Belakangan ini siapa yang tak mengenal rentetan karya populer asal Korea Selatan? Sebut saja Parasite, film yang disutradarai Bong Joon Ho yang bahkan memenangkan Academy Award atau drama seriesnya seperti Start Up, The World of The Married, serta It’s Okay to Not Be Okay yang sungguh populer di Indonesia. Atau siapa yang tak mengenal boyband ternama dunia BTS yang berasal dari Korea Selatan? Hal ini biasa disebut dengan Korean Wave atau Hallyu. Korean Wave dapat diartikan sebagai sebuah istilah yang merujuk kepada sejumlah tren yang menyebar. Tren yang dimaksud di sini ialah budaya-budaya dari negara Korea Selatan. Korean Wave ini mencakup keseluruhan bagian dari budaya Korea yang menyebar secara global, termasuk negara kita, Indonesia.
Dari K-food atau korean food, yaitu makanan-makanan dari Korea seperti kimchi, Korean barbeque, sampai ramyeon. Lalu ada K-Fashion atau korean fashion, sebutan untuk style atau gaya berpakaian yang berkiblat pada gaya berbusana selebriti-selebriti Korea Selatan. Sampai K-pop atau korean pop, sebagai penggerak korean wave yang utama. K-pop merupakan musik-musik Korea. Dan berbagai aspek korean wave lainnya.
Tapi tahukah kamu? Bahwa Korean Wave atau Hallyu ini juga merupakan strategi pemerintah Korea Selatan dalam memasarkan negaranya dan pemerintah Korea Selatan secara serius mendukung Hallyu ini demi terciptanya citra Korea Selatan di mata dunia?
Dikutip dari entrepreneur.com, “According to the ministry, the biggest motivation of foreign tourists for visiting Seoul is “Hallyu”, and they are diligently getting geared up. The Korean government is in the process of creating “K-Culture Valley” (2024) in Goyang for reportedly 1.2Bn$, a Hallyu-inspired theme park housing film studios, restaurants, live music concerts, movie galleries to malls selling Korean celebrity merchandise. What Ireland and New Zealand tourism has been trying to do with the promotions of GoT and LOTR locations is what South Koreans have already mastered with their homegrown and wholesome “Hallyu Experience Program”.”
Yang dalam Bahasa Indonesia bermakna, “Menurut kementerian, motivasi terbesar turis asing untuk mengunjungi Seoul adalah “Hallyu”, dan mereka bersiap-siap. Pemerintah Korea sedang dalam proses menciptakan “K-Culture Valley” (2024) di Goyang seharga 1,2 Miliar Dollar Amerika yang dilaporkan, adalah sebuah taman hiburan yang terinspirasi oleh Hallyu yang berisikan studio film, restoran, konser musik live, galeri film hingga pusat perbelanjaan yang menjual merchandise selebriti Korea. Seperti yang telah coba dilakukan oleh pariwisata negara seperti Irlandia dan Selandia Baru dengan promosi lokasi Game of Thrones dan The Lord of The Rings adalah apa yang telah dikuasai oleh orang Korea Selatan dengan “Program Pengalaman Hallyu”.”
Hubungan Korean Wave dan Integrated Marketing Communication
Integrated Marketing Communications (IMC) muncul sebagai alat yang memandu praktisi pemasaran dalam mengembangkan dan melaksanakan komunikasi pemasaran yang lebih konsisten dan efektif. IMC mampu menciptakan image (citra) brand, serta mendorong penjualan, dan memperluas pasar yang menjadi sasaran perusahaan (Jatmiko, 2014: 3).
Yang paling terlihat dalam Korean Wave adalah bagaimana pemerintah Korea Selatan memasarkan pariwisatanya dengan IMC, sehingga citra negaranya terbentuk, dan membawa banyak wisatawan tiap tahunnya ke Negeri Ginseng tersebut. Pembentukkan citra Korea Selatan inilah yang menandakan adanya hubungan antara Korean Wave dan IMC.
Di sisi lain, Kotler (2008) menjelaskan bahwa aktivitas IMC merupakan perpaduan spesifik dari lima aktivitas komunikasi pemasaran yang paling sering digunakan perusahaan, yaitu advertising, personal selling, sales promotion, public relations, dan direct marketing. (Rismayanti, 2016: 255)
Yang paling terlihat dari Korean Wave dan dampaknya di Indonesia ialah dari advertising (iklan). Bahkan, tren Korean Wave banyak dimanfaatkan brand-brand yang memasarkan produk dan jasanya di Indonesia. Seperti penggunaan Celebrity Endorser pada iklan-iklan Indonesia yang kian menjamur.
Celebrity Endorsement atau yang dalam Bahasa Indonesia memiliki arti sebagai dukungan selebriti merupakan sebuah bentuk, jenis, atau strategi iklan yang digunakan oleh suatu merek, perusahaan, atau bahkan organisasi non-profit, yang di dalamnya terdapat keterlibatan selebriti, atau orang yang terkenal.
Sedangkan Celebrity endorser, merupakan selebriti atau orang yang terkenal, yang menjadi bintang dalam iklan tersebut. Celebrity endorser memiliki daya tarik yang dapat menarik calon konsumen dari sebuah merek, atau produk. Celebrity Endorser ini pun bisa juga mempertahankan konsumen agar menjadi konsumen yang loyal.
Menurut Terence A. Shrimp (2007:212) definisi Celebrity Endorser adalah:
“Celebrity Endoser adalah memanfaatkan seorang artis, entertainer, atlet, dan public figure yang mana banyak diketahui oleh orang banyak untuk keberhasilan di bidangnya masing-masing dari bidang yang didukung”.
Selebriti Korea Selatan sebagai Celebrity Endorser pada Iklan Indonesia
Akhir-akhir ini, kemunculan selebriti asal Korea Selatan di iklan-iklan Indonesia semakin terasa. Meski sudah dari beberapa tahun lalu selebriti-selebriti asal negeri Ginseng itu mewarnai dunia periklanan Indonesia, namun sepertinya kali ini berbeda. Iklan-iklan yang menampilkan selebriti-selebriti asal Korea Selatan tampak semakin sering berlalu-lalang di media konvensional seperti televisi.
Sebut saja iklan-iklan seperti saat Lee Min Ho menjadi bintang iklan Luwak White Koffie di tahun 2016 lalu, BLACKPINK yang membuat heboh fans K-Pop saat tampil jadi bintang iklan Shopee jelang akhir 2018 lalu, Gong Yoo juga membuat publik heboh saat kemunculannya jadi bintang iklan Asus Zenfone 4 bersama Tatjana Saphira pada Agustus 2017 lalu, kemunculan WINNER di iklan Oreo Indonesia, Choi Siwon Super Junior yang juga aktor belum lama ini menjadi brand ambassador produk dari Mie Sedaap varian Korean Spicy Chicken, dan salah satu anggota boyband Korea Selatan NCT, rapper Lucas Wong Yuk-hei menjadi bintang iklan produk Wings Indonesia yaitu NEO Coffee Moccachino belum lama ini. Serta tak tanggung-tanggung, mereka berhasil menggaet grup K-Pop paling populer saat ini yaitu BTS.
Biaya untuk menggaet selebriti-selebriti asal Korea Selatan itu pun pasti tidak murah. Contohnya saja Lee Min Ho yang menjadi bintang iklan Luwak White Koffie di tahun 2016 lalu. Salah satu media di Tiongkok menyebutkan bahwa bayaran untuk iklan Lee Min Ho nyatanya lebih tinggi jika dibandingkan dengan Andy Lau.
Sedangkan menurut informasi dari detik.com, bayaran Andy Lau sendiri untuk membintangi iklan produk yang sama dapat mencapai angka USD 1,6 juta atau sekitar Rp 22 miliar.
Selebriti-selebriti asal Korea Selatan tadi memiliki popularitas yang luar biasa di Indonesia. Tidak heran bila sejumlah produsen barang konsumsi menjadikan mereka sebagai bintang iklan. Budaya-budaya Korea Selatan pun sedang digemari di Indonesia. Mulai dari drama, musik, sampai makanan serta gaya berbusana selebriti-selebriti asal Korea Selatan. Fenomena tersebut biasa disebut dengan Korean Wave.
Dua Sisi Pendapat Terkait Maraknya Selebriti Korea Selatan Membintangi Iklan Indonesia
Banyaknya selebriti-selebriti asal Korea Selatan dalam tayangan iklan-iklan di Indonesia juga dapat kita definisikan sebagai kemajuan atau pun kemunduran dalam dunia periklanan di negeri ini. Maraknya Selebriti asal Korea Selatan yang membintang iklan di Indonesia dapat kita lihat dari sisi positif dan negatifnya.
Maraknya celebrity endorser asal Korea Selatan ini bisa kita definisikan sebagai kemajuan, hal ini dapat disimpulkan mengingat bahwa hal ini berarti para pelaku bisnis sudah menyadari betapa pentingnya iklan bagi produk atau perusahaan mereka. Iklan bukan lagi dianggap sebagai beban biaya, tetapi bergeser menjadi investasi masa depan bagi perusahaan tersebut. Sebab, seperti yang sudah kita bahas tadi, menjadikan selebriti-selebriti asal Korea Selatan sebagai bintang iklan memerlukan biaya yang tak sedikit tentunya.
Sisi kontra terhadap maraknya selebriti-selebriti asal Korea Selatan yang menjadi celebrity endorser pada iklan Indonesia dapat kita lihat di media sosial, salah satunya twitter.
Akan tetapi, di sisi lain, terdapat pendapat yang bertentangan. Salah satu akun twitter berpendapat, kemunculan selebriti-selebriti asal Korea Selatan di tayangan iklan-iklan Indonesia terkesan hanya ikut-ikutan tren masa kini. Dapat kita amati pula, konsep-konsep yang ada pada iklan-iklan yang dibintangi selebriti-selebriti asal Korea Selatan rasanya akan tetap laku kalau pun konsepnya hanya biasa-biasa saja. Hal ini dapat terjadi, mengingat penggemar selebriti-selebriti asal Korea Selatan cukup vokal dan aktif di Indonesia.
Mengapa Khalayak Indonesia Berbeda?
Korea Selatan memandang Indonesia sebagai pasar yang sangat potensial. Dengan jumlah populasi terbesar ke-4 di dunia setelah Tiongkok. India, dan Amerika Serikat, telah banyak upaya yang dilakukan perusahaan-perusahaan asal Korea Selatan demi menggaet hati khalayak di Indonesia.
Tetapi bagaimanapun, khalayak di Indonesia nyatanya sangat berbeda dengan khalayak-khalayak dari negara-negara yang pernah Korea Selatan jadikan tujuan pemasarannya seperti Jepang dan Amerika Serikat.
Sebagai contoh, dulu agensi hiburan SM Entertainment sangat fokus ke pasar Jepang. Hal ini mereka wujudkan dengan bagaimana TVXQ, boyband ternama mereka saat itu, dan BoA, solois wanita SM Entertainment yang didorong habis-habisan untuk masuk ke industri hiburan Jepang. Di generasi selanjutnya, SM Entertainment berpindah fokus ke pasar Tiongkok dengan mendebutkan Super Junior M dan EXO-M yang secara gambling mengincar pasar Tiongkok yang sangat luas tersebut. Atau JYP Entertainment, yang disaat agensi hiburan Korea Selatan lainnya mengincar pasar Jepang dan Tiongkok, berhasil memasuki pasar Amerika Serikat yang dahulu hanya angan-angan belaka bagi agensi hiburan asal Negeri Ginseng tersebut. Dengan girlband legendarisnya, Wonder Girls, dengan hit berjudul “Nobody”.
Tentu pasar-pasar tiap negara tadi memerlukan strategi marketing yang berbeda-beda pula. Dan Korea Selatan sekarang sudah mulai berganti fokus ke pasar Indonesia.
Pasar Indonesia sendiri sebelumnya dikuasai oleh Bollywood. Yang secara sederhana, alurnya berupa khalayak Indonesia menonton film Bollywood, lalu rating menjadi tinggi, selanjutnya stasiun TV Indonesia pun membeli lisensi film tersebut, lalu terciptalah banyak iklan, yang akhirnya akan menghasilkan diplomasi antar negara. Alur ini juga berlaku bagi tren lainnya seperti F4 yang pernah sangat booming di negeri kita.
Lalu muncul K-Pop yang mengajarkan bahwa cara mendukung idola adalah dengan cara membeli albumnya secara fisik dengan tujuan memenangkan penghargaan acara musik mingguan. Lalu setelah itu muncul online shop album Korea di Indonesia dengan pesan “Beli album di kami akan terhitung di chart!”
Menariknya, di Korea Selatan sendiri standar kesuksesan selebritinya ialah intensitas kemunculan mereka di TV, dan bukan soal penjualan album fisik. Seperti di Indonesia, selebriti di Korea Selatan kepopulerannya diukur dari seberapa sering ia masuk di TV atau infotaiment. Dengan begitu, mereka bisa mendapatkan undangan acara off-air.
Kembali kepada bahasan tentang khalayak di Indonesia. Kesuksesan Korean Wave di kancah Internasional juga mengangkat nama Korea Selatan di khalayak Indonesia. Argumen yang paling kuat untuk perusahaan asal Korea Selatan untuk berfokus pada khalayak Indonesia adalah jumlah populasi yang banyak, yang akan membuka peluang penjualan lebih besar.
Tapi, ada hal yang tak dapat kita lupakan begitu saja dari khalayak Indonesia. Yaitu, untuk populasi Indonesia memang menang, tapi untuk GDP per kapita, masih di bawah negara-negara seperti Korea Selatan dan Jepang. Untuk Korea Selatan dan Jepang, mereka memang kalah di populasi, tapi mereka memiliki daya beli yang tinggi. Hal ini akhirnya membawa dampak yang cukup berarti bagi perusahaan yang mencoba peruntungannya di Indonesia. Penikmat film dan musik Korea di Indonesia memang banyak, tapi bagaimana cara konsumsi khalayak Indonesia terhadap produknya? Lewat Youtube, atau bahkan streaming di situs bajakan? Hal ini lah yang membedakan pasar Indonesia.
Intinya Indonesia menang di jumlah, tetapi bukan di uang. Awal Korean Wave mencapai pantai Indonesia, secara agresif fans K-Pop meminta konser, fanmeeting, dan event-event K-Pop lainnya. Tapi nyatanya, sebelum tahun 2015, sangat sulit bagi penyelenggara sekadar hanya untuk menjual tiket konser. Jumlah fans memang banyak, tapi tak sejalan dengan daya belinya.
Hal ini dapat kita hubungkan dengan Model AIDA yang merupakan salah satu model di IMC.
Model AIDA
AIDA merupakan tahapan dari tujuan iklan. Tujuan iklan yang utama adalah keputusan pembelian atau action(tindakan). AIDA di kenal pada tahun 1898, yang dikemukakan oleh E. St. Elmo Lewis sebagai AID (attention, interest, desire). Dengan tujuan sebagai pedoman penjualan agar berhasil. Pada tahun 1900, E. St. Elmo Lewis mengembangkan AID menjadi AIDA dengan menambahkan action untuk pedoman penjualan yang awalnya menarget konsumen berprospek menjadi proses penjualan yang sempurna (Barry and Howard 1990 dalam Wijaya 2011). Kesimpulannya suatu iklan bisa dikatakan iklan yang efektif bila telah mencapai AIDA.
Model AIDA adalah proses dari pengambilan keputusan yang terdiri dari perhatian (attention), ketertarikan (interest), keinginan (deisre), dan yang terakhir adalah tindakan dari pengambilan keputusan tersebut (action). (Johar, dkk 2015: 2)
Khalayak di Indonesia kebanyakan baru sampai pada tahap attention dan belum mencapai tahap action. Berbeda dengan khalayak di Korea Selatan, Jepang, atau pun Amerika Serikat.
Perusahaan-perusahaan ternama seperti SM Entertainment pun masih mencari cara yang tepat untuk menggerakkan khalayak Indonesia agar dapat sampai ke tahapan action. Hal ini dipicu karena di masa lalu, saat promotor mencoba “tes ombak” di media sosial tentang konser, fanmeeting, dan event-event lainnya, mendapat respons yang ramai. Tapi kenyataannya, penjualan tiket cenderung sulit. Sudah didukung dengan penjualan merchandise, iklan, marketing konten, tetapi keuntungan masih rendah.
Mengapa hal ini terjadi? Jawabannya pasar Indonesia belum sepenuhnya siap dan matang. Khalayak Indonesia sangat cepat menyerap budaya fandom, cepat menaikkan trending topic, tapi dalam aspek spending masih terkesan loyo.
Semoga di masa depan, Indonesia sebagai pasar dapat berkembang dalam sisi GDP per kapita serta pendapatan. Dan bukan hanya menjadi pasar bagi negara-negara pemimpin industri, tetapi juga bisa menerapkan IMC untuk pariwisata Indonesia sendiri. Bagaimanapun, perkembangan dunia marketing tak dapat dibendung, tetapi kita dapat mempelajari berbagai strateginya. Hal ini dikarenakan, marketing di setiap tempat dapat berbeda tergantung faktor-faktor yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
https://insights.digitalmediasolutions.com/articles/history-celebrity-endorsements (diakses pada 1 April 2021)
https://www.entrepreneur.com/article/364943 (diakses pada 1 April 2021)
https://www.idntimes.com/hype/entertainment/amalia-larasanty/dari-bts-hingga-lee-min-ho-9-artis-korea-ini-bintangi-iklan-indonesia-hp-c1c2 (diakses pada 1 April 2021)
Jatmiko, J. 2012. KOMUNIKASI PEMASARAN SEBAGAI STRATEGI MEMPERLUAS PASAR. KOMUNIKOLOGI: Jurnal Ilmiah Ilmu Komunikasi, 9(2).
Johar, D. S. 2015. Pengaruh AIDA (attention, interest, desire, action) terhadap efektifitas iklan online (survei pada pembeli di toko online adorable project). Jurnal Administrasi Bisnis, 26(1).
Prastyanti, Gita. 2017. Pengaruh Penggunaan Celebgram (Celebrity Endorser Instagram) Terhadap Niat Beli Konsumen Secara Online Pada Media Sosial Instagram. Studi pada Mahasiswi Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Lampung.
Rismayanti, R. 2016. Integrated Marketing Communications (IMC) di PT Halo Rumah Bernyanyi.
Shintyana, Laura. 2016. Representasi Budaya Korea Dalam Iklan Televisi. Analisis Semiotika Terhadap Iklan Luwak White Koffie Edisi Lee Min Ho
Susanthi, Nyoman Lia. .2011. 'Gurita' Budaya Populer Korea di Indonesia. 1 - 8.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H