"Selamat jalan, Ayah. Teguh janji jadi santri yang baik, gagah, salih seperti Ayah." batinku seusai upacara pemakaman.
Selepas pemakaman aku bergegas kembali ke pesantren. Memenuhi panggilan nyantri lagi. Godam wasiat ayah kubawa. Barang itu merujukku pada mobilitas semangat yang tinggi. Tak jauh dari gubuk kecilku. Ku tatap dari kejauhan bangunan roboh dengan tanah. Langkahku terhenti bak temui duri dalam diri. Mengapa pesantrenku hancur dengan tanah? Di mana mereka? Di mana sejuta khalayan yang sedari dulu kurajut? Sudahkah kepingan luka terjadi? Rupanya, penggusuran menjadi saksi bisu nyata. Dunia berpura-pura tersenyum. Rinduku sesak tertahan di dada, sembari mengelus dada dengan erat. Aku masih berdiri tegap lima meter dari bangunan roboh. Rindu dinding tua itu.
      "Teguh, Teguh!" pekik itu mengenalkanku pada suara Petit, sahabatku. Kupandangi sosok di bawah pohon trembesi itu. Menatap jelas arah bola mataku pada segenap lelaki berkopyah hitam serta seorang kyai duduk di atas kursi roda, Gus Ayi. Diperjelas kembali oleh mereka serentak memanggil namaku. Aku tertegun. Lantas menemui mereka dengan senyum kerinduan sisa tangis senja tadi. Mereka terselubung nista. Menangis di bawah rindang pohon yang terunjuk bahagia. Sebaliknya mereka, meneguk minuman dari tangisannya. Kehilangan pondok pesantren seperti luka mendalam.
"Gus Ayi, pesantren kita sudah roboh. Lantas kita hendak ke mana? tanya Somad yang sedang sembunyikan isaknya. Teguh menatap Somad sinis. Teguh merasa pertanyaan itu tak layak ditanyakan dalam kondisi seperti ini.
"Tenang saja, Gus Ayi. Kita bangun pondok pesantren di gubuk kecilku. Ayah mewasiatkan tanah itu untuk pembangunan pesantren. Alhamdulillah, tanahnya cukup luas untuk pembangunan pesantren. Masalah biaya, Ayah sudah meninggalkan beberapa material di sana." Aku menenangkan mereka.
Tanpa menyita waktu. Aku mengajak mereka berbondong-bondong menuju gubuk kecilku. Waktu tempuhnya yang begitu lama, menyisakan tangis yang kunjung reda. Perjalanannya seperti para pahlawan bangsa. Tekad besar menjadi santri untuk Indonesia. Santri berwibawa penyemangat kokoh pesantren ini. Perjalanan jauh menyusuri hutan rimba, sungai yang harus diseberangi, burung prenjak yang merias langit di balik duka hitam hati kami, lantas mendaki perbukitan, dan tibalah tepat di depan gubuk kecilku. Mereka menatap heran dengan bongkahan batu besar, gundukan pasir dan kerikil, serta beberapa sak semen sisa tetangga sebelah yang sudah meninggalkan rumahnya begitu saja. Menatap penuh syukur. Rasa bangga padaku, sang lelaki pemecah batu.
      Beberapa hari berlangsung cepat. Bangunan setengah jadi terlihat. Aku bertekad mencari bantuan. Rupanya bantuan itu datang berbondong-bondong menjumpa kami dalam naungan. Pesantren kami pelosok. Pemerintah bangga terhadap semangat juang para santri Pondok Pesantren Raudhatul Jannah. Semangat juangku sebagai santri pemecah batu tak pupus harapan untuk mencari dana bantuan di kawasan kantor daerah. Aku berusaha mengobarkan semangat juang santri lainnya. Memecahkan batu, mencangkul tanah, dan memotong seonggok kayu terbayarkan kesuksesan.  Pemerintah mengulur dana bak deras air sungai tak ada habisnya sebelum pesantren itu tuntas dibangun.
Lambat laun, Pesantren Raudhatul Jannah semakin terkenal di tengah perkotaan. Santrinya melimpah ruah menjadi ratusan. Santri kurang mampu ditarik masuk para ustaz pesantren ini. Banyak para guru di perkotaan menuju desa ini mencari Pondok Pesantren Raudhatul Jannah, mencari Teguh. Ya, namaku yang sederhana ini semakin dikenal orang. Teguh sang hafiz quran kebanggaan Gus Ayi. Metode ingatan yang kuat.
"Alhamdulilah, Allah menciptakan manusia sepintar kamu, Nak," Lamunanku tersentak dan terpaku memandang Gus Ayi, lantas menunduk malu dan tesenyum.
"Teguh, ini ada surat dari Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Bali. Kamu mendapat beasiswa, Guh. Beasiswa kuliah ke Maroko, Negeri Seribu Bintang. Beasiswa untuk hafiz quran 30 juz." Gus Ayi menjelaskan pada Teguh penuh haru.
Aku ingin hidup! Ingin merasakan sari pati hidup. Aku ingin ke tempat yang jauh, menjumpai beragam bahasa dan orang-orang asing. Aku ingin berkelana menemukan arahku dengan membaca gemintang. Aku ingin kehidupan yang penuh penaklukan. Aku ingin hidup mendaki puncak tantangan, menggoda marabahaya. Ku pegang erat tiket keberangkatan menuju Maroko yang mendarat di Bandar Udara Internasional Mohammed V. Impian sebagai Menteri Koordinator Perekonomian memang tak terwujudkan. Setidaknya, Indonesia pernah kubanggakan di Maroko. Hingga namaku berada pada nomor urut 15 dari 100 negara dalam lomba hafiz quran tingkat Universitas Islam se-Dunia. Impian sang pemecah batu memang termaktub besar, hingga luka terbalaskan dengan suka.
Perjuangan bersama para sahabat akan membuahkan hasil kesuksesan. Petit mendapatkan beasiswa dari Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Bali untuk kuliah di UGM. Begitupun dengan Yusuf, ia menjadi pengurus tetap Raudhatul Jannah. Pondok Pesantren tersebut menjadi bahan perbincangan masyarakat Bali. Pondok tersebut terkenal dengan metode hafalan qurannya.
Kutunjukkan padamu, Yah. Seorang pemecah batu mampu menjadi saksi dunia. Menjadi pelajar hebat di antara para pelajar borjuis. Bermula dari pesantren untuk Indonesia. Menunjukkan pada dunia bahwa pesantren adalah jembatan menuju surga. Jembatan kebahagiaan untuk dunia dan akhirat.Â