Saat dunia mengalami revolusi industri keempat, pemerintah dan publik asing menjadi saling terkait dan saling bergantung tidak seperti sebelumnya. Apa artinya ini bagi diplomasi dan hubungan internasional ke depan? Peran apa yang dapat dimainkan oleh diplomasi publik dalam dinamika yang berkembang ini?
Revolusi digital akan memberikan banyak manfaat dalam cara kita bekerja, berkomunikasi dengan teman dan keluarga, berbelanja, dan berwisata. Tapi itu juga menghadirkan risiko dan ancaman terhadap tugas mendasar pemerintah: untuk menjaga kita tetap aman dan terlindungi. Kita harus bisa memahami dan tetap berada di depan kemajuan teknologi musuh kita, baik itu negara lain, teroris, atau penjahat biasa. Ini bukan area di mana kita bisa mengejar ketinggalan.
Diplomasi siber secara luas didefinisikan sebagai penggunaan alat dan inisiatif diplomatik untuk mencapai kepentingan nasional suatu negara di dunia siber yang umumnya terkristalisasi dalam strategi keamanan siber nasional. Diplomasi siber melibatkan berbagai kegiatan diplomatik seperti menjalin komunikasi dan berdialog ataupun negosiasi antara aktor negara dan non-negara, mencegah perlombaan senjata siber, mengembangkan norma global dan mempromosikan kepentingan nasional di ruang siber melalui kebijakan keamanan siber dan menggunakan strategi keterlibatan. Hal tersebut juga memiliki fokus pada peran diplomat yang mengalami perkembangan serta penyusunan kembali berbagai pembagian divisi dan peran kementerian luar negeri untuk memenuhi peningkatan keunggulan keamanan siber dalam memenuhi kebijakan luar negeri atau peran teknologi baru dalam proses dan struktur diplomasi (Manantan, 2021).
Hubungan antara Jepang dengan China didasari oleh keseimbangan kepentingan ekonomi dan keamanan nasional. Berdasarkan data dari Organisasi Perdagangan Eksternal Jepang, China merupakan kolaborator dagang terbesar Jepang, yang pada tahun 2020 melakukan kegiatan ekspor berupa barang senilai lebih dari $141 miliar dan apabila dibandingkan dengan Amerika Serikat dengan nilai $118 miliar. Akan tetapi, seperti yang telah diamati oleh Kementerian Pertahanan Jepang, China juga menjadi salah satu hambatan yang paling signifikan terhadap geopolitik negara Jepang. Hal tersebut menjadi salah satu kekhawatiran yang dimiliki oleh negara Jepang terhadap kedaulatan negaranya (Glucksmann, 2021).
Bagaimana Jepang menanggapi ancaman siber dari China melalui postur keamanan siber nasionalnya saat ini berimplikasi pada hubungan yang kompleks antara kedua negara tersebut.
Pada tahun 2004, Dewan Kebijakan Keamanan Informasi (ISPC) didirikan (kemudian menjadi Markas Besar Strategis Keamanan Siber), dan Pusat Keamanan Informasi Nasional (NISC, saat ini Pusat Kesiapan dan Strategi Nasional untuk Keamanan Siber) merumuskan strategi keamanan siber dasar pertama. Pada tahun 2013, pemerintah menetapkan strategi keamanan siber di seluruh pemerintah, mendefinisikan prinsip-prinsip dasar kebijakan keamanan siber Jepang: memastikan arus informasi yang bebas, menanggapi risiko yang semakin serius, meningkatkan pendekatan berbasis risiko, dan bertindak dalam sektor publik-swasta. Strategi internasional disusun di sepanjang area prioritas kolaborasi yang ditentukan seperti respons insiden, berbagi informasi, kejahatan dunia maya, dan keamanan internasional.
Mengenai negara berkembang, terdiri dari peningkatan kapasitas bilateral untuk respon insiden, dukungan multilateral terhadap kejahatan dunia maya, dan pengembangan pemahaman bersama tentang pembuatan aturan dan langkah-langkah membangun kepercayaan. Berbagai langkah dalam domain siber ini dilakukan untuk berkontribusi dalam menurunkan risiko siber global, mengamankan operasi warga negara Jepang dan perusahaan di negara penerima, menunjukkan posisi Jepang di ruang siber, dan memperluas bisnis pengembangan infrastruktur komunikasi Jepang.
Apabila membahas mengenai ancaman cyber negara China terhadap Jepang, banyak operasi siber yang menargetkan organisasi Jepang telah dikaitkan dengan kelompok ancaman persisten tingkat lanjut (APT) yang diduga memiliki hubungan dengan militer dan aparat intelijen China. Salah satu contoh dari operasi siber tersebut adalah gerakan serangan siber global lama yang menjadikan organisasi Jepang menjadi target yang dilakukan oleh kelompok advanced persistent threat dan ditandai dengan kode Cicada, lalu ditemukan oleh perusahaan keamanan siber Symantec pada tahun 2020.
Sebagian besar praktik pada dunia siber yang diketahui memiliki dampak pada Jepang dan dikaitkan dengan China telah berfokus terutama pada spionase dan kejahatan dunia maya, seperti pelanggaran data sensitif dan pencurian kekayaan intelektual. Serangan perusak yang lebih parah yaitu serangan yang menjadikan infrastruktur penting sebagai target, misalnya perkiraan penutupan jaringan listrik yang dilakukan Rusia kepada Ukraina pada Desember 2016, belum terjadi dan belum berhasil.
Perusahaan Jepang juga memiliki kerentanan terhadap ancaman siber dari komponen atau kode teknologi yang dimasuki dari China yang tertanam dalam rantai cadangan baik perangkat keras maupun lunak mereka, terutama di industri strategis seperti semikonduktor dan drone. Pada tahun 2021, kebijakan salah satu aplikasi pesan popular Jepang yaitu Line mengungkapkan bahwa subkontraktor di China memiliki akses ke dalam server yang berada di Jepang. Pada dasarnya server tersebut berisi data pribadi dari 86 juta pengguna aplikasi Line dan mereka mengalihkan daya dari fungsi pemantauan melalui server tersebut ke perusahaan lain yang berada di China. Ancaman yang diakibatkan dari akses server tersebut terhadap orang yang dari warga negara China yang memiliki pekerjaan atau yang sedang belajar di institusi Jepang yang berada Jepang juga telah menimbulkan kekhawatiran di antara para pembuat kebijakan Jepang, terutama mengingat risiko keamanan nasional dan keamanan siber jika siswa dan karyawan ini memiliki akses istimewa ke informasi sensitif dan sistem kritis (Khabbaz, 2021).
Perihal tanggapan Jepang terhadap ancaman cyber China tersebut,sikap Jepang terhadap China di dunia maya adalah perpanjangan dari kegiatan keamanan dunia maya yang ada di negara itu, yang telah berkembang selama dua dekade terakhir. Pada masa ini yang bertanggung jawab dan berwewenang perihal keamanan siber Jepang pada tingkat nasional dialokasikan dan dilakukan pembagian di beberapa kementerian yang berbeda dan beberapa divisi pada pemerintahan seperti Kementerian Pertahanan, Kementerian Luar Negeri, dan Badan Kepolisian Nasional. Pusat Kesiapan Insiden dan Strategi Nasional untuk Keamanan Siber (NISC) memiliki tindakan selaku badan yang melakukan pengkoordinasian terhadap keamanan siber di seluruh pemerintahan, meliputi tim tanggap darurat komputer nasional (CERT) serta menciptakan berbagai strategi, standar, dan rencana keamanan siber.
Untuk meminimalisasi ancaman siber China pada bidang militer, Kementerian Pertahanan Jepang telah melakukan penekanan terhadap peningkatan dan koalisasi kemampuan keamanan siber Pasukan Bela Diri Jepang melalui Komando Pertahanan Siber baru dengan memberikan investasi senilai 35,7 miliar yen yang setara dengan $341 juta untuk pelatihan dan teknologi keamanan siber yang lebih baik. Pada tahun 2021, kemampuan keamanan siber tersebut mengalami peningkatan yang signifikan sebesar 39,4 persen dari tahun 2020. Namun, Pasal 9 dan 21 dari konstitusi pasifis Jepang pascaperang mencegah SDF untuk terlibat dalam perang pre-emptive dan pengawasan domestik masing-masing. Ini membatasi pengembangan dan penerapan strategi keamanan siber holistik Kementerian Pertahanan terhadap China yang akan mencakup kapasitas intelijen siber dan domestik ofensif.
Di samping Kementerian Pertahanan, Badan Kepolisian Nasional Jepang juga telah mengumumkan rencana untuk membentuk biro dan tim baru yang berfokus pada penanganan ancaman siber yang serius, secara eksplisit mengutip yang ditimbulkan oleh China dan negara-bangsa lainnya. Berdasarkan dari kasus dunia maya global yang telah ditemukan oleh Badan Kepolisian Nasional, pada peristiwa kasus tersebut seorang insinyur yang berasal dari Tiongkok dan merupakan anggota Partai Komunis Tiongkok yang tinggal di Jepang mengatur operasi dunia maya skala besar atas nama militer Tiongkok, menjadikan lebih dari 200 organisasi Jepang sebagai target terkait dengan bidang antariksa dan pertahanan, termasuk Badan Antariksa Jepang (Japan Aerospace Exploration Agency).
Pada kawasan internasional, Kementerian Luar Negeri Jepang telah memberikan dukungan yang sangat aktif dari diplomasi siber dengan melakukan penetapan peran Duta Besar yang memiliki tanggung jawab atas kebijakan siber pada tahun 2012 serta membentuk Divisi Kebijakan Keamanan Siber yang sudah berkontribusi pada tahun 2016. Jepang juga telah menjadi peserta aktif dari Kelompok Pakar Pemerintah PBB (GGE) tentang Keamanan Siber sejak 2019. Salah satu upaya yang dilakukan diplomasi siber tersebut menjadikan Jepang memiliki kemungkinan dengan secara tidak langsung untuk terlibat dan melakukan penentangan terhadap China di forum keamanan siber global dibandingkan melalui konfrontasi secara langsung di dunia maya.
Pada tingkat regional, Jepang telah menjalin hubungan yang lebih erat dengan Australia, India, dan Amerika Serikat, yang secara umum dikenal dengan kata Quad yang berperan sebagai bagian dari komitmen negara Jepang terhadap Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka yang memiliki cakupan pada dunia maya. Dengan demikian, pada September 2021 Jepang telah melaksanakan pertukaran keamanan siber dengan masing-masing negara Quad dan kelompok tersebut telah melakukan kesepakatan untuk melakukan kerja sama lebih lanjut terkait keamanan siber (Bryan, 2021).
Implikasi terhadap hubungan Jepang dengan China pada tingkat politik, ketegangan yang lebih besar antara Jepang dan China di dunia maya sepertinya tidak akan memperburuk hubungan bilateral saat ini secara signifikan. Begitu juga dengan sebaliknya, konflik yang terjadi pada ruang siber memiliki kemungkinan akan menjadi produk cadangan dari ketiga masalah geopolitik utama yang terjadi antar kedua negara jika masalah tersebut mengalami peningkatan. Masalah yang pertama adalah China terus melakukan penentangan terhadap tuntutan kedaulatan Jepang pada wilayah tertentu di Laut China Timur, melalui serangan secara berulang ke kawasan maritim Jepang. Kedua, sikap China yang semakin agresif terhadap Taiwan sudah menjadi pendorong Jepang untuk mengemukakan komitmen negaranya terhadap keamanan pulau Okinawa tersebut. Ketiga, apabila terjadi perang antara China dengan Amerika Serikat, yang akan menjadi target utama militer China adalah negara Jepang. Hal tersebut terjadi karena Jepang akan menjadi titik konsentrasi terbesar pasukan militer Amerika Serikat di Asia-Pasifik, termasuk pangkalan pulau Okinawa yang tidak jauh dari Taiwan.
Di bidang ekonomi, kondisi keamanan siber yang dimiliki Jepang dapat merusak hubungan perdagangan yang berjalan dengan baik dengan China. Kebijakan yang tersedia untuk menanggulangi rasa khawatiran terhadap keamanan cadangan baik perangkat lunak maupun perangkat keras, investasi asing, serta pemindahan teknologi sudah menjadi paksaan terhadap perusahaan Jepang untuk memodifikasi industri manufaktur, distributor, dan kegiatan investasi Jepang dari China. Hal tersebut menjadi penyebab China membalas dengan melakukan peningkatan terhadap pengawasan pada investasi dan operasi asing.
Terlepas dari upaya pemisahan yang dilakukan oleh Jepang, China masih merupakan pasar utama untuk ekspor Jepang, yang lebih sulit untuk menggantikan perusahaan Jepang daripada pemasok. Begitu juga dengan China yang sudah jelas memberi pernyataan terhadap niat negara tersebut untuk melakukan pengembangan ekonomi domestik yang mandiri sekaligus mendorong ketergantungan asing yang lebih besar pada China dalam rantai cadangan negara China di bawah strategi Made in China 2025. Apabila dilihat secara keseluruhan dari hubungan perdagangan yang memburuk antara Jepang dan China, tentu Jepang kehilangan lebih banyak kerugian secara ekonomi dibandingkan dengan China sebagai akibat dari respons keamanan siber yang lebih eksplisit, yang melibatkan kebijakan untuk melakukan pembatasan terhadap pertukaran komersial (Matsubara, 2021).
Namun demikian, keamanan siber dapat memberi Jepang peluang untuk meningkatkan dan menyeimbangkan kembali hubungan Jepang dengan China dan meredakan ketegangan geopolitik. Sebagai contoh, Jepang mungkin memiliki keinginian untuk lebih terlibat dengan China sebagai salah satu upaya diplomasi keamanan siber global Jepang untuk memeriksa ambisi China tidak secara langsung menghadapinya di dunia maya.
Apabila dilihat berdasarkan realita yang terjadi dalam jangka menengah bahkan hingga jangka panjang, cara satu-satunya yang berhasil dilakukan Jepang untuk benar-benar menyesuaikan kembali hubungannya dengan China melalui keamanan siber adalah dengan meningkatkan kemampuan pertahanan siber domestiknya dengan berinvestasi dalam pengembangan dan penerapan teknologi penting seperti kecerdasan buatan, kriptografi kuantum, dan enkripsi pasca-kuantum. Jika tidak adanya teknologi ini, hal tersebut akan menjadikan China memiliki keuntungan dan Jepang akan dengan terpaksa harus merevisi konstitusi negaranya untuk memberikan izin operasi siber kontra ofensif (memperbolehkan untuk melakukan aktivitas pre-emptive di dunia maya China), terus bergantung pada payung keamanan AS dan teknologi asing untuk melakukan pelindungan terhadap infrastruktur siber nasional negara Jepang atau dapat melakukan kesepakatan terhadap keunggulan teknis dan geopolitik China.
Referensi:
Bryan, M. (2021). Advancing cyber diplomacy in the Asia Pacific: Japan and Australia. Pacific Forum, 22-24.
Glucksmann, T. (2021, Oktober 16). How Will Japan’s Cybersecurity Posture Impact its Relations With China? Retrieved from The Diplomat: https://thediplomat.com/2021/10/how-will-japans-cybersecurity-posture-impact-its-relations-with-china/
Khabbaz, D. (2021). Cyber Diplomacy: Benefits, Developments, and Challenges. Static Square Space, 17-19.
Manantan, M. B. (2021). Defining Cyber Diplomacy. Australian Outlook, 9.
Matsubara, M. (2021). Japan’s Cybersecurity Strategy From the Olympics to the Indo-Pacific. Asie.Visions, No. 119, 18-19.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI