbuka rasa ketidakberdayaannya sehingga mengarahkan emosi negatif dari sumber aslinya ke pihak lain, bertujuan untuk meningkatkan citra diri, memberikan kekuatan dan prestise.

Maraknya kekerasan seksual menjadi tanggung jawab kita bersama karena siapapun dari kita berpotensi menjadi korban kekerasan seksual salah satu cara untuk memproteksi diri adalah dengan bersuara, menyampaikan edukasi kepada masyarakat khususnya dalam dunia kampus yaitu mengintegrasikan mata kuliah tentang pemahaman kekerasan seksual.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun