"Annisai isteriku, aku kagum kepadamu karena tidak pernah menyusahkanku meskipun seperti yang kamu ketahui keadaan kita ya seperti ini tinggal berdua di rumah sangat sederhana ini. Aku kagum kepadamu, karena kau selalu mengerti keadaanku, Dengan pekerjaanku sebagai  guru, kau tahu seberapa besar penghasilanku untuk membiayai kehidupan ini. Memang aku juga memiliki penghasilan tambahan dengan mengajar di perguruan swasta akan tetapi itu hanya cukup membiayai keperluan sehari-hariku seperti membeli bahan bakar dan sesekali makan di warung kalau tidak sempat pulang ke rumah untuk makan siang. Aku kagum kepadamu karena kau tidak pernah mengeluh meskipun kehidupan kita sesulit ini."
"Ya, aku maklum. Aku hanya mencoba bertahan dan melakukan yang terbaik sebisaku. Tetapi sudahlah, hal itu tidak perlu dipikirkan. Sekarang jawab pertanyaanku, jika aku boleh diberitahu."
"Tentu saja boleh, saya juga ingin mengetahui pandanganmu tentang hal ini. Begini, coba kau camkan baik-baik! Beberapa hari terakhir ini aku sedikit bimbang, seseorang menawariku menjadi Kepala Sekolah. Katanya aku sudah memenuhi syarat menjadi Kepala Sekolah. Semua syarat yang diperlukan seperti masa kerja, golongan, prestasi akademik, kinerja, kepemimpinan sudah kumiliki."
"Dia benar, aku setuju. Telah banyak teman Bapak yang diangkat menjadi Kepala Sekolah dengan prestasi seadanya. Menurutku wajar kalau Bapak menerima tawaran ini. Mengapa Bapak malah bimbang. Sudahlah terima saja, kapan lagi."
"Masalahnya ialah ada persyaratan lain yang tidak bisa kupenuhi, mengurangi bicara, maksudnya aku harus lebih banyak diam, tidak perlu banyak protes meskipun aku dihadapkan pada hal-hal yang tidak sesuai dengan hati nuraniku."
"Mungkin Bapak diminta lebih banyak berbuat daripada berbicara, wajar, bukan? Apa susahnya mengurangi bicara. Sebab jika Bapak menolak tawaran ini, saya kuatir Bapak tidak pernah bisa menjadi Kepala Sekolah seumur hidup. ini adalah kesempatan yang baik!"
"Tunggu dulu, masih ada persyaratan lain,"
"Persyaratan apa lagi?"
"Aku harus membayar sejumlah uang alias menyogok."
"Apa? Menyogok?"
"Ya, seratus lima puluh uta rupiah."