Dalam pembahasan problem mengenai ritual yang sudah terjadi secara turun temurun dalam agama Islam seperti tahlilan atau selametan untuk orang yang telah meninggal jika dikaji dengan Islam historis, maka hal tersebut berkaitan dengan perbedaan pendapat dari para ulama.
Pertama, ulama mazhab Hanafi, Sebagian ulama mazhab Maliki, ulama mazhab Syafi’I dan ulama mazhab Hanbali menegaskan bahwasanya menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an serta kalimat thayyibah kepada mayit hukumnya boleh dan pahalanya juga sampai kepada sang mayit. Berikut penjelasan tentang hadis-hadis yang dijadikan rujukan dalam hukum diperbolehkannya mengadakan tahlilan.
Syekh Az-Zaila’I dari mazhab Hanafi menyebutkan:
أَنَّ الإِنْسَانَ لَهُ أَنْ يَجْعَلَ ثَوَابَ عَمَلِهِ لِغَيْرِهِ, عِنْدَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ, صَلاَةً كَانَ أَوْ صَوْمًا أَوْ حَجًّا أَوْ صَدَقَةً أَوْ قِرَاءَةَ قُرْآنٍ أَوْ الأذْكَارَ إِلَى غَيْرِ ذَالِكَ مِنْ جَمِيْعِ أَنْوَاعِ الْبِرِّ, وَيَصِلُ ذَالِكَ إِلَى الْمَيِّتِ وَيَنْفَعُهُ
Yang artinya bahwasanya seseorang diperbolehkan menjadikan pahala amal kebaikannya untuk orang lain, menurut pendapat Ahlussunnah Wal Jama’ah, baik berupa shalat, haji, sedekah, bacaan Al-Qur’an, zikir, atau sebagainya. Dan pahala itu akan sampai kepada mayit dan bermanfaat baginya.[1]
Diantara ulama’ lain yang juga memperbolehkan menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an serta kalimat thayyibah kepada mayit adalah Syekh Ibnu Taimiyyah, dalam kitab Majmu’ul Fatwa yang berbunyi:
وَأَمَّا الْقِرَاءَةُ وَالصَّدَقَةُ وَغَيْرُهَا مِنْ أَعْمَالِ الْبِرِّ فَلاَ نِزَاعَ بَيْنَ عُلَمَاءِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ فِى وُصُوْلِ ثَوَابِ الْعِبَادَاتِ الْمَالِيَّةِ كَاالصَّدَقَةِ وَالْعَتْقِ, كَمَا يَصِلُ إِلَيْهِ أَيْضًا الدُّعَاءُ وَالإِسْتِغْفَارِ وَالصَّلاَةُ عَلَيْهِ صَلاَةُ الْجَنَازَةِ وَالدُّعَاءُ عِنْدَ قَبْرِهِ. وَتَنَزَعُوْا فِى وُصُوْلِ الأَعْمَالِ الْبَدَنِيَّةِ, وَالصَّلاَةُ وَالْقِرَاءَةُ, وَالصَّوَابُ أَنَّ الْجَمِيْعَ يَصِلُ إِلَيْهِ.
Artinya: