Nanda duduk di kelas 5 SD. Dia pindahan siswa dari Jakarta. Sekarang sekolah di sebuah sekolah swasta di pinggiran kabupaten Gunungkidul.
Nanda ikut pindah karena ayahnya dipindahtugaskan ke sebuah SMA di Gunungkidul. Kakaknya juga ikut pindah. Namanya Niken.
"Sekolah itu tidak harus di kota, Nda..", kata ibu kepada Nanda.
"Sekolah di mana-mana sama saja, Nda. Pintar atau tidaknya tergantung kamu.. Mau belajar atau tidak.. Tidak sepenuhnya tergantung pada sekolah apa..", kata bapak menyambung.
Ya, Nanda juga tidak mempermasalahkan akan sekolah di mana.
***
"Seperti inilah keadaan sekolah ini pak, bu..", sambut seorang laki-laki seumuran bapaknya. Beliau adalah Kepala Sekolah. Beliau bernama pak Budi.
"Bapak, ibu dan nak Nanda dapat melihat-lihat terlebih dahulu lingkungan sekolah ini. Karena mungkin akan sangat berbeda bila dibanding sekolah di sana, Jakarta..", sambung pak Budi.
Bapak, ibu dan Nanda mengikuti langkah pak Budi untuk melihat-lihat kondisi kelas. Kelas yang sepi karena memang belum diperkenankan tatap muka di masa pandemi ini.
Nanda dan bapak ibu diperlihatkan keadaan sekolah sebagai pertimbangan juga. Tetap bersekolah di sekolah ini atau akan mencari sekolah lainnya.
"Masih seperti ini kelas di sekolah ini..", terang pak Budi lagi.
Terlihat kelas sangat rapi. Hanya saja di sana ternyata masih menggunakan meja dan dingklik panjang. Model jaman dahulu banget.
"Wahhh.. sudah lama saya tidak melihat bentuk meja dan dingklik panjang seperti ini", kata bapaknya Nanda sambil tersenyum.
Nanda hanya diam memperhatikan seisi ruang kelas barunya yang sama sekali tidak baru. Semua barang kuno.
***
"Dulu bapak waktu masih sekolah ya memakai meja dan dingklik panjang seperti di sekolah tadi, Nda..", kata bapaknya Nanda lagi.
"Tapi bapak dan teman-teman semangat sekali untuk belajar. Bapak bisa pintar dan bekerja seperti sekarang ya karena salah satunya belajar tidak memilih sekolah yang harus bagus..", sambungnya.Â
Bapak tahu kalau Nanda tidak nyaman dengan keadaan sekolah barunya. Makanya memberikan banyak masukan untuk Nanda.Â
Nanda mengangguk. Nanda sendiri juga maklum, karena sekolah terdekat hanya sekolah ini.
"Berprestasinya dan berhasilnya kita tidak hanya tergantung pada sekolah dimana, Nda. Tapi karena keinginan untuk selalu belajar dan belajar. Termasuk belajar "rekoso". Anggap saja ini sedikit belajar "rekoso", Nda..", lanjut bapaknya.
Sebenarnya kalau mau, bapak pasti menyekolahkan Nanda di sekolah favorit dan membayar mahal. Tapi itu tidak dilakukan bapak.
***
Nanda mengingat semua peristiwa di masa SD-nya di sekolah itu. Sekarang Nanda sudah lulus kuliah. Dan bergelar Sarjana Pendidikan.
Nanda tersenyum ketika mengingat nasehat-nasehat ayahnya waktu itu. Tentu saja juga nasehat ibunya.
Meski keluarga berada, tetapi bapak dan ibu tetap menerapkan hidup yang sederhana. Agar Nanda dan kakaknya juga bisa merasakan kesulitan teman-teman atau tetangga yang kekurangan.
Dan Nanda sekarang berdiri di depan halaman sekolah itu. Menyapa anak-anak kecil di hadapannya.
"Selamat pagi, anak-anak..".Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H