Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya akan kami tulis sebagai BUMN merupakan badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan modal secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang telah dipisahkan. BUMN sendiri dibedakan menjadi dua, yaitu BUMN yang berbentuk Perusahan Umum (Perum) dan BUMN yang berbentuk Perusahaan Persero (Persero).Â
Perum adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham dengan tujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan jasa bermutu tinggi dan mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. Sedangkan, dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas diatur bahwa Perseroan Terbatas adalah badan hukum dengan persekutuan modal.Â
Artinya, persero adalah suatu badan yang didirikan berdasarkan perjanjian dan melakukan usaha dengan modal dalam bentuk saham dan bukan merupakan kepemilikan tunggal. Sementara, PT Persero ialah Badan Usaha Milik Negara yang dikelola oleh negara melalui sistem bagi hasil atau profit oriented. Akan tetapi, dalam sebuah BUMN, negara setidak-tidaknya harus memiliki 51% dari modal dalam bentuk saham agar tetap dapat memperoleh keuntungan.
Setiap persero dipimpin langsung oleh seorang direksi. Dan tentu saja, setiap keputusan yang diambil oleh direksi merupakan suatu hal yang begitu krusial, sehingga tak jarang direksi perseroan yang notabenenya memiliki tugas dan wewenang untuk menjalankan pengurusan perseroan, justru terjerat permasalahan hukum sebagai akibat dari keputusan atau kebijakan yang dibuatnya.Â
Setiap orang tentu saja menginginkan keuntungan sebesar-besarnya bagi bisnis yang ia miliki. Namun, dalam praktiknya dunia bisnis sangatlah dinamis dan sulit untuk diprediksi, maka dari itu tidak menutup kemungkinan bisnis yang semula diperkirakan akan mendatangkan keuntungan yang masif justru mendatangkan kerugian yang begitu besar, atau mungkin bagi sebuah persero mengakibatkan kerugian keuangan negara.
Lalu, apakah direksi harus bertanggung jawab atas kerugian yang mungkin saja merupakan akibat dari keputusan yang ia ambil? Dalam hal ini, dikenal sebuah doktrin yang bernama Business Judgement Rules. Business Judgement Rules merupakan suatu konsep dimana direksi perseroan tidak dapat dibebankan tanggung jawab secara hukum atas keputusan yang diambilnya meskipun keputusan itu menimbulkan kerugian bagi perusahaan. Doktrin ini seringkali disebut sebagai immunity doctrine yang memberi perlindungan bagi direksi apabila akibat yang ditimbulkan atas suatu keputusan bisnis tidak terlaksana seperti rencana.Â
Dari sini, kami melihat bahwa pembatas yang ada di antara kesewenang-wenangan direksi dan risiko bisnis begitu tipis. Yang mengakibatkan sulit dibedakannya apakah suatu kerugian persero itu memang murni merupakan risiko bisnis ataukah merupakan akibat dari tindakan sewenang-wenang dari seorang atau bahkan sekumpulan direksi.
Untuk melihat pembatas yang begitu tipis ini, perlu kita ketahui terlebih dahulu bahwa penerapan Business Judgement Rules di Indonesia diatur dalam  Pasal 97 ayat (5) UU Perseroan Terbatas yang berbunyi:
Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:
kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
Berdasarkan pengaturan yang bersifat kumulatif di atas, maka dapat kita ketahui bahwa doktrin business judgement rule dapat menjadi perisai bagi direksi, sepanjang keputusan yang dibuatnya dilakukan dengan: itikad baik, tujuan serta cara yang benar, dasar yang rasional, dan kehati-hatian.
Sedangkan, perlu kita perhatikan dengan seksama bahwa artinya direksi tidak dapat berlindung di bawah doktrin business judgement rule ini apabila keputusan yang diambilnya mengandung unsur: fraud, conflict of interest, illegality, dan gross negligence.
Jadi, sebenarnya fokus penerapan doktrin business judgement rule ini terletak pada mekanisme dan prosedur yang ditempuh oleh sang direksi sebelum mengambil suatu keputusan, bukan merujuk pada isi keputusan itu sendiri. Dalil business judgement rule akan berkaitan erat dengan ada atau tidaknya unsur kesengajaan, yakni mengetahui (willens) dan menghendaki (wettens), pada diri sang direksi saat mengambil keputusan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H