Mohon tunggu...
Zahrotul Husna
Zahrotul Husna Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pemecah Batu Pejuang Maroko

5 November 2017   14:41 Diperbarui: 5 November 2017   15:02 655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Gumpalan mendung di langit kelam. Kilat tiada henti bersabung dengan latar langit pekat diikuti gelagar petir yang memekakkan telingaku. Fajar menyingsing namun semburat matahari sirna seketika. Aku merindukan ayah. Aku terngiang paksaan ayah akan sekolahku yang seharusnya kulanjutkan. Lantas, hasrat sirna. Ayah tak memiliki biaya kuliah. Kini aku tinggal di tengah para santri Raudhatul Jannah. Biaya menjadi santri tak semahal biaya kuliah. 

Bekerja sebagai anak pemecah batu bagiku lebih baik dibandingkan kuliah yang tak menghasilkan sepeser uangpun untuknya. Tetapi, tetap saja ayah memaksaku. Suara godam terlantur berkala hingga bongkahan batu detik demi detik bergulir terpecahkan sedikit. Berulang kali batu itu didentam oleh godam tetapi ayah tak cukup lelah hingga derasnya keringat yang bercucuran. Teringat ayah dalam benakku, rindu. Itulah ilustrasi yang tak terpecahkan.

"Mondoknya yang tekun, nanti kalau sudah sukses harus membangun Indonesia ya, Nak." Pesan ayah tatkala memboncengku dengan sepeda ontel unik peninggalan almarhum kakekku dahulu. Letak pesantren itu tak jauh. Kira-kira membutuhkan waktu enam puluh menit untuk singgah di sana. Namun, itu cukup melelahkan. Melalui pohon-pohon besar, hutan rimba, sungai yang harus diseberangi dengan arus cukup besar, serta jalan bebatuan.

Hujan terbiasa dengan sendu, terkesan membawa pilu. Serambi masjid itu basah, baru saja dihujani air. Tersadar, sesosok pemuda caung membuyarkan lamunanku. Para santri terbiasa dengan perlakuan usilnya. Apalagi santri awam sepertiku. Acap kali perkataannya bak duri menyayat hati. Pemuda itu selalu mencerca para santri di sela aktivitas nyantren, khususnya aku. Langkahnya seringkali menghujat kami bak preman santri. Tapi, hal itu tak membuat langkahku berhenti sampai di sini.

"Anak pemecah batu memang tidak pantas berada di sini. Masih betah saja. Apa yang hendak dibanggakan Gus Ayi?" gumamnya meremehkanku sembari menyenggol lenganku. Rifky atau sering dipanggil Petit, itulah nama yang kudengar. Lantas ia berlalu menuju kelas diniyah dekat ndalem Gus Ayi. Pondok pesantren ini khusus ikhwan yang tak mampu biaya kuliah. Aktivitasnya hanya mengaji, kajian Islam, riyadhoh, tahfidzul quran, dan wawasan dunia. Maklum saja, pesantren ini belum diakui pemerintah.

Lantas, aku mengikuti jejak langkah Petit menuju kelas diniyah. Ahad siang setelah salat zuhur, jadwal pemaparan wawasan dunia.

Jarum jam terus berputar pertanda waktu terus berganti. Mentari pun berdiam diri menjadi saksi di balik produsen air yang membasahi bumi. Rintik hujan kian deras membahasi bumi. Ketekunan dan keuletanku terus membara setiap hari. Semangatku untuk mencari ilmu terus berkobar. Rasanya seperti jihad di medan perang. Ini semua demi Allah, orang tua, dan Indonesia. Enam bulan terakhir,  diniyah  tersirat dalam benakku. Mulai dari shorof, nahwu, fiqih, dan sebagainya. Dalam waktu tiga bulan, aku mampu menghafal 30 juz alquran. Mereka memanggilku santri favorit. Sebab itu, petit iri dan sering kali membullyku. Yusuf, salah satu santri yang tak pernah memojokkanku. Ia santri pendiam nan gigih dalam belajar. Orang tuanya telah meninggal tatkala memecah batu di lembah Gunung Agung. Yusuf sering kali dipanggil Madun. Ia adalah sahabat yang selalu memotivasiku. Bijak lakunya. Ayahnya bermimpi Madun menjadi Menteri Pembangunan yang simpatik terhadap para pemecah batu di pelosok daerah yang tak teracuhkan oleh para cakrawati.  Darinya, mimpi terasa dekat dan tergenggam erat.

"Masa kini apa-apa sudah bertendensi, belum lagi pemuda-pemudanya. Dunia barat diikuti, sebaliknya melemahkan peradaban Indonesia. Para mobrokasi wilayah pelosok tak teracuhkan pemerintahan pusat. Kalian harus memiliki peran menjadi santri yang bertajuk akhlakul karimah yang tinggi. Modal otak London, modal agama Islam, modal tekad jihad yang kuat, modal tauhid yang berhati suci, dan modal lulusan pesantren. Ingat Gus Dur? Beliau salah satu tokoh yang patut diteladani. Pesantren sudah menjadi bagian besar Indonesia. Santrinya juga harus mengambil bagian." Papar Gus Ayi tatkala diniyah berlangsung. Rasanya wasiat itu seperti misteri. Memecahkan segudang rahasia yang harus dikuak oleh santri. Aku mulai berpikir keras. Memikirkan masa depan yang dibanggakan orang tua.

"Tugasku adalah belajar. Kesempatan menjadi santri Indonesia yang sukses tepat di depan mata. Memiliki ambisi menjadi Menteri Koordinator Perekonomian yang bernuansakan latar santri dari anak pemecah batu. Itu sungguh luar biasa," batinku.

Seketika. Gemuruh angin mengiang-ngiang di telinga kami. Bangunan terombang-ambing. Kilat tiada henti. Bumi bak terdorong oleh terjangan angin di pelataran cakrawala. Pusaran angin meliuk ke bumi mencerabuti pepohonan sekitar pondok pesantren. Dedaunan gugur, serpihan genting itu menimpa kami tatkala diniyah berlangsung. Genting itu pecah tersembar petir hingga melukai ubun kepala Gus Ayi. Hujan tercecah pada dinding lantai kelas diniyah hingga bocor membasahi lantai. Gus Ayi tergeletak lemas. Hujan mengguyur tanpa iba menghujani pondok kecil ini. Sementara itu, aku menopang kuat badanku dan berdiri menyelamatkan Gus Ayi yang terkulai lemas akibat pecahan genting jatuh tepat di pelupuk matanya.

   "Astaghfirullahaladzim." Gus Ayi pingsan. Aku dan teman-teman sigap membawanya ke serambi masjid. Kami tersedu sedan. Kesedihan ini menggetarkan relung-relung jiwa dalam sanubari. Aku melihat di sudut ruang, Badan Petit tertelungkup lemas kesakitan. Pikiranku kacau. Kupanggil teman lainnya untuk mengangkat ke serambi masjid. Bencana di tengah ulama, itu menggurat kesedihan di tengah para santri. Menunggu waktu. Gus Ayi segera dibawa ke ndalem dan Petit mulai sadarkan diri.

Beberapa jam kemudian.

"Bagaimana keadaan Gus Ayi, Guh?" tanya Petit padaku. Aku terdiam menatap tepat pada titik bola mata Petit. Kuterkesiap oleh perubahan lakunya.

"Maafkan aku ya, Teguh. Kita sahabat kan?" kalimat itu menyela lamunanku. Aku mengangguk pelan lantas tersenyum.

"Pedang itu tajam, namun bukan milikku. Tak pernah kusimpan dendam masa lalu di lembaran kini. Itu haram," jawabku pada Petit tegas.

Kami bersahabat. Aku, Petit, dan Madun. Pencarian ilmu ini terasa nikmat memiliki sahabat seperti mereka. Ibarat mentari yang bersinar membawa kita ke jalan Allah. Cukup indah. Kehidupan sesuai nasib, sporadis selalu menyertai. Impian menjadi santri untuk kebanggaan Indonesia membara dalam relung jiwa. Menengadah sekeliling sudut pondok pesantren ini. Rupanya bangunan mulai rapuh, tak kokoh lagi. Berpikir darimana untuk membangun pesantren ini? Gus Ayi sudah berusia lima puluh tahun ke atas dan ambisi menetap di pondok ini begitu besar. Bahkan Ustaz Arif dan Ustaz Jamal usianya tak jauh dari Gus Ayi.

Aku terdiam membisu. Lantas Tuhankah berbicara? Yakin, Allah bersaksi atas manusia yang berikhitar dalam kehidupannya. Beberapa hari terakhir terdengar kabar burung, pondok pesantren ini akan digusur masyarakat sekitar. Alasannya bangunan ini tak berguna. Gus Ayi mendirikan tanpa izin pemerintah. Karena tekadnya untuk Indonesia, Gus Ayi tetap memaksa mendirikan tanpa surat izin pemerintah. Pantas saja masyarakat sekitar tak acuh. Salahkah Gus Ayi? Mempertahankan pendidikan agama di pesantren demi mendidik karakter santri Indonesia yang tak mampu.

Tanah seakan gersang bak penghuni 'kan tenggelam. Aku memutuskan pulang demi kerinduanku pada ayah. Meninggalkan sembilan kawan sejawatku, Gus Ayi, Ustaz Arif, dan Ustaz Jamal. Aku tega. Tatkala suasana mereka dihalau bencana. Meninggalkan pesantren tanpa sepengetahuan mereka.

Tak peduli jarak menerpa. Kulangkah kaki secepat kilat menyeberangi sungai. Menerjang hujan begitu deras menjamahku, membuat wajah terasa ngilu. Batin ini mengundang duka. Mengapa harus khawatir jika mengundang takdir, seribu pedang pun pasti menyingkir. Apa yang terjadi pada Ayah? Ku percepat langkah ini hingga lelah ku jumpa. Tepat lima puluh meter dari gubuk kecilku, ramai dari kejauhan. Tak seperti biasanya gubuk kecil penuh bebatuan di sekeliling itu ramai oleh kerumunan baju hitam. Jantung berdebar. Rasanya seperti kematian. Ayahku telah tiada. Hujan ini mengalirkan air mataku kembali. Tubuh kupeluk dengan kedua tangan. Merasakan sakit yang tak sirna sebab meninggalnya ayah. Tetap tegar tatkala melihat Ayah terbujur kaku di bawah kain penutup batik tanpa napas. Langit seakan hitam pekat menjadi saksi kematian.

"Teguh, benar Teguh?" tanya lelaki yang rupanya adalah tetanggaku. Aku tercekam di sela tangis lantas mengangguk pelan.

"Ayahmu tertimpa batu di dinding bukit sana, Guh," papar lelaki itu sembari menunjuk ke arah tenggara. Ayah menitip wasiat pada lelaki itu. Aku mengenalnya. Ia menitip nasihat untuk memberikan segudang bongkahan batu di samping gubuk kecil. Rupanya ayah telah mengetahui kabar burung penggusuran pesantren sedari dulu. Ayah bekerja sebagai pemecah batu untuk masa depanku dan pembangunan pesantren. Itu alasan ayah memondokkanku. Membangun pesantren di wilayah gubuk kecilku ini. Cukup luas.

Matahari membakar kulitku. Debu-debu berhamburan menyela pemakaman Ayah. Langkahku menuju makam bak menyongsong bongkahan batu besar. Napasku lega. Batu itu memunculkan rasa duka yang terselinap. Aku mencoba memalingkan kebencian itu. Terbayangkan wasiat ayah menegaskanku untuk membangun pesantren.

"Selamat jalan, Ayah. Teguh janji jadi santri yang baik, gagah, salih seperti Ayah." batinku seusai upacara pemakaman.

Selepas pemakaman aku bergegas kembali ke pesantren. Memenuhi panggilan nyantri lagi. Godam wasiat ayah kubawa. Barang itu merujukku pada mobilitas semangat yang tinggi. Tak jauh dari gubuk kecilku. Ku tatap dari kejauhan bangunan roboh dengan tanah. Langkahku terhenti bak temui duri dalam diri. Mengapa pesantrenku hancur dengan tanah? Di mana mereka? Di mana sejuta khalayan yang sedari dulu kurajut? Sudahkah kepingan luka terjadi? Rupanya, penggusuran menjadi saksi bisu nyata. Dunia berpura-pura tersenyum. Rinduku sesak tertahan di dada, sembari mengelus dada dengan erat. Aku masih berdiri tegap lima meter dari bangunan roboh. Rindu dinding tua itu.
            "Teguh, Teguh!" pekik itu mengenalkanku pada suara Petit, sahabatku. Kupandangi sosok di bawah pohon trembesi itu. Menatap jelas arah bola mataku pada segenap lelaki berkopyah hitam serta seorang kyai duduk di atas kursi roda, Gus Ayi. Diperjelas kembali oleh mereka serentak memanggil namaku. Aku tertegun. Lantas menemui mereka dengan senyum kerinduan sisa tangis senja tadi. Mereka terselubung nista. Menangis di bawah rindang pohon yang terunjuk bahagia. Sebaliknya mereka, meneguk minuman dari tangisannya. Kehilangan pondok pesantren seperti luka mendalam.

"Gus Ayi, pesantren kita sudah roboh. Lantas kita hendak ke mana? tanya Somad yang sedang sembunyikan isaknya. Teguh menatap Somad sinis. Teguh merasa pertanyaan itu tak layak ditanyakan dalam kondisi seperti ini.

"Tenang saja, Gus Ayi. Kita bangun pondok pesantren di gubuk kecilku. Ayah mewasiatkan tanah itu untuk pembangunan pesantren. Alhamdulillah, tanahnya cukup luas untuk pembangunan pesantren. Masalah biaya, Ayah sudah meninggalkan beberapa material di sana." Aku menenangkan mereka.

Tanpa menyita waktu. Aku mengajak mereka berbondong-bondong menuju gubuk kecilku. Waktu tempuhnya yang begitu lama, menyisakan tangis yang kunjung reda. Perjalanannya seperti para pahlawan bangsa. Tekad besar menjadi santri untuk Indonesia. Santri berwibawa penyemangat kokoh pesantren ini. Perjalanan jauh menyusuri hutan rimba, sungai yang harus diseberangi, burung prenjak yang merias langit di balik duka hitam hati kami, lantas mendaki perbukitan, dan tibalah tepat di depan gubuk kecilku. Mereka menatap heran dengan bongkahan batu besar, gundukan pasir dan kerikil, serta beberapa sak semen sisa tetangga sebelah yang sudah meninggalkan rumahnya begitu saja. Menatap penuh syukur. Rasa bangga padaku, sang lelaki pemecah batu.
            Beberapa hari berlangsung cepat. Bangunan setengah jadi terlihat. Aku bertekad mencari bantuan. Rupanya bantuan itu datang berbondong-bondong menjumpa kami dalam naungan. Pesantren kami pelosok. Pemerintah bangga terhadap semangat juang para santri Pondok Pesantren Raudhatul Jannah. Semangat juangku sebagai santri pemecah batu tak pupus harapan untuk mencari dana bantuan di kawasan kantor daerah. Aku berusaha mengobarkan semangat juang santri lainnya. Memecahkan batu, mencangkul tanah, dan memotong seonggok kayu terbayarkan kesuksesan.  Pemerintah mengulur dana bak deras air sungai tak ada habisnya sebelum pesantren itu tuntas dibangun.

Lambat laun, Pesantren Raudhatul Jannah semakin terkenal di tengah perkotaan. Santrinya melimpah ruah menjadi ratusan. Santri kurang mampu ditarik masuk para ustaz pesantren ini. Banyak para guru di perkotaan menuju desa ini mencari Pondok Pesantren Raudhatul Jannah, mencari Teguh. Ya, namaku yang sederhana ini semakin dikenal orang. Teguh sang hafiz quran kebanggaan Gus Ayi. Metode ingatan yang kuat.

"Alhamdulilah, Allah menciptakan manusia sepintar kamu, Nak," Lamunanku tersentak dan terpaku memandang Gus Ayi, lantas menunduk malu dan tesenyum.

"Teguh, ini ada surat dari Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Bali. Kamu mendapat beasiswa, Guh. Beasiswa kuliah ke Maroko, Negeri Seribu Bintang. Beasiswa untuk hafiz quran 30 juz." Gus Ayi menjelaskan pada Teguh penuh haru.

Aku ingin hidup! Ingin merasakan sari pati hidup. Aku ingin ke tempat yang jauh, menjumpai beragam bahasa dan orang-orang asing. Aku ingin berkelana menemukan arahku dengan membaca gemintang. Aku ingin kehidupan yang penuh penaklukan. Aku ingin hidup mendaki puncak tantangan, menggoda marabahaya. Ku pegang erat tiket keberangkatan menuju Maroko yang mendarat di Bandar Udara Internasional Mohammed V. Impian sebagai Menteri Koordinator Perekonomian memang tak terwujudkan. Setidaknya, Indonesia pernah kubanggakan di Maroko. Hingga namaku berada pada nomor urut 15 dari 100 negara dalam lomba hafiz quran tingkat Universitas Islam se-Dunia. Impian sang pemecah batu memang termaktub besar, hingga luka terbalaskan dengan suka.

Perjuangan bersama para sahabat akan membuahkan hasil kesuksesan. Petit mendapatkan beasiswa dari Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Bali untuk kuliah di UGM. Begitupun dengan Yusuf, ia menjadi pengurus tetap Raudhatul Jannah. Pondok Pesantren tersebut menjadi bahan perbincangan masyarakat Bali. Pondok tersebut terkenal dengan metode hafalan qurannya.

Kutunjukkan padamu, Yah. Seorang pemecah batu mampu menjadi saksi dunia. Menjadi pelajar hebat di antara para pelajar borjuis. Bermula dari pesantren untuk Indonesia. Menunjukkan pada dunia bahwa pesantren adalah jembatan menuju surga. Jembatan kebahagiaan untuk dunia dan akhirat. 

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun