Kembali kepada bahasan tentang khalayak di Indonesia. Kesuksesan Korean Wave di kancah Internasional juga mengangkat nama Korea Selatan di khalayak Indonesia. Argumen yang paling kuat untuk perusahaan asal Korea Selatan untuk berfokus pada khalayak Indonesia adalah jumlah populasi yang banyak, yang akan membuka peluang penjualan lebih besar.
Tapi, ada hal yang tak dapat kita lupakan begitu saja dari khalayak Indonesia. Yaitu, untuk populasi Indonesia memang menang, tapi untuk GDP per kapita, masih di bawah negara-negara seperti Korea Selatan dan Jepang. Untuk Korea Selatan dan Jepang, mereka memang kalah di populasi, tapi mereka memiliki daya beli yang tinggi. Hal ini akhirnya membawa dampak yang cukup berarti bagi perusahaan yang mencoba peruntungannya di Indonesia. Penikmat film dan musik Korea di Indonesia memang banyak, tapi bagaimana cara konsumsi khalayak Indonesia terhadap produknya? Lewat Youtube, atau bahkan streaming di situs bajakan? Hal ini lah yang membedakan pasar Indonesia.
Intinya Indonesia menang di jumlah, tetapi bukan di uang. Awal Korean Wave mencapai pantai Indonesia, secara agresif fans K-Pop meminta konser, fanmeeting, dan event-event K-Pop lainnya. Tapi nyatanya, sebelum tahun 2015, sangat sulit bagi penyelenggara sekadar hanya untuk menjual tiket konser. Jumlah fans memang banyak, tapi tak sejalan dengan daya belinya.
Hal ini dapat kita hubungkan dengan Model AIDA yang merupakan salah satu model di IMC.
Model AIDA
AIDA merupakan tahapan dari tujuan iklan. Tujuan iklan yang utama adalah keputusan pembelian atau action(tindakan). AIDA di kenal pada tahun 1898, yang dikemukakan oleh E. St. Elmo Lewis sebagai AID (attention, interest, desire). Dengan tujuan sebagai pedoman penjualan agar berhasil. Pada tahun 1900, E. St. Elmo Lewis mengembangkan AID menjadi AIDA dengan menambahkan action untuk pedoman penjualan yang awalnya menarget konsumen berprospek menjadi proses penjualan yang sempurna (Barry and Howard 1990 dalam Wijaya 2011). Kesimpulannya suatu iklan bisa dikatakan iklan yang efektif bila telah mencapai AIDA.
Model AIDA adalah proses dari pengambilan keputusan yang terdiri dari perhatian (attention), ketertarikan (interest), keinginan (deisre), dan yang terakhir adalah tindakan dari pengambilan keputusan tersebut (action). (Johar, dkk 2015: 2)
Khalayak di Indonesia kebanyakan baru sampai pada tahap attention dan belum mencapai tahap action. Berbeda dengan khalayak di Korea Selatan, Jepang, atau pun Amerika Serikat.
Perusahaan-perusahaan ternama seperti SM Entertainment pun masih mencari cara yang tepat untuk menggerakkan khalayak Indonesia agar dapat sampai ke tahapan action. Hal ini dipicu karena di masa lalu, saat promotor mencoba “tes ombak” di media sosial tentang konser, fanmeeting, dan event-event lainnya, mendapat respons yang ramai. Tapi kenyataannya, penjualan tiket cenderung sulit. Sudah didukung dengan penjualan merchandise, iklan, marketing konten, tetapi keuntungan masih rendah.
Mengapa hal ini terjadi? Jawabannya pasar Indonesia belum sepenuhnya siap dan matang. Khalayak Indonesia sangat cepat menyerap budaya fandom, cepat menaikkan trending topic, tapi dalam aspek spending masih terkesan loyo.
Semoga di masa depan, Indonesia sebagai pasar dapat berkembang dalam sisi GDP per kapita serta pendapatan. Dan bukan hanya menjadi pasar bagi negara-negara pemimpin industri, tetapi juga bisa menerapkan IMC untuk pariwisata Indonesia sendiri. Bagaimanapun, perkembangan dunia marketing tak dapat dibendung, tetapi kita dapat mempelajari berbagai strateginya. Hal ini dikarenakan, marketing di setiap tempat dapat berbeda tergantung faktor-faktor yang ada.