Mohon tunggu...
Zahra Nur Fatma
Zahra Nur Fatma Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Sosiologi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mewujudkan Indonesia Ramah Disabilitas

10 Desember 2018   13:59 Diperbarui: 10 Desember 2018   15:13 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://fajarbanten.com/jalur-trotoar-di-pandeglang-tidak-ramah-bagi-penyandang-disabilitas/

Indonesia saat ini sedang gencar-gencarnya melakukan pembangunan infrastruktur, tidak hanya pada wilayah perkotaan saja tetapi juga pada wilayah pedesaan. Perbaikan jalan, dibangunnya gedung-gedung bertingkat, pusat bisnis hingga fasilitas publik menjadi prioritas utama dalam pembangunan. Namun kemudian muncul pertanyaan besar ketika menyaksikan maraknya pembangunan ini, masih adakah harapan adanya pembangunan yang ramah pada disabilitas, baik berupa pembangunan fisik maupun pembangunan non-fisik?

Pembangunan Fisik

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh BPS jumlah penduduk Indonesia dengan disabilitas berjumlah 12,5% di mana sepertiganya adalah anak-anak. Kita sama-sama sepakat bahwa setiap pembangunan yang ada, sifatnya harus inklusif dan aksesibel untuk semua, termasuk untuk penyandang disabilitas. 

Untuk mempertegas pentingnya negara dalam memperhatikan hak-hak orang dengan disabilitas, PBB menetapkan 3 Desember sebagai Hari Penyandang Cacat Internasional (yang kemudian diratifikasi dalam konvensi hak penyandang disabilitas bahwa penggunaan penyandang cacat diubah menjadi penyandang disabilitas). Hal ini tentu menjadi pengingat sekaligus momentum bagi masyarakat internasional bahwa hak-hak penyandang disabilitas harus kita perjuangkan bersama. 

Sementara untuk di Indonesia, pemerintah telah mengganti UU No.4/1997 tentang Penyandang Cacat menjadi UU Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, karena dianggap tidak lagi sesuai dengan paradigma kebutuhan penyandang disabilitas. Oleh karena itu, merujuk pada: 

1. UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia

2. UU. No. 28/2002 tentang Bangunan Gedung

3. UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang

4. UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 

5. UU No. 35/2014 tentang perlindungan Anak

6. UU No. 19/2011 tentang Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas

Sudah menjadi pekerjaan rumah bagi negara untuk mewujudkan suatu pembangunan yang ramah pada disabilitas. 

Berbicara mengenai disabilitas, sepertinya kita butuh belajar lebih banyak untuk memahami kebutuhan saudara kita dengan disabilitas. Mengapa? Karena masih banyak pihak yang beranggapan bahwa isu mengenai disabilitas dianggap hal biasa, bukan sebuah prioritas yang harus segera disikapi. Kita ini sadar-tidak sadar terlampau sering mengkhianati hak-hak mereka. Cukup banyak bukti yang menjelaskan betapa serakahnya kita sampai-sampai kita melupakan hak-hak mereka, yang paling sering terjadi adalah bagaimana pembangunan yang ada belum banyak yang berpihak pada mereka. 

Salah satu cara agar pembangunan yang ada dapat berpihak kepada mereka adalah dengan melibatkan partisipasi penyandang disabilitas dalam pengambilan kebijakan. Bukanlah suatu yang mengherankan bila selama ini kebijakan dalam pembangunan masih belum berpihak kepada mereka jika keterlibatan mereka masih sangat minim. Padahal penyandang disabilitas ini memiliki hak universal dan memiliki harapan yang besar untuk bisa ikut serta dalam menikmati hasil pembangunan yang berpihak pada meraeka. Seorang Sosiolog, Rob Imre dalam Disability and The City mengungkapkan bahwa penyandang disabilitas juga ingin bersosialisasi dan menikmati pembangungan perkotaan secara multi-indera atau disebut dengan  multi-sensual experience. Kesadaran semua pihak dalam melibatkan penyandang disabilitas bisa menjadi pintu gerbang menuju pembangunan yang berkeadilan. 

Hasil pembaangunan yang dapat dinikmati oleh setiap kalangan merupakan cita-cita kita bersama. Perlu diingat bahwa setiap kalangan di sini berarti tidak mengenal kategori umur. Anak-anak juga memiliki hak untuk bisa ikut serta berpartisipasi dalam pembangunan, terutama anak-anak dengan disabilitas yang memiliki kebutuhan sendiri. Sudah menjadi tugas kita bersama untuk mendengar suara-suara mereka atas kebutuhan yang harus mereka dapatkan. 

Selain partisipasi mereka, adanya alokasi dana yang masih belum berpihak pada penyandang disabilitas menjadi penghambat terciptanya pembangunan humanis bagi mereka. Selama ini dana yang ada belum sepenuhnya dialokasikan untuk pembangunan fasilitas publik yang mudah diakses. Pembangunan pedestrian, transpotasi publik, jembatan penyebrangan masih susah untuk diakses.

Sumber gambar: https://www.ayobandung.com/view/2015/06/04/150/jalur-tuna-netra
Sumber gambar: https://www.ayobandung.com/view/2015/06/04/150/jalur-tuna-netra
Pembangunan Non-Fisik, belajar dari Kabupaten Bandung Barat

Isu mengenai disabilitas memang selama ini masih berkutat pada hal-hal fisik, padahal hal-hal non-fisik juga cukup penting untuk diperhatikan. Akan menjadi lebih baik jika penyandang disabilitas diberikan kesempatan untuk dapat mengembangkan ketrampilan mereka. Cara mudah agar hal-hal yang sifatnya non fisik dapat menjadi prioritas, adalah melalui komunitas-komunitas yang ada di kampung. Salah satu komunitas kampung yang cukup aktif dalam memperjuangkan hak-hal disabilitas adalah Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM) di Kabupaten Bandung Barat. RBM ini melakukan banyak sekali upaya agar masyarakat dengan disabilitas yang ada di Bandung Barat dapat terjamin hak-haknya. 

Dalam upaya berpihak pada penyandang disabilitas, RBM Bandung Barat melakukan beberapa cara yang dilakukan secara bertahap. Tahap pertama adalah pendekatan kepada orang tua. RBM meyakini bahwa polah asuh orang tua merupakan hal yang sangat penting untuk perkembangan anak. 

Menurut pengalaman Kang Acung salah satu staff dari Yayasan Sayangi Tunas Cilik (YSTC) yang bertugas mengkapasitasi RBM mengatakaan, banyak terjadi kekerasan yang dilakukan oleh orang tua kepada anak-anak disabilitas, hal ini terjadi karena sebagai orang tua mereka malu untuk mengakui anak-anak mereka dengan disabilitas, bahkan untuk menuliskan nama anak mereka di kartu keluarga saja beberapa orang tua tidak mau. Melihat kasus ini, teman-teman RBM mulai melakukan pendekatan dan sosialisasi kepada warga masyarakat. Pendekatan yang mereka lakukan dimulai dari pengajian hingga pada saat pertemuan-pertemuan rutin desa. 

Tahap kedua adalah membuat anak-anak dengan disabilitas ini berdaya. Di mana pada tahap ini melakukan pendekatan psikis. Bagaimana anak-anak dengan disabilitas ini dibangkitkan kepercayaannya dan memberikan motivasi bahwa mereka juga memiliki hak yang sama seperti teman-temannya yang lain. 

Keberadaan orang luar untuk menjadi teman bermain mereka adalah kunci agar anak-anak disabilitas memiliki kepercayaan yang tinggi. Karena pada dasarnya sebagai seorang anak mereka tetap ingin dan membutuhkan bermain untuk perkembangan mereka. Hal ini sesuai dengan salah satu hasil konvensi hak anak yaitu hak untuk bermain. 

Setelah melakukan pendekatan terhadap orang tua dan membangkitkan kepercayaan diri mereka, yang sedang diadvokasi oleh RBM adalah pandangan lingkungan sekitar atau menghapus stigma-stigma pada masyarakat. 

Segala diskriminasi yang dialami oleh anak-anak dengan disabilitas ini dilakukan oleh masyarakat sehingga menyebabkan anak-anak dengan disabilitas ini tidak mendapatkan hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan. Melihat ada diskriminasi seperti ini Dian Rosita Maryono sebagai ketua PKK Desa lembang melakukan berbagai advokasi, ibu Dian berkeliling ke 165 desa yang ada di Bandung Barat untuk membela hak-hak pada anak disabilitas.

Sebagai bahan pembanding dan pembelajaran, sepertinya Indonesia harus belajar dari Amerika Serikat yang sejak tahun 1990 mengeluarkan aturan yang disebut The American with Disabilities Act (ADA) atau belajar dari negara Inggris di mana negara tersebut sejak tahun 1995 sudah mengeluarkan aturan mengenai Disability Discrimination Act (DDA). Kedua negara tersebut secara komprehensif sudah menerapkan aturan-aturan tersebut di berbagai sektor. Tentunya menjadi harapan besar bagi kita bersama agar setiap kebijakan maupun pembangunan di Indonesia mulai ramah pada disabilitas, agar Indonesia dapat menjadi negara yang adil dan humanis bagi siapapun. 

Rehabilitasi Berbasis Masyarakat Kabupaten Bandung Barat
Rehabilitasi Berbasis Masyarakat Kabupaten Bandung Barat
Daftar Pustaka:

Ridwan, Muhammad. 2006. Politik Kota Dan Hak Warga Kota. Jakarta: Kompas. 

Kementrian Kesehatan RI. 2014. Penyandang Disabilitas Pada Anak. Jakarta: Kemenkes RI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun