Di Seberang PelangiÂ
Karya: Zahrotul Husnah
Rintik suara hujan sore ini jatuh di atas genting laksana instrument alam  membentuk sebuah melodi yang indah di telingaku. Semburat matahari menyongsong dua bola mataku pada debu-debu nan kecil.Â
Luka, paras, jiwa, serta bayang-bayangku. Laksana kesaksian bisu atas cucuran darah ini. Sinar mentari pun terhalang oleh sepoian tenangnya. Coba kupejamkan mata akan sentuhan lembut menerpa kulit.Â
Namaku pelangi. Hidupku selalu penuh warna. Begitulah rupanya. Meski hari sudah sore, langit mendung membuat suasana layaknya pagi buta. Aku berharap mendung hanya mendung. Bukan menjelma rinai hujan. Orang akan malas keluar kalau hujan datang. Apalagi akhir-akhir ini jalanan kerap tergenang air.
Namaku pelangi. Jauh sejak lamunan itu mulai berdikari. Aku sengaja menyongsong pilu yang tertanam di hati. Agar tak jauh-jauh aku menelan pedih peri pada qalbi. Jarum jam terus bedentang. Semua takkan habis oleh waktu. Sama halnya dengan kamu. Waktu dimana aku berdiri pilu tanpa ragu. Maju tanpa ragu siapakah diriku.Â
Tak lain hal itu. Aku lebih tidak peduli, siapa gerangan juara cakrawati, siapa gerangan para pemuak otoriter, siapa gerangan oknum-oknum yang lupa siapakah dirinya. Aku memberanikan diri menapaki setapak demi setapak. Sebenarnya bibirku menganga rupa. Badanku menggigil. Sedikit resah tanpa acuan hendak bagaimana langkah selanjutnya.
"Aku seorang gadis. Tapi aku tak ambil diam jika itu salah." batinku dalam diri.Â
Aku tengah berpikir betapa hidup ini hampa. Hening begitu mencekam tiap sudut ruanganku. Setangkai sunyi yang mulai aku temukan di beberapa titik penghidupan.Â
Aku temukan beberapa bunga kecoklatan pertanda kebusukan. Ibarat saja 'sesuatu hal yang baik di luar belum tentu baik di dalam'. Aku baru saja melipat dahiku, berpikir perlahan tentang persoalan hidup.
Sore itu, pelangi terlihat jelas. Terik matahari masih bersembunyi. Bukan masalah hal malu dan tidak, berani atau pengecut.
"Kalau bisa saya ingin berbicara, Guh. Meski saya tidak tahu apa-apa. Meski saya hanya mendengar asumsi. Intinya saya harus berbicara." ujarku saat aksi itu masih berjalan cukup khidmat.
Selang waktu. Pusat perhatian bertuju padaku. Semesta seakan membacanya. Mungkin dipikiran mereka aku adalah wanita tak tahu malu. Mungkin dipikiran mereka aku adalah wanita yang penuh bisuan asumsi.
"Saya gadis dan saya tak peduli lelaki siapa kalian. Gadis sekarang harus banyak dijunjung martabatnya. Mau bagaimana kejadiannya. Wanita lebih mulia. Tetapi tidak untuk seorang imam. Begitulah kiranya. Jika tidak suka dengan kata-kata saya. Kalian bisa melempari saya batu itu. Sebesar apapun. Hantam saja. Intinya wanita itu mahkota, mulia!"
Kata-kata itu melesat cepat pada telinga salah satu lelaki, namanya Tegar. Bukan sekadar terngiang dalam hatinya. Tapi darahnya seakan beruang limpah. Gimana tidak terbaca? Pandangannya jatuh padaku.
"Ujarnya memang biasa, tetapi hatinya bak pelangi. Seperti namanya." Batin Tegar dalam hatinya. Nampaknya bukan lagi soal koalisi. Bukan tentang jabatan para cakrawati. Bahkan permasalahan para borjuis tentang pendapatan sehari-hari.
"Intinya aku sudah berbicara di depan. Wes salah, wes bener. Pokoknya aku ya udah ngikut bicara. Orang akan beranggapan apa tentangku. Intinya wanita itu bukan hanya tentang sapu. Wanita bisa bicara kapan saja selagi sesuai koridor yang berlaku. Wanita masih bisa sumbangsih dalam terjun ke masyarakat." Ujarnya dalam hati sembari kembali ke medan peserta. Hatinya lega. Semoga tidak ada permasalahan setelah ini. Atau hanya sekedar menyapa hai dalam akun media sosial. Atau bertanya-tanya suatu orasi. Bicara tentang saling memahami. Atau jangan-jangan segera diakad. Semua tentang hal yang mustahil kan? Hehe.
Ufuk barat semakin menua tandanya. Jauh dari seribu doa yang terpanjat. Sudah sumbangsih rangkaian doa untuk para pejuang nusantara. Waktunya pulang, pun ada yang menjanggal. Namaku pelangi. Betul. Tetapi apakah pelangi bisa disapa? Anehnya, aku mendengar nama pelangi terngiang tepat di telingaku. Aku tak acuh.
Kedua kalinya.
Ketiga kalinya. Oh masih sama. Sebutan pelangi. Kuberanikan diri memalingkan wajahku ke belakang. Aku tak mengenalinya. Rupanya saja aku tak ingin melihat. Bukan karena aku dengki hati. Rupanya dan nyatanya. Aku harus dan wajib menjaga apa yang harusnya terjaga.
"Pelangi. Selamat hari wanita. Selamat menjadi wanita akademisi. Selamat menjadi wanita terhormat." Panggilnya padaku sembari menyodorkan beberapa bunga. Aku cukup terbahak-bahak dalam lamunan. Bukan realitanya. Dia sekadar meminta jawaban sama-sama dariku. Tidak semudah itu.
"Maaf, harga diri dan kembali kasihku tak bisa ditukar dengan bunga." Jawabku seraya menolak. Begitulah kiranya. Begitulah yang diajarkan mama. Wanita itu didefinisikan apa saja tetaplah mulia. Kalau bisa kiranya jangan disetarakan.
Namaku pelangi, jauh di seberang sana aku bisa bernuansa insani. Siapapun bisa melihat pelangi. Siapapun bisa melihat dengan seksama, menikmati keindahannya.
Maaf, tapi tidak denganku. Gadis pelangi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H