1. Mulur:
Merupakan simbol keinginan manusia yang sering kali berlebihan, seperti mengejar jabatan, kekuasaan, atau materi. Ketika keinginan ini terus meningkat tanpa batas, ia dapat mendorong seseorang pada kerakusan dan melupakan moralitas. Dalam konteks korupsi, mulur adalah akar dari perbuatan tidak jujur.
2. Mungkrete:
Sebaliknya, ketika gagal memenuhi keinginan, seseorang dapat merasa kecewa, menyusut, atau merasa rendah diri. Kondisi ini menegaskan pentingnya memahami bahwa semua keadaan sifatnya sementara (sementara) dan tidak ada yang kekal.
3. Makna Filosofis:
Ki Ageng menegaskan bahwa manusia memiliki "rasa sama," yakni kesadaran bahwa kebahagiaan tidak ditemukan dalam hal-hal eksternal tetapi dalam keseimbangan internal. Prinsip Enam "SA" kembali menjadi dasar untuk mengelola mulur dan mungkrete.
Waspada terhadap Sifat Buruk: Cermin bagi Pencegahan Korupsi
Ki Ageng juga menyoroti empat sifat buruk manusia yang harus diwaspadai, yaitu:
1. Meri (iri hati): Menimbulkan kebencian terhadap keberhasilan orang lain dan memicu ketidakadilan.
2. Pambegan (sombong): Sifat ini mendorong seseorang untuk merendahkan orang lain, sering kali menjadi awal dari penyalahgunaan kekuasaan.
3. Getun (kecewa pada keadaan terjadi): Ketidakpuasan ini sering kali membuat seseorang tidak mensyukuri apa yang dimiliki dan melupakan nilai keadilan.
4. Sumelang (kekhawatiran pada sesuatu yang belum terjadi): Kekhawatiran berlebihan ini dapat memicu keputusan yang tidak bijak.
Dampaknya:Â Jika sifat-sifat buruk ini dibiarkan, maka akan menciptakan: