Aku yakin bapak terkejut mendengarnya. Ibuku juga.
"Mas Agung yakin mau sekolah di pondok?", tanya Bagas, adikku yang masih kelas enam SD.
Aku menganggukkan kepalaku. Memang selama ini aku tak terlihat aktif hafalan seperti teman-teman yang sudah bersekolah di pondok sejak SMP. Tetapi aku sering menghafal diam-diam di rumah. Bukan karena tak diperbolehkan. Tetapi karena aku belum yakin bacaan dan pelafalanku benar.
***
"Ini brosurnya, pak..", kataku sambil menyerahkan sebuah brosur penerimaan peserta didik baru di sebuah SMAIT yang lumayan ternama di kotaku.
"Kalau tujuanmu untuk belajar ilmu pengetahuan umum dan sekaligus untuk mempelajari agamamu, bapak setuju, le..", kata bapak begitu selesai membaca brosur itu.
"Ibu juga mendukungmu, le.. Sekalian belajar mandiri di sana nantinya..", kata ibu.
"Alhamdulillah.. Terimakasih, pak, bu.. Aku juga ingin orang mengenalku bukan karena nama besar bapak. Aku ingin orang mengenalku karena kemampuan dan prestasiku..".
Dan untuk meyakinkan bapak, aku mencoba membaca hafalan. Bapak dan ibu tak menyangka aku bisa menghafal satu juz, meski aku bersekolah di SMP umum. Karena selama ini aku belajar bersama ibu dan bapak hanya sebatas pelajaran sekolah saja.
"Buatlah ibu dan bapak bangga dengan ilmu agamamu. Dan juga jangan lupa belajar pengetahuan umum ya, le.. ", kata ibu.
Ku lihat bapak juga ikhlas dengan cita-citaku. Belajar tak hanya di sekolah umum. Belajar bisa di mana saja, asalkan sungguh-sungguh.