Mohon tunggu...
Zainab canu
Zainab canu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Penyuka olahraga HIIT _ baca buku_fashion

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kita Semua Berpotensi Mengalami Kekerasan Seksual

25 Januari 2022   05:39 Diperbarui: 25 Januari 2022   05:42 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Salah satu racun maskulinitas juga anak laki-laki tidak boleh melakukan pekerjaan domestik " cuci piring, belanja ke pasar, beres-beres rumah dsb" sebab menjaga maskulinitas dan powernya. atau anak laki-laki tidak boleh bermain permainan anak perempuan seperti boneka, padahal perilaku bermain seperti ini bisa melatih dan mendidiknya menjadi ayah dan suami yang baik ketika dewasa kelak.

Ketika maskulinitas seorang laki-laki diragukan maka akan mendorong perilaku agresi sebagai akibat untuk menunjukan kekuasaan agar tetap dilihat sebagai pihak yang dominan, pada akhirnya kondisi ini mentriger berbagai bentuk kekerasan dalam relasi kuasa dimana situasi yang ideal terjadinya kekerasan seksual di ruang dimensi relasi kuasa yang timpang. Saat ada superioritas berarti ada inferior, ada pihak dominan berarti ada pihak submisif artinya ada pihak yang mengatur dan diatur misal dosen kepada mahasiswanya, guru kepada muridnya atau ustadz terhadap santrinya. Perempuan apalagi anak-anak menjadi korban yang sempurna kelemahannya di mata pelaku kekerasan seksual. 

Dari segi fisik mereka dianggap rapuh, secara psikis gampang dimanipulasi, diiming-imingi sementara secara sosial masyarakat menggampangkan bahkan menormalisasi penyintas kasus kekerasan seksual bahkan seringkali mengatakan "lupakan dan maafkanlah life must go on" padahal penderitaan yang mereka rasakan begitu multidimensional dan menyiksa. Komentar-komentar yang tidak disadari seperti ini membuat penderitaan korban menjadi 2 kali lipat, ibarat sudah kepedesan dengan cabe makin dicekokin cabe.

Berdasarkan riset terkadang motif sang pelaku bukanlah motif seksual meskipun perilakunya seksual tetapi motif superioritas kontrol, kekuasaan yang ingin ditunjukan kepada korban bahwa dia berkuasa, dominan, superior, beberapa riset mengungkap bahwa motif ini bisa jadi didasari pelaku pernah mengalami kejahatan seksual di masa lampau, ketika dia berada di usia yang tidak berdaya, rasa dendam, amarah, frustasi yang terepresi sekian lama mengendap di alam bawa sadar sampai suatu ketika terjadilah bom waktu yaitu pelampiasan dengan cara menyalurkan ke pihak lain. 

Dengan kata lain ketika pelaku melakukan kejahatan seksual ada 2 kemungkinan yang bisa diterjemahkan sebagai manifestasi kebingungan bahwa sebenarnya pelaku belum bisa menerima dan memahami apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya, lalu kemudian dia akan mengulangi tindak kejahatan seksualnya untuk menemukan jawaban atas kebingungannya. Perilaku kejahatan manusia adalah hasil dari proses belajar semakin fasis semakin asyik dan memunculkan perasaan senang sehingga dia akan mengulangi perbuatannya, kondisi ini dalam psikologi disebut satisfying state of affairs yakni perilaku itu akan terus berulang jika diikuti dengan perasaan yang lebih memuaskan, 

alih- alih meredahkan amarah, alih-alih memberikan jawaban atas kebingungannya justru amarahnya menjadi semakin buas sehingga perilaku kekejiannya menjadi impulsif (sulit ditekan) dan kompulsif (sulit untuk dihentikan). Terkadang modus yang digunakan pelaku begitu halus, bukan dengan cara memaksa tapi melalui pendekatan persuasif, pertemanan, persahabatan untuk mengidentifikasi titik kelemahan korban, dengan begitu korban mudah diperdaya, dimanipulasi dan dijebak. 

Dan kemungkinan kedua adalah bentuk kemarahan yang diekspresikan kepada orang yang tidak berdaya sebagai kompensasi ketidakberdayaannya di masa lampau. Dalam psikologi perilaku ini disebut displacement atau pengalihan sebagai bentuk mekanisme pertahanan diri dimana sang pelaku mencoba menyalurkan secara terbuka rasa ketidakberdayaannya sehingga mengarahkan emosi negatif dari sumber aslinya ke pihak lain, bertujuan untuk meningkatkan citra diri, memberikan kekuatan dan prestise.

Maraknya kekerasan seksual menjadi tanggung jawab kita bersama karena siapapun dari kita berpotensi menjadi korban kekerasan seksual salah satu cara untuk memproteksi diri adalah dengan bersuara, menyampaikan edukasi kepada masyarakat khususnya dalam dunia kampus yaitu mengintegrasikan mata kuliah tentang pemahaman kekerasan seksual.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun