Menurut World Health Organization (WHO), jumlah angka kematian akibat bunuh diri di dunia mendekati 800.000 per tahun, artinya hampir ada 1 kematian setiap 40 detik. Tidak terkecuali di Indonesia, pada tahun 2018 telah tercatat 265 juta orang meninggal dunia akibat bunuh diri. Bahkan, WHO meramalkan pada 2020 angka bunuh diri di Indonesia secara global menjadi 2,4 per 100.000 jiwa dan diperkirakan jumlah kematian akibat bunuh diri di Indonesia sekitar 1.800 kasus per tahun.Â
Dalam sebuah penelitiannya pada Program Pendidikan Doktoral Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Dr. dr. Nova Riyanti Yusuf, SpKJ juga menyebut bahwa di DKI Jakarta sekitar 5% remaja SMA memiliki ide bunuh diri. Â
Penelitian serupa juga pernah dilakukan pada Global School-Based Student Health Survey (GSHS) oleh Kementrian Kesehatan dengan jumlah responden sebanyak 10.837 pelajar SMP dan SMA, didapatkan sebanyak 5,2% remaja memiliki ide bunuh diri, 5,5% sudah memiliki rencana bunuh diri, dan 3,9% sudah melakukan percobaan bunuh diri.Â
Di masa pandemi COVID-19, sejak 5 bulan paska pandemi, menurut data swaperiksa dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), disebutkan bahwa dari 4.010 pasien swaperiksa, 1 dari 5 memiliki pemikiran lebih baik mati dan pikiran kematian terbanyak usia 18-29 tahun. Tidak bisa dipungkiri jika pandemi meningkatkan stressor di semua kalangan, termasuk remaja.Â
Hal ini tidak terlepas dari minimnya interaksi sosial yang bisa dilakukan, permasalahan finansial, adaptasi kebiasaan pembelajaran jarak jauh, kecemasan dan ketakutan terkait pandemi COVID-19.
Berdasarkan data yang disebutkan di atas, fenomena bunuh diri jelas memiliki besaran masalah yang harus menjadi perhatian bersama, terlebih di masa pandemi seperti ini.Â
Bunuh diri merupakan masalah yang kompleks karena tidak diakibatkan oleh penyebab atau alasan tunggal. Kejadian bunuh diri merupakan interaksi yang kompleks dari faktor biologis, genetik, psikologis, sosial, budaya, religi, dan lingkungan. Meskipun demikian, tindakan bunuh diri atau percobaan bunuh diri pada umumnya dapat dicegah.
Dalam hal pencegahan bunuh diri, sebetulnya pemerintah sudah melakukan beberapa upaya, seperti tersedianya layanan telepon atau hotline pencegahan bunuh diri di (021) 500-454, mengembangkan aplikasi android "Sehat Jiwa", melaksanakan program Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) dan Konselor Sebaya, Rapor kesehatanku, serta melalui Usaha Kesehatan Sekolah.Â
Selain itu, ada beberapa jalur intervensi atau penangan melalui Pos Kesehatan Pesantren, Sekolah Ramah Anak (SRA), program kesehatan jiwa berbasis sekolah, dan program lainnya dari fasilitas kesehatan tingkat pertama.Â
Namun sebetulnya, selain memang diperlukan andil pemerintah, fenomena bunuh diri ini dapat pula dicegah oleh semua anggota masyarakat sebab untuk menekan angka bunuh diri, sangat dibutuhkan kerjasama yang erat lintas sektoral, antara individu, keluarga, masyarakat, profesi, dan pemerintah.
Khususnya pada remaja, pencegahan terhadap usaha bunuh diri perlu dilakukan secara berkesinambungan, bahkan tidak hanya kepada remaja yang menunjukkan tanda bahaya bunuh diri, namun kepada semua remaja sebab sejatinya remaja merupakan kelompok usia berisiko tinggi untuk melakukan bunuh diri.Â
Fase remaja atau middle adolescent (14-18 tahun) adalah fase yang sangat rentan karena remaja cenderung mempunyai keyakinan tentang keabadian (immortality) dan kedigdayaan (omnipotence) sehingga mendorong timbulnya perilaku risk-taking. Â Â
Dikarenakan oleh fase risk taking ini, remaja lebih memiliki pola pikir abstrak sehingga dapat tertantang untuk mencoba segala hal, termasuk ke arah pola hidup yang tidak baik, seperti penyalahgunaan NAPZA, aktivitas seksual yang tidak aman, pola makan yang buruk, perundungan, kenakalan remaja, self harm, bahkan bunuh diri. Oleh karena itu, perlu kita sadari bersama mengenai urgensi tentang pendampingan dan dukungan psikososial di kalangan remaja.Â
Dibutuhkan komitmen, pengetahuan, pendampingan, serta pengawasan yang kontinyu dan komprehensif kepada mereka baik dari  pemerintah, institusi pendidikan tempat bersekolah, keluarga, teman sepergaulan dan lingkungan sekitar. Namun sayangnya, tidak semua remaja memiliki akses dan lingkungan yang cukup suportif dan resiliensi yang baik. Beberapa dari mereka justru jika secara terbuka menyampaikan permasalahan dan ide bunuh dirinya, malah akan dicap sebagai anak yang mencari perhatian, kurang bersyukur, berdosa, atau mendapat stigma negatif lain.Â
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk bekerja sama dalam menciptakan lingkungan yang kondusif dan suportif untuk mereka, seperti lingkungan yang bebas perundungan, diskriminasi, dan stigma. Marilah kita mulainya dari lingkungan terdekat di sekitar kita dengan memberikan dukungan psikososial dan pendampingan yang ramah untuk kesehatan jiwa mereka; yaitu pendampingan yang mendidik tanpa harus menghardik, peduli tanpa menghakimi, membimbing tanpa mendikte, dan menjelaskan tanpa menyudutkan.Â
Dengan demikian, diharapkan remaja tidak lagi kesulitan mencari teman yang dapat dipercaya untuk bisa saling berbagi, tidak lagi merasa sendiri, tidak takut dan khawatir meminta pertolongan, dan tidak segan untuk mencari pengobatan ke profesional.
Stop stigma terhadap gangguan mental sebab tidak akan pernah ada sehat tanpa kesehatan mental! Pergi ke psikolog dan psikiater bukanlah aib, hal tersebut sama wajarnya dengan pergi ke dokter  gigi ketika ada yang berlubang. Tidak hanya fisik yang perlu dijaga dengan baik namun juga jiwa kita!
Sumber :Â
Fakultas Kesehatan Masyarakat UI. 2019. Doktor FKM UI Teliti: Deteksi Dini Faktor Risiko Ide Bunuh Diri Remaja di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas/Sederajat di DKI Jakarta. https://www.fkm.ui.ac.id/doktor-fkm-ui-teliti-deteksi-dini-faktor-risiko-ide-bunuh-diri-remaja-di-sekolah-lanjutan-tingkat-atas-sederajat-di-dki-jakarta/ (Diakses 3 Februari 2021)
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2019. Infodatin Situasi dan Pencegahan Bunuh Diri. https://pusdatin.kemkes.go.id/article/view/19103000001/infodatin-situasi-dan-pencegahan-bunuh-diri.html (Diakses 3 Februari 2021)
Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia. Depresi, Bunuh  Diri, dan Pandemi COVID-19 di Indonesia. http://pdskji.org/home (Diakses 17 Februari 2021).
Sulis Winurini. 2009. Pencegahan Bunuh Diri di Indonesia. Jakarta : Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI.
WHO. 2019. Suicide. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/suicide (Diakses 3 Februari 2021)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H