Mohon tunggu...
Zahrotul Husna
Zahrotul Husna Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pemecah Batu Pejuang Maroko

5 November 2017   14:41 Diperbarui: 5 November 2017   15:02 655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa jam kemudian.

"Bagaimana keadaan Gus Ayi, Guh?" tanya Petit padaku. Aku terdiam menatap tepat pada titik bola mata Petit. Kuterkesiap oleh perubahan lakunya.

"Maafkan aku ya, Teguh. Kita sahabat kan?" kalimat itu menyela lamunanku. Aku mengangguk pelan lantas tersenyum.

"Pedang itu tajam, namun bukan milikku. Tak pernah kusimpan dendam masa lalu di lembaran kini. Itu haram," jawabku pada Petit tegas.

Kami bersahabat. Aku, Petit, dan Madun. Pencarian ilmu ini terasa nikmat memiliki sahabat seperti mereka. Ibarat mentari yang bersinar membawa kita ke jalan Allah. Cukup indah. Kehidupan sesuai nasib, sporadis selalu menyertai. Impian menjadi santri untuk kebanggaan Indonesia membara dalam relung jiwa. Menengadah sekeliling sudut pondok pesantren ini. Rupanya bangunan mulai rapuh, tak kokoh lagi. Berpikir darimana untuk membangun pesantren ini? Gus Ayi sudah berusia lima puluh tahun ke atas dan ambisi menetap di pondok ini begitu besar. Bahkan Ustaz Arif dan Ustaz Jamal usianya tak jauh dari Gus Ayi.

Aku terdiam membisu. Lantas Tuhankah berbicara? Yakin, Allah bersaksi atas manusia yang berikhitar dalam kehidupannya. Beberapa hari terakhir terdengar kabar burung, pondok pesantren ini akan digusur masyarakat sekitar. Alasannya bangunan ini tak berguna. Gus Ayi mendirikan tanpa izin pemerintah. Karena tekadnya untuk Indonesia, Gus Ayi tetap memaksa mendirikan tanpa surat izin pemerintah. Pantas saja masyarakat sekitar tak acuh. Salahkah Gus Ayi? Mempertahankan pendidikan agama di pesantren demi mendidik karakter santri Indonesia yang tak mampu.

Tanah seakan gersang bak penghuni 'kan tenggelam. Aku memutuskan pulang demi kerinduanku pada ayah. Meninggalkan sembilan kawan sejawatku, Gus Ayi, Ustaz Arif, dan Ustaz Jamal. Aku tega. Tatkala suasana mereka dihalau bencana. Meninggalkan pesantren tanpa sepengetahuan mereka.

Tak peduli jarak menerpa. Kulangkah kaki secepat kilat menyeberangi sungai. Menerjang hujan begitu deras menjamahku, membuat wajah terasa ngilu. Batin ini mengundang duka. Mengapa harus khawatir jika mengundang takdir, seribu pedang pun pasti menyingkir. Apa yang terjadi pada Ayah? Ku percepat langkah ini hingga lelah ku jumpa. Tepat lima puluh meter dari gubuk kecilku, ramai dari kejauhan. Tak seperti biasanya gubuk kecil penuh bebatuan di sekeliling itu ramai oleh kerumunan baju hitam. Jantung berdebar. Rasanya seperti kematian. Ayahku telah tiada. Hujan ini mengalirkan air mataku kembali. Tubuh kupeluk dengan kedua tangan. Merasakan sakit yang tak sirna sebab meninggalnya ayah. Tetap tegar tatkala melihat Ayah terbujur kaku di bawah kain penutup batik tanpa napas. Langit seakan hitam pekat menjadi saksi kematian.

"Teguh, benar Teguh?" tanya lelaki yang rupanya adalah tetanggaku. Aku tercekam di sela tangis lantas mengangguk pelan.

"Ayahmu tertimpa batu di dinding bukit sana, Guh," papar lelaki itu sembari menunjuk ke arah tenggara. Ayah menitip wasiat pada lelaki itu. Aku mengenalnya. Ia menitip nasihat untuk memberikan segudang bongkahan batu di samping gubuk kecil. Rupanya ayah telah mengetahui kabar burung penggusuran pesantren sedari dulu. Ayah bekerja sebagai pemecah batu untuk masa depanku dan pembangunan pesantren. Itu alasan ayah memondokkanku. Membangun pesantren di wilayah gubuk kecilku ini. Cukup luas.

Matahari membakar kulitku. Debu-debu berhamburan menyela pemakaman Ayah. Langkahku menuju makam bak menyongsong bongkahan batu besar. Napasku lega. Batu itu memunculkan rasa duka yang terselinap. Aku mencoba memalingkan kebencian itu. Terbayangkan wasiat ayah menegaskanku untuk membangun pesantren.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun