Mohon tunggu...
Zahrotul Mutoharoh
Zahrotul Mutoharoh Mohon Tunggu... Guru - Semua orang adalah guruku

Guru pertamaku adalah ibu dan bapakku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tak Mudah di Bawah Bayang-bayangmu

17 Oktober 2021   10:42 Diperbarui: 17 Oktober 2021   10:46 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kepala Sekolah. Itu jabatanmu, pak. Di sekolah ternama di kota ini. Siapa tak mengenalmu? Tak ada yang tak mengenalmu.

"Ayahmu hebat, Gung.. Menjadi Kepala Sekolah berprestasi..", kata Dewo kepadaku.

Kami berteman sejak kecil. Bersekolahpun di tempat yang sama. Sejak TK hingga SMP ini. Di rumah bermain bersama. Di sekolah juga.

Memang bapak kemarin mendapatkan prestasi di tingkat propinsi. Sebagai Kepala Sekolah SMA terbaik. Kalau menurut ibuku, besok bapak akan mewakili propinsi untuk maju ke tingkat nasional.

Aku hanya diam mendengar ucapan Dewo. Rasa kagumnya kepada bapak tampak terlihat jelas. Ya, aku memang bangga. Tapi...

***

"Pak, boleh tidak aku nanti tidak bersekolah di tempat bapak?", tanyaku kepada bapak.

Saat itu aku, adik, ibu dan bapak berkumpul di ruang keluarga. Ya, bapak tadi pagi baru saja sampai rumah. Setelah lemburan di sekolah. Untuk persiapan lomba tingkat nasional.

Bapak yang saat itu sedang membaca surat kabar segera mengalihkan pandangannya kepadaku. Kemudian bapak melipat surat kabar itu.

"Kamu mau sekolah di mana to, le?", tanya bapak.

"Pondok, pak..", jawabku pasti.

Aku yakin bapak terkejut mendengarnya. Ibuku juga.

"Mas Agung yakin mau sekolah di pondok?", tanya Bagas, adikku yang masih kelas enam SD.

Aku menganggukkan kepalaku. Memang selama ini aku tak terlihat aktif hafalan seperti teman-teman yang sudah bersekolah di pondok sejak SMP. Tetapi aku sering menghafal diam-diam di rumah. Bukan karena tak diperbolehkan. Tetapi karena aku belum yakin bacaan dan pelafalanku benar.

***

"Ini brosurnya, pak..", kataku sambil menyerahkan sebuah brosur penerimaan peserta didik baru di sebuah SMAIT yang lumayan ternama di kotaku.

"Kalau tujuanmu untuk belajar ilmu pengetahuan umum dan sekaligus untuk mempelajari agamamu, bapak setuju, le..", kata bapak begitu selesai membaca brosur itu.

"Ibu juga mendukungmu, le.. Sekalian belajar mandiri di sana nantinya..", kata ibu.

"Alhamdulillah.. Terimakasih, pak, bu.. Aku juga ingin orang mengenalku bukan karena nama besar bapak. Aku ingin orang mengenalku karena kemampuan dan prestasiku..".

Dan untuk meyakinkan bapak, aku mencoba membaca hafalan. Bapak dan ibu tak menyangka aku bisa menghafal satu juz, meski aku bersekolah di SMP umum. Karena selama ini aku belajar bersama ibu dan bapak hanya sebatas pelajaran sekolah saja.

"Buatlah ibu dan bapak bangga dengan ilmu agamamu. Dan juga jangan lupa belajar pengetahuan umum ya, le.. ", kata ibu.

Ku lihat bapak juga ikhlas dengan cita-citaku. Belajar tak hanya di sekolah umum. Belajar bisa di mana saja, asalkan sungguh-sungguh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun