Perihal tanggapan Jepang terhadap ancaman cyber China tersebut,sikap Jepang terhadap China di dunia maya adalah perpanjangan dari kegiatan keamanan dunia maya yang ada di negara itu, yang telah berkembang selama dua dekade terakhir. Pada masa ini yang bertanggung jawab dan berwewenang perihal keamanan siber Jepang pada tingkat nasional dialokasikan dan dilakukan pembagian di beberapa kementerian yang berbeda dan beberapa divisi pada pemerintahan seperti Kementerian Pertahanan, Kementerian Luar Negeri, dan Badan Kepolisian Nasional. Pusat Kesiapan Insiden dan Strategi Nasional untuk Keamanan Siber (NISC) memiliki tindakan selaku badan yang melakukan pengkoordinasian terhadap keamanan siber di seluruh pemerintahan, meliputi tim tanggap darurat komputer nasional (CERT) serta menciptakan berbagai strategi, standar, dan rencana keamanan siber.
Untuk meminimalisasi ancaman siber China pada bidang militer, Kementerian Pertahanan Jepang telah melakukan penekanan terhadap peningkatan dan koalisasi kemampuan keamanan siber Pasukan Bela Diri Jepang melalui Komando Pertahanan Siber baru dengan memberikan investasi senilai 35,7 miliar yen yang setara dengan $341 juta untuk pelatihan dan teknologi keamanan siber yang lebih baik. Pada tahun 2021, kemampuan keamanan siber tersebut mengalami peningkatan yang signifikan sebesar 39,4 persen dari tahun 2020. Namun, Pasal 9 dan 21 dari konstitusi pasifis Jepang pascaperang mencegah SDF untuk terlibat dalam perang pre-emptive dan pengawasan domestik masing-masing. Ini membatasi pengembangan dan penerapan strategi keamanan siber holistik Kementerian Pertahanan terhadap China yang akan mencakup kapasitas intelijen siber dan domestik ofensif.
Di samping Kementerian Pertahanan, Badan Kepolisian Nasional Jepang juga telah mengumumkan rencana untuk membentuk biro dan tim baru yang berfokus pada penanganan ancaman siber yang serius, secara eksplisit mengutip yang ditimbulkan oleh China dan negara-bangsa lainnya. Berdasarkan dari kasus dunia maya global yang telah ditemukan oleh Badan Kepolisian Nasional, pada peristiwa kasus tersebut seorang insinyur yang berasal dari Tiongkok dan merupakan anggota Partai Komunis Tiongkok yang tinggal di Jepang mengatur operasi dunia maya skala besar atas nama militer Tiongkok, menjadikan lebih dari 200 organisasi Jepang sebagai target terkait dengan bidang antariksa dan pertahanan, termasuk Badan Antariksa Jepang (Japan Aerospace Exploration Agency).
Pada kawasan internasional, Kementerian Luar Negeri Jepang telah memberikan dukungan yang sangat aktif dari diplomasi siber dengan melakukan penetapan peran Duta Besar yang memiliki tanggung jawab atas kebijakan siber pada tahun 2012 serta membentuk Divisi Kebijakan Keamanan Siber yang sudah berkontribusi pada tahun 2016. Jepang juga telah menjadi peserta aktif dari Kelompok Pakar Pemerintah PBB (GGE) tentang Keamanan Siber sejak 2019. Salah satu upaya yang dilakukan diplomasi siber tersebut menjadikan Jepang memiliki kemungkinan dengan secara tidak langsung untuk terlibat dan melakukan penentangan terhadap China di forum keamanan siber global dibandingkan melalui konfrontasi secara langsung di dunia maya.
Pada tingkat regional, Jepang telah menjalin hubungan yang lebih erat dengan Australia, India, dan Amerika Serikat, yang secara umum dikenal dengan kata Quad yang berperan sebagai bagian dari komitmen negara Jepang terhadap Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka yang memiliki cakupan pada dunia maya. Dengan demikian, pada September 2021 Jepang telah melaksanakan pertukaran keamanan siber dengan masing-masing negara Quad dan kelompok tersebut telah melakukan kesepakatan untuk melakukan kerja sama lebih lanjut terkait keamanan siber (Bryan, 2021).
Implikasi terhadap hubungan Jepang dengan China pada tingkat politik, ketegangan yang lebih besar antara Jepang dan China di dunia maya sepertinya tidak akan memperburuk hubungan bilateral saat ini secara signifikan. Begitu juga dengan sebaliknya, konflik yang terjadi pada ruang siber memiliki kemungkinan akan menjadi produk cadangan dari ketiga masalah geopolitik utama yang terjadi antar kedua negara jika masalah tersebut mengalami peningkatan. Masalah yang pertama adalah China terus melakukan penentangan terhadap tuntutan kedaulatan Jepang pada wilayah tertentu di Laut China Timur, melalui serangan secara berulang ke kawasan maritim Jepang. Kedua, sikap China yang semakin agresif terhadap Taiwan sudah menjadi pendorong Jepang untuk mengemukakan komitmen negaranya terhadap keamanan pulau Okinawa tersebut. Ketiga, apabila terjadi perang antara China dengan Amerika Serikat, yang akan menjadi target utama militer China adalah negara Jepang. Hal tersebut terjadi karena Jepang akan menjadi titik konsentrasi terbesar pasukan militer Amerika Serikat di Asia-Pasifik, termasuk pangkalan pulau Okinawa yang tidak jauh dari Taiwan.
Di bidang ekonomi, kondisi keamanan siber yang dimiliki Jepang dapat merusak hubungan perdagangan yang berjalan dengan baik dengan China. Kebijakan yang tersedia untuk menanggulangi rasa khawatiran terhadap keamanan cadangan baik perangkat lunak maupun perangkat keras, investasi asing, serta pemindahan teknologi sudah menjadi paksaan terhadap perusahaan Jepang untuk memodifikasi industri manufaktur, distributor, dan kegiatan investasi Jepang dari China. Hal tersebut menjadi penyebab China membalas dengan melakukan peningkatan terhadap pengawasan pada investasi dan operasi asing.
Terlepas dari upaya pemisahan yang dilakukan oleh Jepang, China masih merupakan pasar utama untuk ekspor Jepang, yang lebih sulit untuk menggantikan perusahaan Jepang daripada pemasok. Begitu juga dengan China yang sudah jelas memberi pernyataan terhadap niat negara tersebut untuk melakukan pengembangan ekonomi domestik yang mandiri sekaligus mendorong ketergantungan asing yang lebih besar pada China dalam rantai cadangan negara China di bawah strategi Made in China 2025. Apabila dilihat secara keseluruhan dari hubungan perdagangan yang memburuk antara Jepang dan China, tentu Jepang kehilangan lebih banyak kerugian secara ekonomi dibandingkan dengan China sebagai akibat dari respons keamanan siber yang lebih eksplisit, yang melibatkan kebijakan untuk melakukan pembatasan terhadap pertukaran komersial (Matsubara, 2021).
Namun demikian, keamanan siber dapat memberi Jepang peluang untuk meningkatkan dan menyeimbangkan kembali hubungan Jepang dengan China dan meredakan ketegangan geopolitik. Sebagai contoh, Jepang mungkin memiliki keinginian untuk lebih terlibat dengan China sebagai salah satu upaya diplomasi keamanan siber global Jepang untuk memeriksa ambisi China tidak secara langsung menghadapinya di dunia maya.
Apabila dilihat berdasarkan realita yang terjadi dalam jangka menengah bahkan hingga jangka panjang, cara satu-satunya yang berhasil dilakukan Jepang untuk benar-benar menyesuaikan kembali hubungannya dengan China melalui keamanan siber adalah dengan meningkatkan kemampuan pertahanan siber domestiknya dengan berinvestasi dalam pengembangan dan penerapan teknologi penting seperti kecerdasan buatan, kriptografi kuantum, dan enkripsi pasca-kuantum. Jika tidak adanya teknologi ini, hal tersebut akan menjadikan China memiliki keuntungan dan Jepang akan dengan terpaksa harus merevisi konstitusi negaranya untuk memberikan izin operasi siber kontra ofensif (memperbolehkan untuk melakukan aktivitas pre-emptive di dunia maya China), terus bergantung pada payung keamanan AS dan teknologi asing untuk melakukan pelindungan terhadap infrastruktur siber nasional negara Jepang atau dapat melakukan kesepakatan terhadap keunggulan teknis dan geopolitik China.
Referensi: