Bismillahirrahmanirrahim
Apakah Rezeki di Akhir Zaman Nanti
Hijau muda terang nan lembut  di mata, Kotak pensil yang tampak manis menghiasi meja kerjaku. Senada dengan warna kesayangan junjungan Nabi Muhammad SAW, kotak pensil ini bukan sembarang kotak pensil. Kotak pensil ini memicu semangat kerjaku. Menatap saja kotak pensil itu, mengingatkanku akan pentingnya semangat dan rasa syukur.
Kotak pensil itu sebenarnya adalah tempat sikat gigi. Namun bagiku layak berfungsi menjadi kotak pensil. Bermula dari pasar malam di pinggiran bandara Tangerang adalah awal  pertemuanku dengan kotak pensil itu.
Dari seorang Bapak kubeli kotak pensil itu. Tiap malam Senin di pasar malam sekitaran bandara Tangerang, Bapak itu menjual perabotan. Alat-alat dapur dan rumah tangga. Seperti biasa tatkala menggelar dagangan. Pria paruh baya itu sembari merapikan tak banyak bicara. Sedikit rikuh dengan tangannya yang terbungkus sarung tangan. Jika diperhatikan panjang jari-jarinya seperti berkurang beberapa ruas. Orang yang tak bijak melihatnya mungkin langsung takut dan menjauh. Pasalnya  bapak ini adalah penderita kusta.
Bapak itu meski rikuh dengan tangannya tetap tak malu berjualan di pasar malam. Dengan ketawakalannya, rasa rendah diri dan khawatir ditepis. Tidak takut orang enggan membeli ,kontak fisik dan tertular. Benar saja, tetap banyak orang yang membeli barang dagangan bapak ini. Karena selain murah meriah, Yang maha kuasa mengilhamkan kearifan penduduk pinggir Bandara. Banyak dari mereka membeli barang tersebut. Entah karena kasihan atau karena memang butuh, yang pasti hampir setiap minggu dagangan bapak ini cukup ramai pembeli.
Pemandangan ini membuatku tertegun, hening sejenak dan terlintas di benak ini bahwa Maha Besar Allah yang memberikan rizki bagi setiap mahluknya. Tak ada satupun mahluk bernyawa di alam raya ini yang tak dijamin rizkinya oleh Yang Maha Pengasih. Â
Apapun mahluk itu meski lemah tak berdaya tetap diberikan rizki. Seperti burung yang bermodalkan sayap. Tiap pagi harinya terbang dengan perut kosong dan kembali ke sarangnya pada sore hari dengan perut terisi. Ataupun cacing tanah yang tak berdaya. Masih juga mendapatkan rizkinya dari Yang Maha Memberi Rizki. Meskipun harus dengan merayap. Menjemput rizki makanannya dari serangga kecil yang berkeliaran di tanah.
Proses makan dimakan atau Jaring-jaring kehidupan. Daun dimakan serangga, serangga dimakan cacing tanah. Cacing tanah dimakan ayam. Ayam dimakan manusia menjadi pertanda kekuasaan Allah. Siapakah yang menghidupkan mahluk-mahluk tersebut. Membuatnya tumbuh besar. Menempatkan setiap mahluk tersebut bertemu dengan pemangsanya. Pada tempat dan waktu yang tepat. Kalau bukan Allah SWT.
Daun, tumbuhan itu siapakah menumbuhkannya?. Kitakah yang menumbuhkannya ataukah Allah SWT lah yang menumbuhkannya?. Binatang dan manusia, setiap mahluk, siapakah menciptakannya?. Kitakah yang menciptakannya ataukah Allah SWT lah yang menciptakannya
Rizki Allah begitu luas, jikalau mahluk yang lemah saja diberi kemampuan menjemput rizki. Apalagi kita, manusia yang punya sumber daya akal dan pikiran. Akal dan pikiran yang memampukan manusia mengolah alam, memberi nilai tambah pada suatu barang dengan karya dan jasa. Bisa dengan bertani, beternak, bekerja sebagai karyawan, menghibur, dsb.
Satu hasil alam saja seperti singkong. Manusia mengubahnya untuk menjadi singkong bakar, keripik singkong, getuk, gatot, tape, tapioka. Dari satu singkong saja manusia bisa mendapat pekerjaan sebagai produsen, bekerja di pabrik keripik singkong. Distributor, bekerja sebagai tukang ojek pembawa keripik singkong. Serta penjual, menjual keripik singkong di warung, di pabrik, di sekolah.
Itu baru satu barang yaitu singkong. Belum lagi aneka rupa barang dan jasa dalam kehidupan manusia. Benarlah prinsip ekonomi Islam bahwa kebutuhan manusia terbatas, namun alat pemenuhan kebutuhan manusia tidak terbatas. Â
Demikian luasnya rizki Allah SWT.
Namun tidak boleh menelusup ke ruang hati kita akan ketergantungan pada mahluk. Padahal hanya pantaslah keterikatan dan penghambaan kita pada Sang Pencipta. Mungkin karena keseharian kita sebagai mahluk sosial
Bagi maqom orang biasa Nasi tidak jatuh dari langit, tapi dibeli dari hasil usaha keseharian dengan bekerja atau berdagang. Namun begitu hakikatnya Allah Subhana Wa Taala lah yang menggerakkan hati mahluk-Nya untuk menjadi perpanjangan tanganNya, menjadi wakilNya.
Tuhan jugalah yang berkehendak terhadap turunnya rezeki bisa dengan suatu cara bila tidak dengan cara lain. Tuhan juga berkuasa membukakan pintu rezekinya yang lain yang mungkin tidak terduga. Dia yang menciptakan kita sebagai mahlukNya, Dia juga yang bertanggung jawab atas rezeki kita. Dialah Tuhan yang menggerakkan rantai ekonomi dan kehidupan.
Peran mahluk pada keberlangsungan hidup manusia merupakan kehendak Allah Yang Maha Mengatur. Tuhan juga berkuasa menurunkan rezeki langsung dari langit. Itu terjadi pada wali walinya yang hidupnya dibaktikan seluruhnya hanya untuk Allah. Seperti pada kisah Sayidah Maryam yang selalu mendapati buah buahan ada di mihrabnya yang terkunci dari luar. Buah-buahan itu tidak ada yang mengantar, tapi benar-benar diturunkan langsung dari Tuhan. Bahkan Allah kuasa memberi rezekiNya tanpa perantara mahluk.
 Namun Allah Maha Pengasih di akhir zaman mencukupi dan mengasihi segala kebutuhan kita
Tidak ada sesuatu pun terjadi di alam semesta ini kecuali atas kehendak Allah. Tidak sekejap matapun diri ini menentukan nasib sendiri. Tidak sedikitpun kita mendapatkan rezeki terkecuali jika rezeki itu telah ditetapkan untuk kita miliki.
Sebab-sebab rezeki itu ada di langit. Dapat dicapai dengan permohonan atau doa. Disempurnakan usaha dan ikhtiar. Memantaskan diri, agar kita layak mendapat musabab turunnya rezeki tersebut.
Wallahu a'lam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H