Mohon tunggu...
ZAHRA IBADINA
ZAHRA IBADINA Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Umum

Mental Health Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Fenomena Bunuh Diri Pada Remaja

17 Februari 2021   15:29 Diperbarui: 17 Februari 2021   19:04 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Fase remaja atau middle adolescent (14-18 tahun) adalah fase yang sangat rentan karena remaja cenderung mempunyai keyakinan tentang keabadian (immortality) dan kedigdayaan (omnipotence) sehingga mendorong timbulnya perilaku risk-taking.   

Dikarenakan oleh fase risk taking ini, remaja lebih memiliki pola pikir abstrak sehingga dapat tertantang untuk mencoba segala hal, termasuk ke arah pola hidup yang tidak baik, seperti penyalahgunaan NAPZA, aktivitas seksual yang tidak aman, pola makan yang buruk, perundungan, kenakalan remaja, self harm, bahkan bunuh diri. Oleh karena itu, perlu kita sadari bersama mengenai urgensi tentang pendampingan dan dukungan psikososial di kalangan remaja. 

Dibutuhkan komitmen, pengetahuan, pendampingan, serta pengawasan yang kontinyu dan komprehensif kepada mereka baik dari  pemerintah, institusi pendidikan tempat bersekolah, keluarga, teman sepergaulan dan lingkungan sekitar. Namun sayangnya, tidak semua remaja memiliki akses dan lingkungan yang cukup suportif dan resiliensi yang baik. Beberapa dari mereka justru jika secara terbuka menyampaikan permasalahan dan ide bunuh dirinya, malah akan dicap sebagai anak yang mencari perhatian, kurang bersyukur, berdosa, atau mendapat stigma negatif lain. 

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk bekerja sama dalam menciptakan lingkungan yang kondusif dan suportif untuk mereka, seperti lingkungan yang bebas perundungan, diskriminasi, dan stigma. Marilah kita mulainya dari lingkungan terdekat di sekitar kita dengan memberikan dukungan psikososial dan pendampingan yang ramah untuk kesehatan jiwa mereka; yaitu pendampingan yang mendidik tanpa harus menghardik, peduli tanpa menghakimi, membimbing tanpa mendikte, dan menjelaskan tanpa menyudutkan. 

Dengan demikian, diharapkan remaja tidak lagi kesulitan mencari teman yang dapat dipercaya untuk bisa saling berbagi, tidak lagi merasa sendiri, tidak takut dan khawatir meminta pertolongan, dan tidak segan untuk mencari pengobatan ke profesional.

Stop stigma terhadap gangguan mental sebab tidak akan pernah ada sehat tanpa kesehatan mental! Pergi ke psikolog dan psikiater bukanlah aib, hal tersebut sama wajarnya dengan pergi ke dokter  gigi ketika ada yang berlubang. Tidak hanya fisik yang perlu dijaga dengan baik namun juga jiwa kita!

Sumber : 

Fakultas Kesehatan Masyarakat UI. 2019. Doktor FKM UI Teliti: Deteksi Dini Faktor Risiko Ide Bunuh Diri Remaja di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas/Sederajat di DKI Jakarta. https://www.fkm.ui.ac.id/doktor-fkm-ui-teliti-deteksi-dini-faktor-risiko-ide-bunuh-diri-remaja-di-sekolah-lanjutan-tingkat-atas-sederajat-di-dki-jakarta/ (Diakses 3 Februari 2021)

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2019. Infodatin Situasi dan Pencegahan Bunuh Diri. https://pusdatin.kemkes.go.id/article/view/19103000001/infodatin-situasi-dan-pencegahan-bunuh-diri.html (Diakses 3 Februari 2021)

Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia. Depresi, Bunuh  Diri, dan Pandemi COVID-19 di Indonesia. http://pdskji.org/home (Diakses 17 Februari 2021).

Sulis Winurini. 2009. Pencegahan Bunuh Diri di Indonesia. Jakarta : Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun