Mohon tunggu...
Zahrah Ajeng Syachputri
Zahrah Ajeng Syachputri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa - Pendidikan Masyarakat, Universitas Negeri Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Bantuan Hukum dan Upaya Perlindungan Hak Asasi Terdakwa dalam Proses Peradilan Pidana

21 Mei 2023   17:56 Diperbarui: 21 Mei 2023   18:23 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada dasarnya, perlindungan dan perlakuan yang sama di hadapan hukum merupakan salah satu bentuk hak asasi manusia yang sulit dicapai dalam peradilan pidana di Indonesia. Tersangka, Terdakwa, Terpidana adalah pihak yang sangat rentan terhadap pelanggaran HAM. Contohnya adalah jika penyelidikan tersangka berlanjut hingga larut malam. Dalam keadaan seperti itu, tersangka tidak dapat mengambil tindakan apa pun. Jika seseorang dicurigai atau dituduh, mereka kehilangan hak atas perlakuan yang sama di depan hukum.

Ada beberapa contoh pentingnya bantuan hukum bagi tersangka. Seperti halnya tersangka Joko Soegiarto Tjandra dalam kasus Bank Bali5, terlihat kesewenang-wenangan penyidik Polri. Pertama, Joko ditangkap untuk pemeriksaan pendahuluan. Joko Tjandra diperlakukan tidak sesuai dengan hak asasinya. Penasehat hukumnya hanya berkesempatan menemui Joko Tjandra 2 (dua) jam seminggu. 

Hal ini bertentangan dengan Pasal 70(1)(1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Sebagai penyidik, Joko Tjandra mengajukan permintaan pemeriksaan pendahuluan terhadap polisi, namun polisi melimpahkan kasus tersebut ke Kejaksaan Negeri Jakarta dan mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap tersangka.

Hal yang sama terjadi pada kasus tiga warga di Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara, yang disiksa polisi hingga lumpuh. Ketiga warga tersebut adalah Emril Sinaga, Togar Silaban dan Kasimullah Pasaribu. 

Peristiwa yang terjadi pada 6 Februari 2007 itu bermula saat Togar Silaban, Emril Sinaga dan Kasimullah Pasaribu datang untuk menagih pembayaran pinjaman dari Hutabarat Hasintonga. Hasintongan tidak sengaja menghisap ganja di sebuah kedai. Saat itu, beberapa petugas polisi datang dan menangkap Hasintonga Hutabarat, serta Emril Sinaga, Togar Silaba, dan Kasimullah Pasaribu. Polisi memaksanya untuk mengaku menggunakan narkoba.

Emril Sinaga, Togar Silabani dan Kasimullah Pasaribu disiksa di Polsek selama beberapa hari tanpa diberikan pendampingan hukum atau hak lainnya. Akibat penyiksaan tersebut, ketiganya mengalami luka di dada dan luka berat. Namun, Emril Sinaga paling banyak disiksa hingga kencing berdarah dan infeksi perut. Emril Sinaga lumpuh dan koma saat dalam tahanan polisi.

Dalam beberapa kasus tersebut, dapat kita amati bahwa aparat penegak hukum tidak menegakkan hak-hak para tersangka dengan baik. Salah satu acuannya adalah penerapan Pasal 56 KUHAP yang berbunyi: "Apabila tersangka atau terdakwa diduga atau dituduh melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara paling singkat 15 tahun. . , yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, penyidik harus mengangkat penasihat hukum pada semua tingkat proses peradilan." Ketentuan inilah yang menunjukkan perlunya pemberian bantuan hukum kepada tersangka terutama di tingkat penyidikan terutama yang berasal dari keluarga miskin.

Begitu juga dengan perkara tiga warga di Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara, yang disiksa polisi hingga lumpuh, Ketiga warga itu adalah Emril Sinaga, Togar Silaban, dan kasimullah Pasaribu. Peristiwa yang terjadi pada 6 Februari 2007 berawal dari kedatangan Togar Silaban dan Emril Sinaga serta Kasimullah Pasaribu guna menagih hutang pulsa kepada Hasintongan Hutabarat. Hasintongan kebetulan menghisap ganja di kedai tersebut. Pada saat itulah datang beberapa petugas kepolisian menangkap Hasintongan Hutabarat beserta Emril Sinaga, Togar Silaban dan Kasimullah Pasaribu. Polisi menyiksa mereka agar mengaku telah mengkonsumsi narkoba.

Emril Sinaga, Togar Silaban dan Kasimullah Pasaribu selama beberapa hari disiksa di Polsek tanpa diberikan haknya untuk didampingi oleh penasehat hukum serta hak- hak lainnya. Akibat siksaan itu, ketiganya mengalami dada remuk dan luka parah. Namun yang paling banyak disiksa adalah Emril Sinaga sehingga mengalami kencing darah dan infeksi lambung. Bahkan emril Sinaga sempat lumpuh dan koma di tahanan Polsek. 

Pada beberapa kasus tersebut dapat dilihat bagaimana hak - hak tersangka tidak dilaksanakan oleh aparat hukum sebagaimana mestinya. Salah satu indikasinya adalah penerapan dalam Pasal 56 KUHAP dimana menyatakan bahwa " dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka". Ketentuan inilah yang mengisyaratkan perlu adanya bantuan hukum yang diberikan kepada tersangka khususnya pada proses tingkat penyidikan, apalagi bagi mereka yang berasal dari keluarga yang tidak mampu.

Dalam Sistem Peradilan Pidana sangatlah penting keselarasan diantara para penegak aparat hukum, namun rapuhnya sinkronisasi struktural antar lembaga sub sistem Peradilan Pidana dapat jelas terlihat manakala lembaga penyidikan membiarkan penyidikan dilaksanakan secara berlarut-larut (undue delay). Akibatnya pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan persidangan perkara berlarut-larut, sementara tersangka dan terpidana ditahan. Pada saat perkara disidangkan, seringkali terjadi sisa masa penahanan terdakwa sudah hampir berakhir. Untuk mencegah terdakwa bebas demi hukum karena masa penahanannya sudah berakhir, sementara perkara belum selesai diperiksa, sidang dilaksanakan secara marathon, saksi-saksi tidak dihadirkan untuk diperiksa, tetapi hanya BAP nya yang dibacakan.

Begitu juga dengan penyidik, penuntut umum dan hakim yang melakukan kesalahn dalam proses penangkapan, penahanan, penuntutan dan pengadilan tidak dikenakan sanksi apapun, baik sanksi administratif maupun sanksi hukum. Kalaupun dikenakan sanksi administratif internal, hal itu tidak akan membuat penegak hukum jera melakukan penyimpangan. 

Bila tersangka, terdakwa atau terpidana diintimidasi dengan kekerasan atau penyiksaan fisik dan mental (psikis), tidak ada upaya hukum yang dapat dilakukannya sehingga penyidik, penuntut umum, hakim dan advokat yang melakukan penyimpangan dimaksud tidak dapat dipidana. Kondisi ini, menjadi salah satu indikator dari ketidakseimbangan kedudukan tersangka, terdakwa, atau terpidana dengan penyidik, penuntut hukum, hakim dan advokat dama penegakan hukum di Indonesia.

Berdasrkan kasus - kasus tersebut ada beberapa solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Pertama,  Sangat diperlukan adanya revisi KUHAP terhadap pasal -- pasal yang mengatur tentang pemberian bantuan hukum bagi tersangka yang meliputi hak- haknya, diantaranya Pasal 56 KUHAP, dimana disebutkan bahwa pada pejabat yang memeriksa wajib menyediakan penasehat hukum bagi tersangka, seharusnya ditambahkan dengan kalimat diminta maupun tidak, karena kata wajib masih bersifat rancu bagi penyidik. Begitu juga dengan beberapa pasal yang mengatur tentang peranan Advokat di dalam perlindungan hak tersangka. Dimana tidak berimbangnya peranan advokat dengan pihak penyidik di dalam proses pemeriksaan tersangka, dimana advokat lebih bersifat pasif. Hal itu tentu merugikan kepentingan tersangka.

Kedua, Perlunya sanksi yang jelas bagi penyidik yang tidak memenuhi kewajibannya untuk memberikan pendampingan bantuan hukum bagi tersangka terhadap hak- haknya. Dimana sanksi yang akan diberikan kepada penyidik adalah batalnya BAP yang dijadikan dasar pemeriksaan di pengadilan apabila pihak penyidik tidak melakukan atau melaksanakan hak -- hak tersangka sebagaimana yang telah diatur oleh KUHAP

Ketiga, Perlunya pengawasan dari Internal kepolisian terhadap perlindungan hak---hak tersangka, dimana bagi penyidik yang melalaikan peranan advokat di dalam pemeriksaan tersangka akan diberikan sanksi yang keras, diantaranya penurunan pangkat, dan sebagainya.

Keempat, Perlunya diberikan penyuluhan hukum bik bagi aparat penegak hukum maupun masyarakat perihal ketentuan- ketenuan yang ada di dalam KUHAP. Sehingga mereka dapat mengetaui hak dan kewajibannya apabila berhubungan dengan perbuatan pidana.

Solusi - solusi tersebut dapat membantu mengatasi masalah bantuan hukum dalam perlindungan hak asasi terdakwa dalam peoses perasilan pidana. Namun, untuk mencapai solusi yang optimal, dengan memastikan terdakwa memiliki pemahaman yang jelas terhadap tuduhan yang dihadapkan kepada mereka.

Selain itu, upaya perlindungan hak asasi terdakwa juga penting dalam memastikan bahwa terdakwa tidak diperlakukan secara tidak manusiawi atau sewenang-wenang selama proses peradilan. Hal ini termasuk hak untuk tidak disiksa atau diperlakukan dengan cara yang tidak manusiawi, hak untuk mendapatkan informasi yang lengkap tentang dakwaan terhadap mereka, hak untuk menghadiri sidang pengadilan secara adil, dan hak untuk menghadirkan saksi dan bukti guna membela diri.

Perlu diingat bahwa semua orang dianggap tidak bersalah sampai terbukti secara sah dan adil bersalah di hadapan pengadilan. Oleh karena itu, bantuan hukum dan perlindungan hak asasi terdakwa adalah aspek penting dalam memastikan keadilan dan keabsahan proses peradilan pidana.

Sumber :

Novita Eleanora, Fransiska. (2012). Bantuan Hukum Dan Perlindungan Hak Asasi  Manusia  Bagi  Tersangka. Lex Jurnalica Volume 9 Nomor 3

Agustinus Edy Kristianto dan Patra M. Zen. 3Panduan Bantuan Hukum Di Indonesia. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007.

Bambang Poernomo. 3Pola Dasar Teori - Asas Umum Hukum Acara Pidana dan Penegak Hukum Pidana. Liberty, Yogyakarta. 1993

M. Yahya Harahap. 3Pembahasan Permasalahan Penerapan KUHAP. Jilid I dan II. Sarana Bakti Semesta. Jakarta. 1985

The United Nations Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners (the Nelson Mandela Rules). United Nations General Assembly. 2015. Diakses pada 2023- 05-21

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun