Mohon tunggu...
Muh. Hamzah Zaidin
Muh. Hamzah Zaidin Mohon Tunggu... -

SMA Celebes Global School\r\nSMA Muhammadiyah 1 Unismuh\r\nSMA Negeri 2 Makassar\r\nPemerhati Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

AKU TAK AKAN LARI

6 Maret 2015   18:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:04 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Betapapun juga aku tidak akan menyerah sekalipun tindakanku ini akan berakibat fatal bagiku. Entah bui atau bahkan maut atau apapun namanya aku harus terima. Perlawanan. Aku harus mengadakan perlawanan sekuatku. Aku enggan melakukan kompromi meski aku tahu bahwa kompromi mungkin menjanjikan kehidupan yang lebih layak. Sekali lagi aku tidak akan menyerah, tekadku sudah bulat. Aku membatin. Aku memang sering diajak untuk kompromi dengan imbalan yang memang menggiurkan, tetapi hingga kini aku masih tetap pada pendirianku, khittah jihadku, bahwa kompromi hanya bisa dilakukan untuk kemaslahatan orang banyak, bukan untuk kejahatan bahkan menyengsarakan sesama anak bangsa. Tidak, aku tidak akan menyerah, sekali lagi kunyatakan tekadku.

Gerimis di luar tempatku bersembunyi ini belum juga berhenti sementara malam mulai menyeruak menelan senja bulat-bulat. Gemuruh ombak dari pantai di belakang gubuk persembunyianku terdengar deras menggambarkan kekukuhannya, seperti memberiku kekuatan, seolah mendukung keputusan yang telah kuambil, seperti mendorongku untuk maju meneruskan niatku mengadakan perlawanan, apapun resikonya. Sebuah lolongan anjing menghentikan renunganku. Mungkin ada patroli yang melewati tapal batas yang selama ini kujaga dengan ketat. Benar dugaanku, sebuah tembakan menghentikan lolongan anjing tersebut.

Aku menyusup keluar gubuk dengan sangat hati-hati melewati dua anak sungai yang cukup dalam. Sejak ayahku dan seorang teman karibku tertangkap dan terbunuh beberapa hari yang lalu, sisa aku saja yang tertinggal yang mempertahankan gubuk ini. Ketika gubuk ini dikepung yang berakhir dengan penangkapan ayahku dan seorang teman karibku, aku bisa meloloskan diri. Aku memastikan ada mata-mata yang memberitahukan bahwa masih ada satu eksterimis yaitu aku yang belum tertangkap. Perkiraanku ternyata benar, dari semak-semak kusaksikan seorang patroli berpakaian lengkap memberi komando kepada tiga orang rekannya untuk mengadakan pengepungan. Syukur, fikirku. Ini adalah kesempatan bagiku melakukan perlawanan untuk membayar kematian ayah dan teman karibku dan tentu saja untuk mempertahankan kemerdekaan tanah airku. Aku akan menunjukkan kepada mereka bahwa aku sanggup melakukan perhitungan dengan mereka dengan caraku sendiri.

Badik pamor pusaka milik ayahku kucabut dari sarungnya kemudian dengan penuh keyakinan aku mengendap-ngendap mengikuti salah seorang dari mereka. Ya, Allah Tuhan Rab Yang Mahakuasa, beri aku kekuatan, beri aku petunjuk untuk membantai mereka berempat dalam waktu sekejap sebelum bala bantuan mereka berdatangan. Ketika salah seorang dari antara mereka yang aku tahu dia adalah komandan persis berada di hadapanku, aku melompat menikamkan badikku dari belakang, patroli tersebut jatuh terkapar dan dalam sekejap patroli ini dapat kubereskan. Senjatanya kulucuti dan kemudian dengan tiarap aku berhasil menguntit-untit tiga temannya yang lain. Mereka memasuki gubuk yang pintunya sengaja kubuka. Dari percakapan mereka aku tahu bahwa mereka memang mencari aku. Dan hujan tiba-tiba bertambah deras dan terkurunglah ketiganya di dalam gubuk yang telah kupersiapkan sebagai perangkap maut. Kilat tercelak berkali-kali disusul guruh menggelegar dan bersamaan dengan itu aku melepaskan tembakan dari pintu rahasia yang telah kupersiapkan sebelumnya. Ya, Tuhan! Engkau benar-benar mengabulkan permintaanku, mereka bertiga mampus sebelum sempat mencari temannya yang telah tewas di ujung badikku.

Aku bisa leluasa sesaat sampai patroli yang lainnya berdatangan. Ternyata tidak, sebelum sempat aku merapatkan pantat pada balai-balai yang ada di gubuk, sebuah deru mobil sedikit menciutkan nyaliku. Ini pasti anggota patroli lainnya yang mungkin memiliki firasat buruk tentang keempat rekannya. Ya, Allah apa yang harus kuperbuat. Aku tidak mungkin melawannya sendiri, aku harus mencari jalan bagaimana meloloskan diri. Tetapi sebelum aku tahu dari arah mana mobil itu datang, tiba-tiba deru itu menghilang. Tetapi aku tetap waspada, kalau-kalau ini adalah siasat mereka menjebakku. Aku mencoba mengendap-ngendap lewat pintu rahasia, tetapi celaka sebuah lampu senter hampir menamatkan riwayatku. Aku benar-benar terdesak.

Hujan di luar belum lagi reda dan tiba-tiba sebuah ide muncul di benakku. Dengan gerak cepat dan dengan pertolongan sebuah lampu minyak aku terpaksa membakar gubuk sambil mengatur siasat. Sekali lagi syukur. Siasat ini berhasil karena ketika aku tiarap menuju sungai di belakang gubuk aku tak menemukan kesulitan apa-apa.

Sekarang aku sedikit bisa mengatur nafas, namun bahaya maut masih tetap mengancam. Patroli itu terperangah melihat api dan ketika mereka menemukan mayat keempat temannya, mereka geram. "Ini pasti ulah eksterimis keparat itu, kamu orang harus mencarinya dan menyeretnya ke sini. Ekstrimis itu harus digantung!" teriak salah seorang dari mereka yang aku pastikan adalah komandan rombongan kedua ini. Secepat kilat aku menceburkan diri ke dalam sungai dan menyelam beberapa menit, lalu kemudian muncul di tengah rawa-rawa dengan hati-hati. Setelah kusaksikan jumlah mereka yang cukup besar, dan aku yakin tidak bisa kulawan sendiri maka kuputuskan untuk meninggalkan gubuk yang selama ini kuanggap kubu pertahanan ini untuk memberi informasi kepada kubu lainnya.

Dan ketika aku sudah hampir meloloskan diri sebuah suara menghentikan langkahku, 'Eksterimis berhenti. Angkat tangan. Kau memang licik, ha, haaaaa"  Aku mengangkat tangan, tetapi sebelum  perintahnya dilanjutkan aku berbalik dan meloncatinya secepat kilat dan terjadilah pergelutan maut. Aku berhasil mengunggulinya, senjata dan lampu senternya berhasil kurampas. Dan aku sudah siap menghunjamkan badikku langsung ke dadanya.

"Anjing Belanda, kini giliranmu menjemput maut." Gertakku.

"Aku bukan anjing Belanda, aku Husni sahabatmu, kau mungkin mengira aku sudah meninggal."

"Apa, Husni?"

Lampu senter segera kunyalakan dan Ya Tuhan, ia memang benar-benar Husni sahabat karibku yang kukira sudah tewas pada pertempuran sebelumnya bersama ayahku. Tetapi sebelum aku melampiaskan rasa rinduku, aku mesti meyakinkan diri dulu siapa tahu Husni sudah menjadi kaki-tangan Belanda.

"Husni, apa kau telah berhianat? Ayo jawab!"

"Aku tetap sahabatmu, aku tadi hanya mencobamu. Ternyata kau tetap segesit yang kukenal."

Husni merangkulku. Kami berdua mencari tempat yang lebih aman. Kami kemudian saling bercerita berbagi suka dan duka selama perjuangan ini, tetapi kami tetap waspada.

Patroli itu pasti tetap mencariku. Setelah sempat merebahkan diri beberapa saat di semak belukar yang kukira tak terpantau oleh patroli tiba-tiba sebuah tembakan mengenai kaki kiriku. Ya, Allah. Aku dan Husni kini benar-benar terkepung. Benar, kami telah terkepung. Kami kemudian dengan kasar diikat dan diseret dengan paksa. Ya, inilah resiko sebuah pendirian, resiko perjuangan! Dan ketika kokok ayam pertama, seorang patroli membangunkanku dan menyodorkan dua pilihan.

"Mati di tiang gantungan atau menyerah, memihak kepada Belanda?"

"Anjing-anjing Belanda, aku memilih yang pertama. Aku rela mati di tiang gantungan daripada harus memihak kepadamu, manusia biadab."

Mata kami kemudian ditutup, dan masih dengan tangan terikat kami lalu diseret ke tiang gantungan yang telah mereka sediakan. Saat ini tali gantungan ini telah diikatkan ke leherku, dan aku berteriak, "MERDEKA, LA ILAHA ILLALLAH'.

"Pak, bangun, Pak! Bapak bermimpi lagi ya?". Sahut Annisa isteriku membangunkanku, "Bapak pasti memimpikan ayah lagi."

"Ya, kau benar, aku memimpikan ayah lagi dan juga teman karibku. Terus terang aku kagum kepada mereka, aku kagum kepada pendiriannya, tindak kepahlawanannya yang tetap setia kepada republik hingga akhir. Aku kagum kepada ayah karena berani mengambil resiko atas keputusannya. Aku sering bertanya apakah aku bisa berdiri tegak setegar ayah."

"Aku juga mengagumi mereka, tetapi kalau boleh aku tahu mengapa akhir-akhir ini Bapak sering memimpikan ayah. Ada apa?"

"Annisai isteriku, aku kagum kepadamu karena tidak pernah menyusahkanku meskipun seperti yang kamu ketahui keadaan kita ya seperti ini tinggal berdua di rumah sangat sederhana ini. Aku kagum kepadamu, karena kau selalu mengerti keadaanku, Dengan pekerjaanku sebagai  guru, kau tahu seberapa besar penghasilanku untuk membiayai kehidupan ini. Memang aku juga memiliki penghasilan tambahan dengan mengajar di perguruan swasta akan tetapi itu hanya cukup membiayai keperluan sehari-hariku seperti membeli bahan bakar dan sesekali makan di warung kalau tidak sempat pulang ke rumah untuk makan siang. Aku kagum kepadamu karena kau tidak pernah mengeluh meskipun kehidupan kita sesulit ini."

"Ya, aku maklum. Aku hanya mencoba bertahan dan melakukan yang terbaik sebisaku. Tetapi sudahlah, hal itu tidak perlu dipikirkan. Sekarang jawab pertanyaanku, jika aku boleh diberitahu."

"Tentu saja boleh, saya juga ingin mengetahui pandanganmu tentang hal ini. Begini, coba kau camkan baik-baik! Beberapa hari terakhir ini aku sedikit bimbang, seseorang menawariku menjadi Kepala Sekolah. Katanya aku sudah memenuhi syarat menjadi Kepala Sekolah. Semua syarat yang diperlukan seperti masa kerja, golongan, prestasi akademik, kinerja, kepemimpinan sudah kumiliki."

"Dia benar, aku setuju. Telah banyak teman Bapak yang diangkat menjadi Kepala Sekolah dengan prestasi seadanya. Menurutku wajar kalau Bapak menerima tawaran ini. Mengapa Bapak malah bimbang. Sudahlah terima saja, kapan lagi."

"Masalahnya ialah ada persyaratan lain yang tidak bisa kupenuhi, mengurangi bicara, maksudnya aku harus lebih banyak diam, tidak perlu banyak protes meskipun aku dihadapkan pada hal-hal yang tidak sesuai dengan hati nuraniku."

"Mungkin Bapak diminta lebih banyak berbuat daripada berbicara, wajar, bukan? Apa susahnya mengurangi bicara. Sebab jika Bapak menolak tawaran ini, saya kuatir Bapak tidak pernah bisa menjadi Kepala Sekolah seumur hidup. ini adalah kesempatan yang baik!"

"Tunggu dulu, masih ada persyaratan lain,"

"Persyaratan apa lagi?"

"Aku harus membayar sejumlah uang alias menyogok."

"Apa? Menyogok?"

"Ya, seratus lima puluh uta rupiah."

"Seratus lima puluh juta rupiah? Ini benar-benar gila, mau dibawa ke mana pendidikan ini di republik ini. Tidak, tolak saja tawaran itu jika ini memang dipersyaratkan. Selain itu, bukankah menyogok itu merupakan tindakan tercela yang dalam ajaran agama hukumnya haram. Sudahlah katakan saja kepada temanmu itu bahwa tawaran itu bukan untuk Bapak."

Aku mengangguk tanda setuju dengan pendapatnya.

Jam sudah  menunjukkan pukul 03.30 dini hari. Kami memutuskan untuk melakukan shalat tahajjud, kemudian bertadarus menyongsong fajar subuh. Ya Allah, kepada-Mu kugantungkan segala harapan dan citaku. Perteguhkan kaki-kaki kami meniti jalan-Mu. Kuatkan kami melawan dan mengalahkan pasukan iblis yang datang dari segala penjuru angin dengan intrik-intrik, tipudaya dan godaannya. Aku bersyukur kepada-Mu karena hingga detik ini kami masih tetap teguh di atas khittah jihad di jalan-Mu.

Bontomanai, 14 Juni 2010

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun