Mohon tunggu...
Zahrotul Husna
Zahrotul Husna Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Seberang Pelangi

3 Agustus 2018   06:12 Diperbarui: 3 Agustus 2018   08:02 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kalau bisa saya ingin berbicara, Guh. Meski saya tidak tahu apa-apa. Meski saya hanya mendengar asumsi. Intinya saya harus berbicara." ujarku saat aksi itu masih berjalan cukup khidmat.

Selang waktu. Pusat perhatian bertuju padaku. Semesta seakan membacanya. Mungkin dipikiran mereka aku adalah wanita tak tahu malu. Mungkin dipikiran mereka aku adalah wanita yang penuh bisuan asumsi.

"Saya gadis dan saya tak peduli lelaki siapa kalian. Gadis sekarang harus banyak dijunjung martabatnya. Mau bagaimana kejadiannya. Wanita lebih mulia. Tetapi tidak untuk seorang imam. Begitulah kiranya. Jika tidak suka dengan kata-kata saya. Kalian bisa melempari saya batu itu. Sebesar apapun. Hantam saja. Intinya wanita itu mahkota, mulia!"

Kata-kata itu melesat cepat pada telinga salah satu lelaki, namanya Tegar. Bukan sekadar terngiang dalam hatinya. Tapi darahnya seakan beruang limpah. Gimana tidak terbaca? Pandangannya jatuh padaku.

"Ujarnya memang biasa, tetapi hatinya bak pelangi. Seperti namanya." Batin Tegar dalam hatinya. Nampaknya bukan lagi soal koalisi. Bukan tentang jabatan para cakrawati. Bahkan permasalahan para borjuis tentang pendapatan sehari-hari.

"Intinya aku sudah berbicara di depan. Wes salah, wes bener. Pokoknya aku ya udah ngikut bicara. Orang akan beranggapan apa tentangku. Intinya wanita itu bukan hanya tentang sapu. Wanita bisa bicara kapan saja selagi sesuai koridor yang berlaku. Wanita masih bisa sumbangsih dalam terjun ke masyarakat." Ujarnya dalam hati sembari kembali ke medan peserta. Hatinya lega. Semoga tidak ada permasalahan setelah ini. Atau hanya sekedar menyapa hai dalam akun media sosial. Atau bertanya-tanya suatu orasi. Bicara tentang saling memahami. Atau jangan-jangan segera diakad. Semua tentang hal yang mustahil kan? Hehe.

Ufuk barat semakin menua tandanya. Jauh dari seribu doa yang terpanjat. Sudah sumbangsih rangkaian doa untuk para pejuang nusantara. Waktunya pulang, pun ada yang menjanggal. Namaku pelangi. Betul. Tetapi apakah pelangi bisa disapa? Anehnya, aku mendengar nama pelangi terngiang tepat di telingaku. Aku tak acuh.

Kedua kalinya.

Ketiga kalinya. Oh masih sama. Sebutan pelangi. Kuberanikan diri memalingkan wajahku ke belakang. Aku tak mengenalinya. Rupanya saja aku tak ingin melihat. Bukan karena aku dengki hati. Rupanya dan nyatanya. Aku harus dan wajib menjaga apa yang harusnya terjaga.

"Pelangi. Selamat hari wanita. Selamat menjadi wanita akademisi. Selamat menjadi wanita terhormat." Panggilnya padaku sembari menyodorkan beberapa bunga. Aku cukup terbahak-bahak dalam lamunan. Bukan realitanya. Dia sekadar meminta jawaban sama-sama dariku. Tidak semudah itu.

"Maaf, harga diri dan kembali kasihku tak bisa ditukar dengan bunga." Jawabku seraya menolak. Begitulah kiranya. Begitulah yang diajarkan mama. Wanita itu didefinisikan apa saja tetaplah mulia. Kalau bisa kiranya jangan disetarakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun