Kita tidak pernah tau kapan dan dimana serta bagaimana pelaku kekerasan seksual ini akan menyerang korbannya tapi kita semua berpeluang menjadi korban kekerasan seksual, bahkan mungkin hampir setiap saat kita semua mendapatkan kekerasan seksual dengan cara yang berbeda baik itu laki-laki maupun perempuan meskipun secara persentasi perempuan jauh lebih banyak menjadi korban kekerasan seksual.Â
Studi dari WHO menyebutkan 1 dari 3 perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan seksual. Ada berbagai bentuk terkait kekerasan seksual seperti bersiul, cat calls, kedipan mata, memandang, pemaksaan dan pemerkosaan serta apapun perilaku yang membuat kita tidak nyaman sebagai atensi objektifikasi seksual.
 Kasus dan tindakan kekerasan seksual bukan hanya terjadi dalam dunia nyata tapi juga sudah bertransisi melalui platform digital. kasus kekerasan berbasis gender online  atau yang biasanya disingkat KBGO menduduki 5 peringkat teratas di tahun 2020 saat pandemic covid 19. berdasarkan laporan data komnas perempuan ada 940 aduan kekerasan seksual yang diwadahi oleh teknologi di sepanjang tahun 2021 mulai dari pelecehan dengan komentar bernuansa seksual, ancaman penyebaran dan pemerasan video intim hingga peretasan. Hal-hal seperti inilah yang menjadikan ruang aman dan nyaman bagi kita semua sudah semakin sempit untuk bebas beraktivitas.
Beberapa kampus bonafide di indonesia baik negeri maupun swasta terkena kasus kekerasan seksual. institusi pendidikan tertinggi yang menjadi rujukan keilmuwan notabenenya mampu mencetak dan menciptakan generasi yang adib dan arif justru menjadi tercemar karena ulah beberapa oknum dosen yang berperilaku immoral. Tahun 2020 Survey kemendikbud 77 persen dosen membeberkan pernah terjadi kekerasan seksual dan 63 persen tidak dilaporkan kepada pihak yang memiliki otoritas.Â
Kemudian kasus kejahatan seksual yang begitu menggemparkan dan memilukan dilakukan oleh seorang tokoh agama di salah satu pesantren yang terletak di kota bandung terhadap 13 orang santri sampai menyebabkan para korban hamil. Menyeruaknya kasus kejahatan seksual terhadap perempuan adalah asumsi fenomena gunung es bahwa yang terlaporkan dan terdata lebih sedikit ketimbang yang tidak terekspos dan tersentuh media massa.
Menyinggung dari sisi psikologi mereka yang menjadi korban kekerasan seksual mengalami perasaan traumatis yang begitu menyakitkan, putus asa, malu serta tidak berdaya. dan hanya sedikit dari mereka yang berani berbicara, sebagian besar dari korban kekerasan seksual dalam hal ini pemerkosaan, pencabulan, sodomi memilih untuk diam, bungkam.Â
Alasan kenapa para penyintas kejahatan seksual enggan untuk bersuara dan menyimpan sendiri ketidak berdayaannya sebab di masyarakat adanya victim blaming yaitu memberikan stigma negatif terhadap korban alih-alih memberikan dukungan empati dan simpati justru mala menyalahkan dan melabeli korban dengan berbagai tuduhan dan komentar bernada seksis  "kamu pakai baju apa saat itu" atau "mungkin kamu teralu centil dan menggoda" pertanyaan dan pernyataan menyudutkan kredibilitas korban seperti inilah secara signifikan menyebabkan kerusakan psikologis yang kronis dan bisa menunda pemulihan korban.
Kebanyakan orang tentu berpikir dan mempertanyakan kenapa korban tidak melawan, berlari atau berteriak minta tolong ? Padahal yang sebenarnya terjadi ketika insiden itu berlangsung adanya fenomena tonic immobilty suatu sensasi kelumpuhan sementara, tanpa sadar dan di luar kendali yang menyebabkan korban tidak bisa bergerak, bahkan dalam banyak kasus mereka tidak bisa berbicara.Â
Berdasarkan hasil studi para ahli,tonic immobility ini dialami 70 persen korban pemerkosaan dan orang yang mengalami fenomena tonic immobility 2 kali lebih beresiko mengidap gangguan mental Post Traumatic Stres Disorder/PTSD yaitu gangguan pasca trauma yang membuat pengidapnya memiliki perasaan terisolasi, kecemasan, ketakutan dan sulit percaya terhadap orang lain sehingga kualitas hidupnya terganggu. Dan 3 kali lebih beresiko mengalami gangguan depresi berat.
Masyarakat marginal yang minim pengetahuan justru menormalisasi dan menganggap remeh kekerasan seksual ketika itu terjadi di ruang publik seperti cat calling, mengedipkan mata/pelecehan verbal, gaslighting/pelecehan mental. Kejadian ini sangat sering terjadi disekeliling kita dan anehnya masyarakat memaklumi dan menganggap itu adalah bercandaan atau ekpresi pujian terhadap perempuan. Sikap yang mewajarkan seperti inilah membuat sang pelaku merasa aman dan tidak menutup kemungkinan akan nekat melakukan pelecehan yang lebih fatal.
Sementara dari konteks psikologis dan sosial pelaku kejahatan seksual yang mayoritas pelakunya adalah laki-laki dimana sang pelaku kejahatan seksual merasa memiliki kuasa atas tubuh perempuan, ini terkait polah asuh toxic maskulinity yaitu sebuah konstruksi sosial dan stereotip yang diciptakan untuk dijadikan standar bagaimana seharusnya laki-laki berperilaku agar mendapatkan stigma laki-laki "jantan" atau " pria sejati" misalnya laki-laki tidak boleh cengeng, nangis, untuk mengekspresikan kemarahan dan rasa sakitnya dampak yang ditimbulkan ketika seorang anak laki-laki yang terjebak dengan pola asuh seperti ini menimbulkan rasa tertekan dalam jiwanya, tekanan dalam melampiaskan emosi sejak kecil hingga dewasa membuatnya bingung bagaimana meregulasi emosi dengan baik, kecendrungan emosi-emosi tersebut justru bisa termanifestasikan dalam bentuk yang keliru seperti kekerasan seksual.Â